The Jose Movie Review
X-Men: Days of Future Past

Overview

Franchise X-Men bisa jadi franchise superhero terbesar yang pernah ada. The Avengers, Superman, bahkan Batman sulit untuk menyaingi ke-epic-an kisahnya yang selalu ada yang bisa digali lebih dalam. Setelah berakhir di X-Men: The Last Stand (TLS) dengan kurang begitu memuaskan banyak pihak, terutama fans berat versi komiknya, Fox dan Marvel berpikir keras bagaimana melanjutkan franchise yang sayang untuk disudahi begitu saja. Toh jelas di dalamnya masih banyak karakter mutan yang menarik untuk dibuatkan film sendiri. Terbukti X-Men Origins: Wolverine dan The Wolverine punya hasil yang tidak buruk (setidaknya dari segi penghasilan box office). Lalu upaya prekuel X-Men: First Class (FC) justru mendapatkan sambutan yang luar biasa. Tentu hal ini tak terlepas dari tangan-tangan dingin yang selalu berhasil mengangkat tema-tema baru di setiap serinya. Tak terkecuali juga, dalam upaya menyambungkan antar seri yang meski kadang membingungkan dan terjadi minor continuity error, tetap saja tidak mengurangi spirit universe-nya.

So X-Men: Days of Future Past (DoFP) dihadirkan sebagai upaya untuk menyelesaikan banyak hal. Terutama sekali adalah menyambungkan TLS dan FC. For that purpose, I have to admit, this has been a very brilliant way. Dengan konsep time travel dengan kemungkinan merubah segalanya, membuat segala sesuatunya kembali dari nol, dan mengabaikan bangunan cerita dari X-Men hingga TLS. Saya melihatnya sebagai keputusan yang sangat bagus untuk banyak kepentingan: memperbaiki kesalahan yang terjadi di TLS sehingga mengecewakan banyak fans, yang artinya bisa mengembalikan banyak karakter-karakter penting yang pernah dimatikan. Ini penting untuk membangun kembali kepercayaan fanatik yang sudah terlanjur antipati terhadap salah satu seri. Kedua, tentu saja kesempatan untuk mengembangkan cerita ke arah yang sama sekali berbeda, termasuk kesempatan menghadirkan karakter-karakter serta villain-villain baru ke layar. Yes, DoFP adalah turn-over part yang menyambungkan kesemua seri sebelumnya, dan membuka peluang untuk pengembangan cerita tanpa batas, tanpa perlu mengabaikan seri-seri sebelumnya. Kesemuanya jelas justru memperkaya universe X-Men versi layar lebar tanpa perlu di-reboot.

Terlepas dari konsep cerita yang brilian tersebut, DoFP sendiri sudah sangat berhasil sebagai tontonan yang menghibur. Bagi yang mengikuti kesemua seri X-Men terpuaskan dengan segala bangunan cerita yang disusun, apalagi ending yang mungkin akan menimbulkan haru bahagia. Bagi penonton awam pun tetap akan dibuat nyaman dengan alurnya yang enak untuk diikuti. The action, the drama, the fun, and the thrill, all is in the right dosage and blended perfectly as one entertaining (if not spectacular and fascinating) package.

The Casts

Salah satu poin yang paling menarik dari franchise X-Men adalah banyaknya karakter menarik yang meski tidak semuanya mendapatkan porsi yang sama besar, namun masing-masing mampu menjadi scene stealer yang memperkaya film. Tak terkecuali juga nama-nama besar yang memerankannya dengan gemilang. Hugh Jackman sebagai Wolverine masih menjadi karakter utama yang menjadi penghubung antara masa depan dan masa lalu dan masih menampilkan kharisma yang sama seperti sebelum-sebelumnya. James McAvoy dan Michael Fassbender yang porsinya lebih besar ketimbang versi tua mereka (Patrick Stewart dan Ian McKellen) mampu memberikan emosi yang pas dalam karakter.

Jennifer Lawrence tak usah diragukan lagi pesonanya yang bahkan membuat saya lupa peran Rebecca Romijn dalam menghidupkan karakter Mystique. Kelenturan tubuh dan kemampuannya berbahasa selain Bahasa Inggris semakin menambah pesonanya di sini. Nicholas Hoult sebagai Beast dan Peter Dinklage sebagai Trask pun tampil cukup mengesankan. Tapi scene stealer terbesarnya tentu saja Evan Peters sebagai Peter alias Quicksilver.

Di lini mutan-mutan pendukung, masih ada Halle Berry (Storm), Ellen Page (Kittypride), Shawn Ashmore (Iceman), Omar Sy (Bishop), Fan Bingbing (Blink), Daniel Cudmore (Colossus), mantan anggota tim Jacob Black di franchise Twilight, Booboo Stewart (Warpath), serta mutan-mutan lainnya termasuk yang sebelumnya sudah dimatikan. It’s like a full team package that will amuse all.

Technical

Seperti biasa, DoFP dihiasi oleh visual-visual effect spektakuler, terutama di masa depan dengan kemampuan dari Blink membuka portal-portal, atau Iceman yang menjadikan pertarungan dengan melibatkan es menjadi super-seru. But above all, frozen time keren ala Quicksilver lah yang menjadi adegan favorit saya. One of the best frozen time scene ever!

Visual effect yang spektakuler juga diimbangi sound effect yang tidak kalah menggelegarnya. Pun juga memanfaatkan efek surround semaksimal mungkin, misalnya pada adegan Prof. X menggunakan cerebro. Pemilihan soundtrack-soundtrack yang menandai era 70-an juga turut mendukung DoFP menjadi sajian yang memorable, mulai The First Time Ever I Saw Your Face dari Roberta Flack sampai Time in a Bottle dari Jim Croce.

Desain produksi DoFP wajib turut pula diapresiasi, baik dalam menghadirkan desain-desain interior dan kostum era 70-an, maupun menghadirkan dunia di masa depan yang suram. Belum lagi desain Sentinel yang membelalakkan mata.
Untuk yang tertarik format 3D-nya, tak banyak yang bisa dinikmati. Beberapa adegan memang agak terasa depth-nya, tetapi sayang sekali saya tidak menemukan efek pop-out yang “mencolok”.

The Essence

Seringkali kita beranggapan seseorang tidak mungkin bisa berubah. Tapi kenyataannya, setiap orang punya harapan untuk berubah menjadi lebih baik. Mungkin yang dibutuhkannya hanya sedikit bantuan dari orang lain.

They who will enjoy this the most

  • X-Men fanatics, either the comic or the movie
  • General audiences who seek for exciting and spectacular entertainment
 Lihat data film ini di IMDb.

The 87th Annual Academy Awards nominee(s) for


  • Best Achievement in Visual Effects
Diberdayakan oleh Blogger.