4/5
Comedy
Drama
Family
Indonesia
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Tanah Surga... Katanya
Overview
Deddy
Mizwar dengan rumah produksinya, Citra Sinema (sebelumnya bernama PT. Demi Gisela Citra Sinema) tergolong
rajin memproduksi film-film satir yang mengkritik (baca:
mengolok-olok) berbagai permasalahan bangsa dan terutama perangkat
pejabat negeri ini. Sebelum ini sudah ada Nagabonar Jadi 2,
Alangkah Lucunya (Negeri ini), dan Kentut. Bagi banyak
orang terasa begitu “cerewet” tanpa memberikan solusi yang
kongkrit, namun begitulah gaya film-filmnya. Alih-alih menawarkan
solusi, film-filmnya lebih mengajak untuk membuka mata penontonnya
dan mungkin, merefleksikannya. Saya pribadi menyukai Nagabonar
Jadi 2, namun pengalaman terakhir, Kentut, menurut saya
memiliki potensi premise yang menarik namun digarap dengan sangat
mentah, terutama di ending, membuat saya ragu akan karya terbarunya
ini.
Sebelumnya, abaikan posternya yang terlihat begitu melankolis dan cengeng, karena nyatanya ini adalah film yang ceria, memberikan harapan, dan tetap menyentuh dengar porsi yang pas. Sejak
film dibuka, keraguan saya akan kualitas Tanah Surga… Katanya
(TSK) perlahan sirna. Mengangkat cerita penduduk Indonesia di
perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat, alur TSK mengalir
dengan baik dan natural. Konflik serius tentang nasionalisme dibidik dari sudut
pandang sederhana seorang anak kelas 4 SD, Salman. Ia berada di
tengah-tengah pengaruh kakeknya yang mempertahankan jiwa
nasionalisnya berkat pengalaman konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun
1965 dan ayahnya yang memilih realistis pindah ke Malaysia demi
keadaan perekonomian yang lebih baik. Film berfokus pada kejadian
demi kejadian yang dialami Salman yang akhirnya mempengaruhi pola
pikir kritis (namun polos)-nya tentang keadaan sekitarnya.
Seiring
dengan itu, ada pula subplot karakter-karakter pendukung yang turut
menguak fakta-fakta ironis yang terjadi pada warga desa di perbatasan
tersebut. Sayang subplot-subplot tersebut dibiarkan tanpa konklusi
yang jelas, sehingga terkesan hanya sebagai bumbu pelengkap, misalnya
subplot hubungan asmara antara dr. Anwar dan Astuti. Menjelang akhir
sebenarnya ada adegan yang cukup kuat sebagai ending dimana karakter
Salman sudah menentukan pilihan nasionalisnya. Namun rupanya cerita
ingin menuntaskan permasalahan pribadi Salman yang ternyata mampu
mempertegas ironis kekontrasan antara yang memilih untuk tetap
bertahan di Nusantara dan yang “berbelok” ke negeri tetangga.
Beberapa
product placement sponsor sebenarnya sedikit mengganggu keindahan
visual. Akan tetapi masih tergolong halus dan blending dengan plot.
Kekurangan-kekurangan tersebut berhasil ditutupi oleh kekuatan
beberapa adegan yang digarap dengan sangat kuat dan menggetarkan,
termasuk endingnya, dan tentu saja desain produksi yang luar biasa.
TSK
adalah paket yang menghibur, membuat bangga sebagai bangsa Indonesia,
sekaligus miris dengan keadaan warga di situ. Memang tak menawarkan
solusi kongkrit akan permasalahan yang ada, namun terasa sangat kuat
bagi penonton (khususnya saya) untuk merefleksikan apa yang tersaji
di layar.
The Casts
Pemilihan
cast tampak dilakukan dengan sangat selektif, terbukti dengan
aktor-aktor yang tampil maksimal sesuai dengan porsi masing-masing,
termasuk untuk peran-peran pendukung dan figuran. Pujian terutama
patut dialamatkan kepada Osa Aji Santoso, pemeran Salman. Di usianya
yang masih anak-anak, ia mampu menunjukkan kualitas akting yang
sangat menjanjikan dan natural walau beban pemeran utama yang cukup
berat.
Ringgo
Agus Rahman masih memerankan karakter komedik yang sudah menjadi
tipikalnya. Namun kali ini diimbangi dengan sisi serius sesuai
perannya yang adalah seorang dokter. Astri Nurdin yang belum lama ini
memerankan ibu Amelia di Ambilkan Bulan mengisi peran yang
lebih banyak dan berhasil tampil loveable sebagai Ibu Guru Astuti.
Terakhir, Fuad Idris tampil kharismatik sehingga jiwa nasionalis-nya
terasa begitu kuat.
Di lini
pemeran pendukung, yang tampil menarik adalah Muhammad Rizky, pemeran
Lized, teman Salman yang seringkali menjadi sumber komedi berkat
kepolosannya.
Technical
Semua
segi teknisnya memiliki kualitas yang luar biasa, apalagi untuk
ukuran film Indonesia. Pertama-tama, sinematografi yang tak hanya
berhasil merekam gambar-gambar indah meski menampilkan kekontrasan
keadaan sisi Indonesia dan Malaysia, namun juga kualitas detail yang
mengagumkan. Bahkan pada adegan gelap (di danau malam hari,
misalnya), tingkat kepekatan hitam-nya begitu solid, tak ada noise yang terlihat.
Segi
audionya turut mencengangkan saya. Kejernihan suara dan pembagian
kanal surround yang dimanfaatkan secara maksimal menjadikan TSK
pengalaman sinematik yang luar biasa jika disaksikan di gedung
bioskop dengan fasilitas audio yang memadai. Salut pula untuk
score-score yang mengalun indah dan megah yang diisi oleh kelompok
orkestra dari China. Jujur, score lah yang paling membangun aura
sepanjang film.
The Essence
Ada
percampur-adukan perasaan dalam diri saya sepanjang film. Ada kalanya
jiwa nasionalisme saya bangkit berkat semangat Salman, namun ada
kalanya saya sedih melihat keadaan warga di perbatasan
Indonesia-Malaysia. Bukan salah mereka untuk memilih realita yang
lebih menjanjikan. TSK mungkin terasa lebih cocok ditujukan untuk
pejabat yang memang bertanggung jawab untuk melayani masyarakat di
pinggiran sekalipun. Namun saya sendiri sebagai warna negara biasa
juga merefleksikan satu hal dari TSK.
Seringkali
kita yang tinggal di kota dengan berbagai fasilitas memadai mengeluh
dengan keadaan negara ini. Pemerintah negeri ini, lebih tepatnya. Tak
hanya itu, saya sendiri juga seringkali ngomel dengan mentalitas
bangsa ini yang mayoritas tidak pro kemajuan. Saya juga sering
menanyakan apa alasan kita harus mencintai dan menjaga negeri ini?
TSK juga tidak memberikan jawaban atas pertanyaan itu tetapi ternyata
masing-masing dari kita seharusnya punya alasan sendiri yang mungkin
irasional. Suatu hari atau mungkin saat ini juga, masing-masing dari
kita sendiri secara kumulatif sebenarnya menjadi alasan orang lain
untuk mencintai negeri ini. Jika tidak dimulai dari masing-masing
pribadi, tidak akan pernah ada harapan di masa depan untuk bangsa
kita. Lupakan pemerintah yang acuh tak acuh, karena sebagai rakyat
biasa, sebenarnya masing-masing dari kita punya pengaruh yang besar
terhadap perubahan bangsa ini, sekecil dan sesederhana yang dilakukan
Ibu Guru Astuti dan dr. Anwar sekalipun. Maukah kita menjadi
inspirasi dan meneruskan tongkat estafet nasionalisme ke generasi
berikutnya, anak cucu atau adik-adik kita?
Lihat situs resmi film ini.