The Jose Movie Review
Jalanan


Overview

Mengangkat tema manusia-manusia ‘jalanan’, sinema Indonesia tak pernah jauh-jauh dari eksploitasi kemiskinan, kemalangan, serta sisipan-sisipan pesan moral atau kamuflase inspirasi. Manusia-manusia yang hidup di jalanan selalu digambarkan sebagai sosok malang yang hidup menderita. Entah mau sebesar apapun usahanya, hanya kemalangan yang didapatkan. Intinya, asal bisa membuat penonton merasa iba, menitikkan air mata sebagai bukti masih punya sisi manusiawi, dan meneladani apa yang ditontonnya.

Maka Jalanan justru tampil dengan angle yang berbeda. Penonton diperkenalkan sekaligus diajak memandang dunia dari sudut pandang tiga karakter utama: Titi, Ho, dan Boni. Oh iya, hidup mereka tampak penuh perjuangan dan sering mengalami hal-hal tak mengenakkan. Tapi tak sedikitpun karakter-karakter ini tampak dieksploitasi secara berlebihan. Mungkin karena kemasannya yang merupakan sebuah dokumenter, maka segalanya terlihat apa adanya. Namun dampak pada penonton in the end bukanlah rasa iba, tapi justru senyum bangga karena mereka bertiga menjalani segala bentuk nasib dengan ikhlas, tanpa muka murung, serta struggle yang tiada henti. Lihat saja betapa santainya Ho menghadapi hidup seperti tanpa beban menyandang status ‘manusia jalanan’ yang identik dengan kemiskinan. Dengan komentar-komentar cerdas dan gaya bicara bak kaum intelek, Ho seperti membiarkan hidupnya mengalir, termasuk ketika melamar seorang janda. Tidak ada satu pun, termasuk kemiskinan, yang membuatnya merasa minder atau rendah diri. Atau Titi yang menikmati berbagai peran dalam hidupnya, baik sebagai pengamen, istri dari suami yang tidak bisa diandalkan, maupun sebagai ibu yang (mencoba memberikan yang ter-) baik bagi ketiga anaknya yang hidup terpisah. Pun ia masih berusaha meraih pendidikan yang lebih tinggi demi pekerjaan serta hidup yang lebih baik meski usianya sudah lewat jauh. Atau juga Boni yang tak terbebani apa-apa walaupun hidup di bawah kolong jembatan yang terancam diusir kapan saja. Ia pun cukup tahu diri bahwa tempat ia tinggal yang bahkan dirawatnya dengan baik  itu bukanlah milik pribadi dan harus siap pindah kapan pun ada penertiban.

Sayangnya, dari ketiga karakter utama yang di-representasi-kan di sini tidak diberi porsi yang seimbang. Saya merasakan porsi yang lebih banyak dari Ho dan Titi sehingga mudah bagi penonton untuk bersimpati pada mereka berdua. Sementara Boni terasa memiliki porsi yang paling sedikit sehingga kurang mampu tampil sekuat Ho dan Titi. Tetapi sebenarnya ini bukanlah kesalahan atau kekurangan, mengingat Jalanan adalah sebuah film dokumenter yang riil dan tidak bisa diatur sedemikian rupa. Pengambilan gambar yang konon sampai memakan waktu 5 tahun dengan footage berdurasi total 2000 jam lebih sudah lebih dari cukup untuk merangkum kehidupan ketiganya dengan keunikan karakter serta problematika masing-masing. Setidaknya Daniel Ziv sudah mampu mempresentasikan ketiga karakter dengan jelas.

Meski memuat sindiran terhadap hedonisme masyarakat kota yang ignorant dan pemerintah (termasuk calon wakil rakyat) yang korup dan penuh omong kosong, namun Jalanan jauh dari kesan cerewet, preachy, maupun rebel. Justru dengan caranya sendiri, termasuk humor, sindiran-sindiran tersebut lebih efektif tersampaikan dan mengusik hati penonton yang malah mungkin adalah salah satu dari objek sindiran tersebut.
At last, ketiga karakter Jalanan mungkin hanya mempresentasikan sekian persen dari semua manusia jalanan yang ada di Indonesia. Namun ia berhasil membawa penontonnya memandang kota Jakarta dari sudut pandang yang Ho, Titi, dan Boni, sekaligus mengubah image manusia jalanan selama ini. Setidaknya masih ada harapan dari dan untuk manusia jalanan seperti mereka bertiga.

The Casts

Gampang-gampang susah mengarahkan sebuah dokumenter, apalagi mengarahkan objek yang tidak punya background akting sama sekali. Seringkali objek tampak canggung dengan kehadiran kamera di sekitarnya dan cenderung jaim atau bingung harus bersikap seperti apa. Namun entah dengan pendekatan apa, Ziv berhasil membuat ketiganya nyaman menjalani kehidupan sehari-hari dengan kamera yang selalu merekam langkah mereka. Mungkin saja Ziv melakukan adaptasi dengan waktu yang tidak sebentar kepada ketiga objek, dan itulah yang membuat Jalanan sebuah dokumenter yang nyaman dinikmati. Ketiga objek yang pada dasarnya sudah punya karakter kuat menjadi terasa lebih mengena di benak penonton. Apalagi dengan bakat menyanyi yang tidak bisa dipandang sebelah mata, terutama dari Ho dan Titi.

Technical

Tata kamera dan editing menjadi penentu kualitas sebuah dokumenter, dan Jalanan termasuk mumpuni di kedua aspek ini. Meski terkadang ketajaman gambar tampak tidak begitu konsisten, namun angle-angle cantik serta steadycam yang cukup stabil membuatnya lebih dari sekedar layak dinikmati di layar lebar. Well, ketajaman yang berbeda-beda justru memberikan kesan real, terutama pada adegan dalam ruang remang seperti di dalam bui. Editing pun berhasil menjadikan hasil akhirnya terasa efektif, padat, dan tanpa mengabaikan momen-momen emosional-nya.

Tata suara juga termasuk bagus dan stabil untuk kategori dokumenter. Voice over dan dialog terdengar sama jelasnya, seimbang dengan scoring serta lagu-lagu yang dibawakan secara live.

The Essence

Kemiskinan dan hidup sebagai marjinal bukan alasan untuk tidak mensyukuri segala yang dimiliki dan menjalani hidup dengan normal. It’s all in our mindset. Just enjoy the process while keep struggling with it.

They who will enjoy this the most

  • Open-minded audiences
  • They who are concerned in social issues
  • They who loves music
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id dan IMDb.
Lihat situs resmi film ini.
Bantu Ho, Titi, dan Boni membangun rumah mereka di sini.
Diberdayakan oleh Blogger.