The Jose Flash Review
Lady Bird

Selama ini kita mengenal sosok Greta Gerwig sebagai aktris saja, seperti di film yang melambungkan namanya, Frances Ha (dimana dia juga menyusun naskahnya sendiri), disusul Jackie dan 20th Century Women. Siapa sangka ia ternyata punya bakat sebagai sutradara. Dimulai dari film kecil yang beredar terbatas bersama Joe Swanberg, Nights and Weekends (2008), langkahnya semakin melaju lewat film keduanya sebagai sutradara yang sekaligus ia susun sendiri naskahnya, Lady Bird (LB). Sebuah drama komedi coming-of-age yang sempat diduga semi-otobiografi dari dirinya, terutama gara-gara setting ibukota negara bagian California, Sacramento yang memang menjadi kota kelahiran Gerwig, tapi ditepis oleh dirinya sendiri. Dibintangi nominee Oscar, Saoirse Ronan, Laurie Metcalf, Odeya Rush, Lucas Hedges, dan Timothée Chalamet, siapa sangka kali ini menjadi keberuntungan bagi Gerwig. Dipuji banyak pihak, laris secara komersial (konon rekor pendapatan rilisan A24 tertinggi), dan bahkan masuk berbagai bursa ajang penghargaan. Tak terkecuali Oscar 2018 dimana ia dinominasikan untuk 5 kategori utama, termasuk Best Motion Picture of the Year. Setelah penantian yang cukup lama akhirnya LB secara resmi rilis di bioskop-bioskop Indonesia.

Di usianya yang menjelang 18 tahun, krisis kepercayaan diri yang dialami Christine McPherson atau yang lebih senang memanggil dirinya ‘Lady Bird’ mencapai puncaknya. Lahir dari keluarga yang perekonomiannya tergolong masih sulit dan tak punya bakat khusus yang bisa dibanggakan termasuk nilai akademis yang standar-standar saja, daftar pilihan kampus tujuan ketika lulus kelak menjadi tak panjang. Sikapnya cenderung membenci sekitar, memberontak, dan tak pernah puas dengan kondisinya sendiri. Belum lagi kegelisahannya untuk melepas keperawanan. Hingga sang ibu, Marion, sudah tak tahan lagi dengan tingkah putri semata wayangnya, ujian kedewasaan Sang Lady Bird turut mencapai puncaknya.
Secara garis besar LB memang terkesan just another coming-of-age movie yang menggabungkan berbagai problematika khasnya ke dalam satu adonan. Kadang bisa punya korelasi antar konflik yang terangkai baik, kadang bisa juga terkesan acak. LB termasuk kategori yang mampu merangkai berbagai berbagai konflik klasik remaja dengan korelasi yang kuat. Semuanya realistis dan hubungan sebab-akibatnya bisa dianalisis lebih jauh, termasuk memasukkan aspek kondisi ekonomi yang mempengaruhi perilaku Sang Lady Bird. Lebih baik lagi, Gerwig punya selera humor yang baik. Alih-alih membuat kisahnya terkesan (sok) serius atau hipster, ia memilih untuk mengemasnya sebagai sebuah komedi cerdas dengan level yang pas. Tak terlalu slapstick atau komikal, tetap realistis dan down-to-earth, cukup cerdas, dan yang pasti, tetap mampu membuat penonton tertawa, baik sekedar tersenyum geli maupun hingga terbahak-bahak melihat tingkah para karakternya, terutama penonton dewasa yang sudah melewati masa-masa remaja. 
Tak boleh dilupakan juga bagaimana Gerwig secara efektif berhasil memperkenalkan kondisi sosial Sacramento sebagai latar yang punya andil besar terhadap konflik personal Sang Lady Bird. LB pun menutup kisahnya dengan sebuah solusi yang berhati besar. Sederhana tapi justru itulah satu-satunya solusi yang paling tepat. 
Dipercaya menjadi lead, Saoirse Ronan sekali lagi membuktikan kharisma dan kualitas aktingnya. Tak mudah menampilkan sosok yang menyebalkan tapi tetap mampu mengundang simpati penonton. Ronan berhasil membawakannya dengan porsi yang serba pas. Laurie Metcalf pun mengimbangi dengan performa serta emosi yang membuatnya tetap mampu memikat penonton di balik porsi yang tak terlalu banyak sebagai sang ibu, Marion. Lucas Hedges mengingatkan saya akan sosok Michael Cera dalam membawakan peran Danny, sementara Timothée Chalamet juga mampu mencuri perhatian ketika mengisi peran Kyle yang cool. Terakhir, saya tak boleh lupa menyebutkan Beanie Feldstein sebagai Julie dan Odeya Rush sebagai Jenna yang tak kalah mencuri perhatian di tiap kali kemunculan mereka.
Tak ada yang benar-benar menarik ataupun baru dari segi teknis. Sinematografi Sam Levy masih menggunakan angle-angle dan camera work standar di genrenya. Tak salah selama memang masih efektif dalam menyampaikan cerita. Efek grainy membuatnya terkesan bak direkam dengan film seluloid era ’90-an. Editing Nick Houy pun tak ada yang standout selain sekedar menjalankan plot dengan porsi dan energi yang pas sepanjang film. Begitu juga musik Jon Brion yang terkesan sederhana dengan pilihan tracklist yang cukup asyik dalam mewakili spirit film. Mulai Hand in My Pocket dari Alanis Morissette, The Crossroads dari Bone Thugs n Harmony, Crash Into Me dari Dave Matthews Band, Cry Me a River dari Justin Timberlake, This Eve of Parting dari John Hartford, hingga Fred Astaire, lagu yang khusus diciptakan untuk film ini dan dibawakan oleh band L’enfance Neu milik karakter yang diperankan Timothée Chalamet.

LB memang tak ubahnya just another coming-of-age movie, tapi berasal dari naskah yang terangkai dengan baik, serta sensitivitas drama dan komedi yang ternyata juga tergolong baik dari seorang Gerwig. Ditambah performa-performa akting yang memukau dan menyenangkan, LB adalah salah satu film favorit saya di bursa penghargaan tahun ini, termasuk di Academy Awards.
Lihat data film ini di IMDb.


The 90th Academy Awards Nominee for:

  • Best Motion Picture of the Year
  • Best Performance by an Actress in a Leading Role - Saoirse Ronan
  • Best Performance by an Actress in a Supporting Role - Laurie Metcalf
  • Best Achievement in Directing - Greta Gerwig
  • Best Original Screenplay - Greta Gerwig
Diberdayakan oleh Blogger.