3.5/5
Asia
Comedy
Drama
Friendship
Indonesia
music
Pop-Corn Movie
Romance
Socio-cultural
Teen
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Yowis Ben
Indonesia yang terdiri dari berbagai ragam kebudayaan, karakteristik suku bangsa, dan bahasa tentu menjadikan kita juga kaya akan potensi untuk diangkat ke dalam medium film. Setelah Makassar terbukti punya loyalitas terhadap karya-karya asli daerahnya dengan kesuksesan komersial di wilayahnya sendiri, seperti Uang Panai, Jawa sebagai salah satu suku terbanyak di Indonesia seharusnya juga punya antusiasme karya daerah yang besar. Setelah beberapa tahun lalu ada Punk in Love (2009) yang cukup kental menggunakan Bahasa Jawa Timuran, tahun ini Bayu Eko Moektito alias Bayu Skak, komika dan YouTubers asal Malang, mendapatkan kesempatan dari Kharisma StarVision untuk kembali mencoba peruntungan mengangkat lokalitas Jawa Timur ke kancah perfilman nasional. Didampingi oleh Fajar Nugros, sutradara yang sudah melahirkan Cinta di Saku Celana, Cinta Brontosaurus, Cinta Selamanya, dan Moammar Emka’s Jakarta Undercover, dari naskah yang disusun oleh Gea Rexy (Dear Nathan) dan Bagus Bramanti (Mencari Hilal, Love and Faith, Talak 3, Naura & Genk Juara the Movie, Kartini, Dear Nathan, dan Benyamin Biang Kerok), Yo Wis Ben (bahasa Indonesia: Ya Sudah Biarkan - YWB) diramaikan oleh mantan penyanyi cilik Joshua Suherman, Brandon Salim, Tutus Thomson, Cut Meyriska, dan Richard Oh.
Karena latar belakang yang serba ‘kurang menunjang’, Bayu yang dikenal sebagai Pecel Boy karena membantu berjualan nasi pecel, usaha sang ibu, berupaya keras untuk menarik perhatian sang pujaan hati di sekolah, Susan. Ketika mencapai titik nyaris putus asa, Bayu beride untuk membentuk band supaya populer dan Susan mulai meliriknya. Bersama sahabatnya, Doni, ia mulai mengadakan audisi yang menghasilkan terpilihnya Yayan, penggebuk bedug masjid yang ternyata juga jago menggebuk drum, dan Nando, anak pindahan dari Jakarta yang populer karena kegantengannya tapi ingin dipandang karena bakat serta skill-nya. Mulailah mereka meniti karir benar-benar dari nol lewat lagu-lagu berbahasa Jawa Timuran. Hingga akhirnya ketika Susan mulai mendekati, Bayu semakin lupa diri dan mengabaikan band yang diberi nama Yo Wis Ben ini.
Tema para pecundang yang memutuskan membentuk band musik demi eksistensi memang sudah bukan sesuatu yang baru. Malahan sudah menjadi salah satu template cerita film yang umum dengan segala formula klasiknya: pecundang, musik, godaan dari lawan jenis, dan perpecahan. Sebut saja yang paling mendekati dan populer, film Thailand bertajuk SuckSeed atau di sinema Indonesia yang belum lama menyambangi bioskop kita, The Underdogs. Tak ada masalah selama semuanya diramu dengan baik dan menarik sehingga masih bisa membuat penonton betah mengikutinya. YWB mencoba memanfaatkan formula-formula klasik tersebut untuk mengangkat showcase utamanya: kelokalan Jawa Timur (khususnya Malang, Surabaya, dan sekitarnya) terutama lewat bahasa dan dialek. Sebagai penghantar materi-materi komedinya, apa yang dimanfaatkan YWB termasuk berhasil secara maksimal berkat penanganan serta timing yang serba tepat (faktor pilihan shot dan angle Goenrock dan editing Wawan I Wibowo). Bahkan bagi penonton yang tidak akrab dengan bahasa atau dialek tersebut akan dengan mudah memahami (lewat subtitle bahasa Indonesia yang disematkan, tentu saja) sekaligus dibuat tertawa lewat penyampaiannya yang memang bersifat universal melampaui batas budaya. Jatuhnya mungkin sering terasa agak slapstick, tapi selama berhasil membuat tertawa, kenapa tidak? Toh karakter yang melekat pada bahasa dan dialek Jawa Timuran memang lebih ke arah humor.
Terlepas dari kegenerikan formula-formula yang digunakan dan kelokalan sebagai materi humor yang disebar secara merata di sepanjang durasi, sebenarnya ada sedikit kekurang-seimbangan porsi di tiap babaknya. Keasyikan berlama-lama mengajak penonton tertawa terbahak-bahak di babak perkenalan dan konflik pertama, lantas kemudian terburu-buru ketika konflik berikutnya mulai masuk hingga penyelesaian yang kelewat over-simplified. Akibatnya mungkin memang tak akan sampai membuat penonton jatuh dalam kebosanan karena faktor bombardir materi humor yang nyaris tiada henti, tapi isu yang diangkat (meski tergolong generik) menjadi kurang terasa beresonansi bagi penonton. Ya, kita semua tahu apa ‘pesan moral’ yang ingin disampaikan. Hanya sejauh menemukan tapi tak sampai tertanam dalam benak. Lagi-lagi, ini sama sekali sebenarnya tidak menjadi masalah mengingat kodrat utamanya sebagai hiburan semata.
Tak hanya bertindak sebagai penggagas ide cerita dan sutradara, Bayu Skak sekali ini membuktikan diri punya kharisma (komedik) yang layak ditempatkan di lini terdepan. Mungkin memang tidak sampai menjadi sosok yang eksepsional atau istimewa, tapi punya daya tarik untuk mengikat perhatian sekaligus menarik simpati penonton. Di lini berikutnya, Joshua Suherman memberikan keseimbangan antara kegokilan dan keseriusan yang baik lewat karakter Doni. Brandon Salim masih belum beranjak dari peran tipikalnya (let’s say seperti perannya di The Underdogs) sebagai Nando (pun juga konsistensi penggunaan bahasa dan dialek yang masih sangat terasa jelas, kurang), sementara yang lebih menarik perhatian adalah penampilan Tutus Thomson sebagai Yayan. Effortless dan tak diberi porsi banyak, tapi mampu memanfaatkannya untuk mencuri perhatian penonton di samping penulisan karakter yang memang menarik. Cut Meyriska pun punya kharisma dan pesona yang cukup untuk peran love interest, Susan. Di lini pendukung dan cameo, Tri Yudman sebagai ibu Bayu, Aried Didu sebagai Cak Jon, Cak Kartolo dan Cak Sapari (yang merupakan duo pelawak tradisional legendaris di Jawa Timur), serta tentu saja Erick Estrada yang semakin ‘pecah’ setelah menarik perhatian di Moammar Emka’s Jakarta Undercover.
Iringan musik ilustrasi Andhika Triyadi mungkin memang tak terdengar istimewa tapi jelas membantu membangun nuansa komedik dan drama yang lebih selain yang telah dicapai secara visual. Begitu juga lagu-lagu tema berirama pop-punk yang simple tapi ear-catchy untuk terus disenandungkan ulang, seperti Gak Iso Turu dan Ojo Bolos Pelajaran. Faktor soundtrack justru menjadi salah satu unsur yang membuatnya akan terus beresonansi dalam ingatan penonton.
YWB memang merupakan sajian generik yang meletakkan lokalitas, terutama lewat bahasa dan dialek sebagai showcase terkuatnya. Hasilnya di luar dugaan. Ia berhasil menjangkau begitu banyak penonton Indonesia dari berbagai latar belakang budaya dan intelektual. Sekali lagi ia membuktikan bahwa suatu produk budaya tetap bisa dinikmati secara luas lewat kemasan humor yang sejatinya bersifat universal dan mendasar. Nikmati dan bersenang-senang saja selama menonton tanpa prasangka-prasangka yang nantinya tak akan relevan, sebagaimana ia dibuat. Jangan kaget jika Anda akan terus menyenandungkan dan mengulang-ulang gimmick-gimmick humor yang ada di kehidupan sehari-hari selepas menonton. Mengkoreksi orang yang mengucapkan ‘semelekom’, misalnya.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.