The Jose Flash Review
Black Panther

Meski sudah tampil sejak pertama kali tahun 1966 di komik Fantastic Four Vol. 1 issue 52, rupanya jalan Black Panther untuk mendapatkan film layar lebar sendiri cukup panjang. Sempat ada rencana tahun 1992 dengan bintang Wesley Snipes (bahkan sebelum namanya identik dengan karakter Blade), tapi tak pernah benar-benar membuahkan hasil berarti, kemudian sempat diumumkan sebagai salah satu dari sepuluh film Marvel yang dikembangkan ketika masih bersama Paramount Pictures tahun 2005. Baru ketika MCU (Marvel Cinematic Universe) benar-benar terbangun dengan solid, ia mendapatkan lampu hijau untuk punya film sendiri. Tentu saja setelah perkenalan di Captain America: Civil War (2016) yang bertujuan memperkenalkan sang pangeran Wakanda sehingga tak sulit untuk mempromosikan film berdiri sendirinya kelak. Ini merupakan salah satu bukti bagaimana di tangan Disney, MCU sudah didesain dan direncanakan dengan begitu matang serta solid. Sebagaimana film-film ‘tunggal’ MCU lainnya, Black Panther (BP) pun menawarkan keunikan gaya tersendiri. Apalagi dengan isu diversity yang semakin gencar didengungkan di negara asalnya dan juga seluruh dunia, membuatnya terasa dirilis pada era yang tepat untuk menemukan relevansinya. Ryan Coogler (Fruitvale Station, Creed) jelas pilihan yang tak main-main untuk dipercayakan di bangku penyutradaraan dan penyusun naskah, bersama Joe Robert Cole (dua episode American Crime Story: O.J. Simpson) yang juga membuktikan keseriusan Marvel Studios menggarap MCU sesuai dengan relevansi isu global yang seolah menjadi misi Disney secara keseluruhan beberapa tahun terakhir lewat karya-karyanya.

Chadwick Boseman masih dipercaya mengisi peran karakter sentral, didukung Michael B. Jordan (Fruitvale Station, Creed, Fantastic Four), Lupita Nyong’o (12 Years a Slave, The Jungle Book, Star Wars: The Force Awakens), Danai Gurira (All Eyez on Me), Daniel Kaluuya (Sicario, Get Out), Martin Freeman (The Hobbit Trilogy), Andy Serkis (The Lord of the Rings Trilogy dan Rise of the Planet of the Apes Trilogy), hingga Angela Bassett (Boyz in the Hood, Malcolm X) dan Forest Whitaker (Ghost Dog: The Way of the Samurai, The Last King of Scotland).
Selepas tewasnya Raja T’Chaka, T’Challa pulang ke kerajaan rahasianya di Afrika, Wakanda, untuk segera ditahbiskan sebagai raja yang baru. Konon Wakanda digambarkan sebagai sebuah kerajaan di Benua Afrika yang sangat makmur dan punya teknologi jauh lebih maju ketimbang negara-negara superpower manapun di dunia. Semua berkat sumber daya alam berupa vibranium, logam langka yang dianggap terkuat sekaligus teringan, berasal dari meteor yang jatuh di tanah mereka ribuan tahun lalu. Selama ini Wakanda dianggap mitos belaka bak El Dorado karena letaknya yang seolah berada di dimensi lain. Di mata dunia, Wakanda hanyalah sebuah kerajaan bertanah gersang.
Di saat yang nyaris bersamaan, sebuah artefak yang diduga mengandung vibranium dicuri dari museum di London. Pelakunya diduga adalah Ulysses Klaue, seorang pedagang senjata gelap, yang berniat menjual vibranium ke penawar tertinggi. Seantero Kerajaan Wakanda panik dan memutuskan untuk turun tangan langsung. Maka T’Challa bersama dengan seorang mata-mata wanita bernama Nakia dan pemimpin pasukan wanita bernama Dora Milaje, Okoye, memulai penyelidikan hingga Korea Selatan, dibantu teknologi mutakhir Wakanda yang diciptakan oleh adik T’Challa, Shuri. Penyelidikan mereka ternyata membuka sebuah tabir rahasia kelam keluarga kerajaan yang mengguncang keyakinan T’Challa terhadap keluarga dan kerajaan yang ia cintai selama ini.
Menilik kecenderungan Disney dalam menelurkan rilisan-rilisannya beberapa tahun terakhir , kondisi sosial global, dan materi asli BP, jelas bahwa sekarang adalah saat yang tepat bagi Black Panther untuk punya film sendiri. Maka Disney-Marvel pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membangun universe Black Panther dan Wakanda semaksimal mungkin. Ini terlihat sekali dari konsep cerita maupun desain produksi film secara keseluruhan. Secara konsep cerita, dengan jelas dan lantang ia mengangkat isu rasialisme dan diskriminasi yang harus diakui masih terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan di Indonesia sekalipun. Kulit hitam menjadi representasi yang kuat tersampaikan di sini. Namun tak hanya sekedar menuntut kesetaraan hak dan kewajiban bagi kaum minoritas yang selama ini notabene dianggap tertindas, tapi juga berani menyuarakan penyikapan yang lebih bijak ketimbang membalas dengan anarkisme sebagaimana yang terjadi di dunia nyata saat ini. Maka apapun variabel kasusnya, baik ras, suku bangsa, ataupun agama, value luar biasa ini punya relevansi yang sangat kuat (jangan lewatkan mid-credit scene yang dijamin membuat Anda secara spontan berdiri dan memberikan applause). Itulah kekuatan utama yang membuat BP terasa paling menonjol dibandingkan installment-installment sebelumnya.
Selain di lingkup value yang universal, BP juga memasukkan konflik personal yang tak kalah menariknya. Rahasia keluarga yang bisa saja mematahkan semangat T’Challa sebagai raja baru Wakanda menjadi kekuatan tersendiri untuk menawarkan ide revolusioner dari diri sendiri tanpa terpengaruh oleh ‘hantu-hantu’ masa lalu. Statusnya boleh saja ‘hanya’ value pendukung, tapi ternyata tak kalah kuat, digulirkan dengan sangat baik, serta dalam porsi yang tak sampai tumpang tindih terhadap value utama. Terakhir, tentu saja tema women empowerment yang kali ini masuk dengan begitu halus, tak terkesan dipaksakan, dan pada proporsional yang pas. Membuat keterlibatan wanita sebagai sesuatu yang wajar, tak sampai terkesan kelewat sengaja ditonjolkan ataupun glorifikasi.
Secara desain produksi, ia memadu-padankan berbagai elemen tribal, mulai dari desain kostum Ruth E. Carter, tata kota hasil desain produksi Hannah Beachler beserta tim art, tata rias, musik Ludwig Göransson, hingga tipografi, dengan budaya-budaya kulit hitam populer seperti hip-hop dan seni grafiti. Kesemuanya berpadu dengan porsi yang pas dan yang terpenting, berhasil membangun nuansa film menjadi sesuatu yang unik dan punya emosi yang lebih dari cukup. Megah, bersahaja, asyik, sekaligus menggugah. Tak ketinggalan berbagai kecanggihan teknologi yang meskipun tak benar-benar baru (misalnya pesan hologram yang jelas terinspirasi dari Star Wars tapi punya keunikan visual tersendiri), tapi tetap terlihat keren dan realistis. Terutama kostum Black Panther yang konon bisa menyerap serangan dan mengolahnya menjadi energi kinetik balasan. 
Di balik tema-tema yang terkesan serius dan aktual, BP tak melupakan fitrahnya sebagai tontonan yang menghibur. Selain memanjakan panca indera lewat desain produksi yang serba unik, ia masih punya adegan-adegan aksi dengan kualitas setara installment-installment MCU lainnya dan selipan humor-humor khas MCU yang sangat menggelitik. Berkat koreografi, camera work Rachel Morrison, editing Debbie Berman serta Michael P. Shawver, juga keberanian menampilkan adegan-adegan kekerasan brutal dan berdarah secara sedikit lebih eksplisit dibandingkan film-film MCU sebelumnya (kecuali Wolverine, itu tidak -setidaknya belum- dianggap sebagai bagian dari MCU), membuat berbagai adegan aksi terasa seru, mendebarkan, dan pada akhirnya, glorious.
Chadwick Boseman semakin membuktikan diri punya kharisma lebih dari cukup sebagai jagoan utama, T’Challa alias Black Panther. Michael B. Jordan pun mengimbangi lewat peran antagonis, Erik Killmonger, yang jelas bertolak belakang dari tipikal peran yang selama ini sering dibawakannya. Sementara Lupita Nyong’o sebagai Nakia, Danai Gurira sebagai Okoye, Martin Freeman sebagai Everett Ross, Daniel Kaluuya sebagai W’kabi, Letitia Wright sebagai Shuri, Winston Duke sebagai M’Baku, Forest Whitaker sebagai Zuri, dan Andy Serkis sebagai Ulysses Klaue mungkin tak punya porsi yang cukup untuk mengimbangi Boseman maupun Jordan, tapi masing-masing punya momentum tersendiri untuk membekas dalam ingatan penonton. Bukan tak mungkin malah sampai menjadi idola baru.
Dengan bangunan konsep yang relevan dengan kondisi sosial global saat ini, desain universe yang unik, serta kemasan yang juga menghibur, tak berlebihan jika saya menobatkannya sebagai salah satu installment MCU terbaik. Keseimbangan antara value-value kuat dan kemasan hiburan serba memanjakan panca indera yang jarang ditemui di film blockbuster Hollywood. BP mampu mencapainya dengan meracik kesemua elemen dengan begitu baik.
Lihat data film ini di IMDb.


The 91st Academy Awards nominees for:

  • Best Motion Picture of the Year
  • Best Achievement in Music Written for Motion Pictures (Original Score) - Ludwig Göransson 
  • Best Achievement in Music Written for Motion Pictures (Original Song) - All the Stars 
  • Best Achievement in Costume Design - Ruth E. Carter 
  • Best Achievement in Production Design - Hannah Beachler & Jay Hart 
  • Best Achievement in Sound Editing - Benjamin A. Burtt & Steve Boeddeker 
  • Best Achievement in Sound Mixing - Steve Boeddeker, Brandon Proctor, and Peter J. Devlin 

Diberdayakan oleh Blogger.