4/5
Awards winner
Documentary
Indonesia
Musical
Psychological
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Jalanan
Overview
Mengangkat tema manusia-manusia
‘jalanan’, sinema Indonesia tak pernah jauh-jauh dari eksploitasi kemiskinan,
kemalangan, serta sisipan-sisipan pesan moral atau kamuflase inspirasi.
Manusia-manusia yang hidup di jalanan selalu digambarkan sebagai sosok malang
yang hidup menderita. Entah mau sebesar apapun usahanya, hanya kemalangan yang
didapatkan. Intinya, asal bisa membuat penonton merasa iba, menitikkan air mata
sebagai bukti masih punya sisi manusiawi, dan meneladani apa yang ditontonnya.
Maka Jalanan justru tampil dengan angle yang berbeda. Penonton
diperkenalkan sekaligus diajak memandang dunia dari sudut pandang tiga karakter
utama: Titi, Ho, dan Boni. Oh iya, hidup mereka tampak penuh perjuangan dan
sering mengalami hal-hal tak mengenakkan. Tapi tak sedikitpun karakter-karakter
ini tampak dieksploitasi secara berlebihan. Mungkin karena kemasannya yang
merupakan sebuah dokumenter, maka segalanya terlihat apa adanya. Namun dampak
pada penonton in the end bukanlah rasa iba, tapi justru senyum bangga karena
mereka bertiga menjalani segala bentuk nasib dengan ikhlas, tanpa muka murung,
serta struggle yang tiada henti. Lihat saja betapa santainya Ho menghadapi
hidup seperti tanpa beban menyandang status ‘manusia jalanan’ yang identik
dengan kemiskinan. Dengan komentar-komentar cerdas dan gaya bicara bak kaum
intelek, Ho seperti membiarkan hidupnya mengalir, termasuk ketika melamar
seorang janda. Tidak ada satu pun, termasuk kemiskinan, yang membuatnya merasa
minder atau rendah diri. Atau Titi yang menikmati berbagai peran dalam
hidupnya, baik sebagai pengamen, istri dari suami yang tidak bisa diandalkan,
maupun sebagai ibu yang (mencoba memberikan yang ter-) baik bagi ketiga anaknya
yang hidup terpisah. Pun ia masih berusaha meraih pendidikan yang lebih tinggi
demi pekerjaan serta hidup yang lebih baik meski usianya sudah lewat jauh. Atau
juga Boni yang tak terbebani apa-apa walaupun hidup di bawah kolong jembatan
yang terancam diusir kapan saja. Ia pun cukup tahu diri bahwa tempat ia tinggal
yang bahkan dirawatnya dengan baik itu
bukanlah milik pribadi dan harus siap pindah kapan pun ada penertiban.
Sayangnya, dari ketiga karakter
utama yang di-representasi-kan di sini tidak diberi porsi yang seimbang. Saya
merasakan porsi yang lebih banyak dari Ho dan Titi sehingga mudah bagi penonton
untuk bersimpati pada mereka berdua. Sementara Boni terasa memiliki porsi yang
paling sedikit sehingga kurang mampu tampil sekuat Ho dan Titi. Tetapi
sebenarnya ini bukanlah kesalahan atau kekurangan, mengingat Jalanan adalah sebuah film dokumenter
yang riil dan tidak bisa diatur sedemikian rupa. Pengambilan gambar yang konon
sampai memakan waktu 5 tahun dengan footage berdurasi total 2000 jam lebih
sudah lebih dari cukup untuk merangkum kehidupan ketiganya dengan keunikan
karakter serta problematika masing-masing. Setidaknya Daniel Ziv sudah mampu
mempresentasikan ketiga karakter dengan jelas.
Meski memuat sindiran terhadap
hedonisme masyarakat kota yang ignorant dan pemerintah (termasuk calon wakil
rakyat) yang korup dan penuh omong kosong, namun Jalanan jauh dari kesan cerewet, preachy, maupun rebel. Justru
dengan caranya sendiri, termasuk humor, sindiran-sindiran tersebut lebih
efektif tersampaikan dan mengusik hati penonton yang malah mungkin adalah salah
satu dari objek sindiran tersebut.
At last, ketiga karakter Jalanan mungkin hanya mempresentasikan
sekian persen dari semua manusia jalanan yang ada di Indonesia. Namun ia
berhasil membawa penontonnya memandang kota Jakarta dari sudut pandang yang Ho,
Titi, dan Boni, sekaligus mengubah image manusia jalanan selama ini. Setidaknya
masih ada harapan dari dan untuk manusia jalanan seperti mereka bertiga.
The Casts
Gampang-gampang susah mengarahkan
sebuah dokumenter, apalagi mengarahkan objek yang tidak punya background akting
sama sekali. Seringkali objek tampak canggung dengan kehadiran kamera di
sekitarnya dan cenderung jaim atau bingung harus bersikap seperti apa. Namun
entah dengan pendekatan apa, Ziv berhasil membuat ketiganya nyaman menjalani
kehidupan sehari-hari dengan kamera yang selalu merekam langkah mereka. Mungkin
saja Ziv melakukan adaptasi dengan waktu yang tidak sebentar kepada ketiga
objek, dan itulah yang membuat Jalanan
sebuah dokumenter yang nyaman dinikmati. Ketiga objek yang pada dasarnya sudah
punya karakter kuat menjadi terasa lebih mengena di benak penonton. Apalagi
dengan bakat menyanyi yang tidak bisa dipandang sebelah mata, terutama dari Ho
dan Titi.
Technical
Tata kamera dan editing menjadi
penentu kualitas sebuah dokumenter, dan Jalanan
termasuk mumpuni di kedua aspek ini. Meski terkadang ketajaman gambar tampak
tidak begitu konsisten, namun angle-angle cantik serta steadycam yang cukup
stabil membuatnya lebih dari sekedar layak dinikmati di layar lebar. Well,
ketajaman yang berbeda-beda justru memberikan kesan real, terutama pada adegan
dalam ruang remang seperti di dalam bui. Editing pun berhasil menjadikan hasil
akhirnya terasa efektif, padat, dan tanpa mengabaikan momen-momen
emosional-nya.
Tata suara juga termasuk bagus
dan stabil untuk kategori dokumenter. Voice over dan dialog terdengar sama
jelasnya, seimbang dengan scoring serta lagu-lagu yang dibawakan secara live.
The Essence
Kemiskinan dan hidup sebagai
marjinal bukan alasan untuk tidak mensyukuri segala yang dimiliki dan menjalani
hidup dengan normal. It’s all in our mindset. Just enjoy the process while keep
struggling with it.
They who will enjoy this the most
- Open-minded audiences
- They who are concerned in social issues
- They who loves music
Lihat situs resmi film ini.
Bantu Ho, Titi, dan Boni membangun rumah mereka di sini.