3/5
Asia
Drama
Family
Indonesia
Psychological
Socio-cultural
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Hoax
Lahir dari film-film indie membuat seorang Ifa Isfansyah tak serta-merta berhenti menggarap film-film indie yang idealis di tengah perjalanan karirnya sebagai sutradara film-film komersial. Tahun 2012 lalu ia sempat menggarap Rumah dan Musim Hujan, sebuah omnibus multi genre, racikan antara drama keluarga, thriller, dan mistis. Jajaran cast pendukungnya tak main-main. Ada Tora Sudiro, Vino G. Bastian, Tara Basro, Jajang C. Noer, Aulia Sarah, Permata Sari Harahap, dan Landung Simatupang. Baru sempat diputar di Jogja-NETPAC Asian Film Festival tahun 2012, International Film Festival Rotterdam 2013 silam, dan beberapa festival film internasional lainnya, butuh enam tahun bagi Rumah dan Musim Hujan untuk bisa diputar untuk umum secara luas di jaringan-jaringan bioskop Indonesia. Itu pun dengan versi sunting ulang yang dimaksudkan agar lebih relevan dengan penonton saat ini dan menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan Lembaga Sensor Film yang akhir-akhir ini sedikit lebih sensitif, termasuk untuk urusan judul yang juga ikut menyesuaikan isu kekinian, Hoax.
Sebuah keluarga tampak bahagia dan baik-baik saja ketika berkumpul dan makan malam bersama di meja makan. Bapak (Landung Simatupang), si sulung, Raga (Tora Sudiro), putra kedua, Ragil (Vino G. Bastian), dan sang putri bungsu semata wayang, Adek (Tara Basro). Setelah makan malam usia, penonton mendapati bahwa masing-masing menyimpan rahasia yang berkembang makin runyam, termasuk tentang sosok sang ibu yang misterius.
Jika versi Rumah dan Musim Hujan memiliki struktur bercerita per segmen untuk tiap karakter anak seperti layaknya Pulp Fiction atau Amores Perros, maka versi Hoax memilih gaya tutur yang berjalan linear, menggabungkan ketiganya berjalan beriringan sehingga lebih bisa diikuti dan dinikmati oleh penonton umum kita. Namun resikonya, beberapa transisi adegan mungkin terkesan kurang mulus menyatu karena memang tidak dikonsep demikian sejak awal, tapi tak sampai mengganggu fokus dalam menyampaikan laju plotnya. Begitu juga keseimbangan komposisi porsi tiap karakter yang harus mengorbankan salah satu demi kepentingan-kepentingan tertentu. Lebih dari itu, masih ada beberapa momen komedi situasi menggelitik, suspense thriller, dan bahkan horor mistis diselipkan di banyak kesempatan untuk membumbui plot dramanya yang lebih banyak berupa dialog dan interaksi antar karakter daripada ‘aksi’.
Daya tarik utama Hoax sebenarnya ada pada konsep cerita yang dikemas untuk membuat penonton penasaran terhadap apa yang sebenarnya terjadi dan rahasia apa yang disimpan oleh tiap karakter. Sebagaimana kebanyakan film arthouse indie, pada akhirnya nalar dan/atau imajinas masing-masing penonton lah yang menentukan konklusi film (secara keseluruhan satu film utuh, bukan per segmen). Tak sulit dan cukup jelas untuk dianalisis, tapi tetap menyisakan rasa penasaran penonton untuk menarik kesimpulan ataupun berdiskusi. Kemasan Hoax membuat versi aslinya yang terkesan eksperimental dan absurd menemukan satu inti yang relevan dengan semua segmen, sebagaimana tersampaikan pula lewat judulnya. Hoax menjadi salah satu contoh bagaimana editing bisa mempengaruhi storytelling dan Sentot Sahid melakukannya dengan sangat baik.
Penampilan jajaran aktor papan atas, terutama Tora Sudiro, Aulia Sarah, Tara Basro, dan Landung Simatuppang, cukup mendukung dengan baik, tapi pencuri perhatian utamanya tentu saja Jajang C. Noer yang mencoba memanipulasi persepsi penonton antara sisi serius dan canda dari karakter sang ibu yang dibawakan. Sayang penampilan Vino G. Bastian menjadi terasa kurang punya porsi gara-gara editing yang harus memperhatikan kepentingan sensor terkait isu yang sedang panas dibahas saat ini.
Hoax memang bukan film terbaik Ifa, tapi bisa jadi termasuk salah satu yang paling menarik. Tergolong segmented, tapi tidak lantas jatuh menjadi karya indie yang absurd. Plotnya masih cukup bikin penasaran untuk diikuti dan dengan konklusi yang reflektif tentang tema yang diangkat. Bukan sekedar yang dipertanyakan di tagline, “siapa yang bohong?”, tapi lantas apa konsekuensi dan/atau sejauh mana kebohongan-kebohongan tersebut berdampak.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.