The Jose Movie Review
Perahu Kertas Part 1


Overview

Akhirnya ada juga buku karya Dewi Lestari (Dee) -salah satu penulis Indonesia yang sangat produktif baik dalam bentuk novel maupun cerpen- yang diangkat ke layar lebar. Tak hanya itu, kualitasnya dalam membangun alur dan karakter serta membungkus esensi dalam keindahan sastra tergolong luar biasa untuk generasi sekarang. Menurut saya semua karya tulisnya sangat menarik diangkat untuk memperkaya khazanah perfilman nasional. Namun agak susah diwujudkan mengingat cerita karangannya banyak melibatkan lokasi di berbagai negara dan tentu saja dengan kondisi perfilman nasional saat ini, budget menjadi kendala yang paling utama. So I think it’s a good start to bring Perahu Kertas (PK) to the movie screen.


Sebenarnya tak perlu membahas alur maupun esensi ceritanya atau karakter serta perkembangannya karena semuanya sudah tertata dengan sangat rapi dan bagus dari novelnya. Well, saya belum pernah membaca versi novelnya, tetapi melihat hasil akhir filmnya dan berbekal pengalaman membaca karya tulis Dee yang lain-lainnya, saya bisa menerka-nerka bagaimana versi novelnya. Semoga saja saya tidak salah dan menjadi sok tahu soal ini.

Anyway, permasalahan yang paling klasik adalah bagaimana mengadaptasi karya tulis ke dalam media film yang jelas-jelas berbeda sehingga penonton non-pembaca novel dapat mencerna dan menikmatinya namun tetap memuaskan ekspektasi para pembaca novelnya. Dengan kenyataan Dee yang menulis langsung screenplay-nya sebisa mungkin memasukkan semua yang ada di novel dan Hanung yang merekam semua adegan yang ada di screenplay, susah untuk membayangkan PK versi lengkap dan apa yang terjadi jika pemotongan dilakukan di mana-mana demi durasi yang nyaman untuk penonton. Belum lagi kenyataan pemenggalan film menjadi dua bagian yang semakin menambah beban penulis skenario dan sutradara untuk menentukan titik  perpindahan yang enak dan pas agar penonton tetap penasaran untuk menyaksikan lanjutannya.

Kekhawatiran tersebut pada akhirnya memang berimbas pada pace film. Paruh pertama film dimana diletakkan detail awal hubungan dua sejoli lakon kita, Kugy dan Keenan, terasa terlalu cepat sehingga terkesan terburu-buru dan harus diakui di beberapa bagian editing-nya kurang nyaman untuk dinikmati. Alur dan plotnya masih jelas dan menghibur tapi kurang mengajak lebih dalam ke hubungan antara keduanya. Things are better in the second half ketika pace mulai mereda dan mengalir tenang, sangat enak dinikmati dan alhasil penampilan para aktornya pun terasa maksimal. Anyway, mungkin bisa saja hal ini disengaja, sebagai bagian dari filosofi “perahu kertas” yang berlayar, terombang-ambing ke sana kemari sebelum menuju laut.

Selain dari kekurang-nyamanan itu, saya harus memberikan pujian untuk skrip yang berhasil memberikan porsi yang konsisten untuk fokus karakter utamanya; Kugy dan Keenan. Walaupun kebanyakan cerita mengambil dari sudut pandang Kugy, namun detail plot Keenan masih cukup terasa kuat. Begitu pula dengan karakter-karakter pendukung seperti Eko, Noni, Remi, dan Wanda yang masing-masing diberikan porsi sub plot adil sekaligus tetap memberikan kesan tersendiri.

Dengan dukungan production value mumpuni di hampir semua lini, PK hadir sebagai film metafora kehidupan yang disajikan dengan sangat menghibur dan menyenangkan sehingga cukup mengena bagi target audience utamanya; remaja, sekaligus melanjutkan tradisi novelnya yang berhasil menjadi bagian dari budaya pop Indonesia. Yes, it’s still talking about love and its cliché, but Dee (and also Hanung Bramantyo) have wrapped ‘em in a very interesting and different artistic accomplishment.

The Casts

Maudy Ayunda akhirnya mendapatkan peran utama sebagai remaja setelah terakhir kali berperan di Untuk Rena (2005) dimana ia masih anak-anak. Penampilannya menarik perhatian saya sejak Tendangan dari Langit dan terus mengalami peningkatan kualitas akting termasuk di sini. Dengan modal fisiknya yang juga unik dan manis, karir akting (dan juga menyanyi) Ayunda sangat cerah ke depannya. Sementara Adipati Dolken masih belum beranjak dari peran-peran sebelumnya. He could have done better than this, hopefully in the next part.

Di jajaran pemeran pendukung pun banyak yang tampil mengesankan. Kimberly Ryder kemampuan aktingnya semakin matang, Reza Rahadian berhasil menghidupkan perannya dengan sangat baik, serta pendatang baru Fauzan Smith dan Sylvia Fully yang juga berhasil menjadi penyegar suasana film.

Technical

Tak perlu meragukan seorang Hanung Bramantyo untuk sinematografi dan teknisnya, he’s a perfectionist. Lihat saja bagaimana ia memperhatikan detail properti yang sesuai dengan setting waktu: handphone Nokia 5110, uang pecahan sepuluh ribu, hingga iMac keluaran 1998. Tak ketinggalan soundtrack yang dibawakan sekelompok pengamen yang mulai menjadi signature-nya.

Yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah kemunculan aneka cahaya seperti flare yang kerap muncul di berbagai adegan. Tampak itu adalah hasil digital tetapi atas dasar yang belum jelas. Mungkin saja itu tanda yang diselipkan Hanung untuk menjelaskan sesuatu atau hanya sekedar untuk alasan estetika yang sebenarnya justru cukup mengganggu keindahan gambar.

The Essence

Perahu Kertas adalah sebuah metafora tentang kehidupan, tidak hanya soal urusan asmara tetapi juga pilihan hidup lainnya, seperti karir dan passion. Alur sungai yang tak menentu membawa perahu kertas ke sana-kemari dalam arahan Neptunus, dewa laut, hingga akhirnya menemukan laut yang tenang. Sama seperti cinta dan passion yang kerap membuat bimbang dan bingung (bahasa jaman sekarang : galau). Seperti kata Keenan, menjadi orang lain terlebih dahulu baru menjadi diri sendiri. Mencoba berbagai kemungkinan dalam hidup sebelum memilih satu yang paling pas dengan diri kita. Laut.



Lihat situs resmi film ini.

Diberdayakan oleh Blogger.