3.5/5
Adventure
Asia
Blockbuster
Box Office
Comedy
Franchise
Indonesia
Parody
Pop-Corn Movie
Reboot
sequel
slapstick
Socio-cultural
spoof
The Jose Flash Review
Tribute
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Warkop DKI Reborn:
Jangkrik Boss! Part 2
Ada banyak cara untuk kembali mengangkat materi yang pernah populer beberapa generasi lalu. Cara yang paling basic adalah remake, meski remake sendiri bisa dilakukan dengan berbagai kemungkinan treatment. Apa yang dilakukan Falcon Pictures kepada legenda humor Indonesia, Warkop DKI, lewat Warkop DKI Reborn (WDKI-R), tergolong unik meski bukan pula sepenuhnya yang pertama kali ada. Dengan mempertahankan ciri-ciri khas group lawak, mulai tampilan fisik hingga style dan pattern humor, upaya melestarikan warisan Warkop DKI dibangun lewat aktor-aktor non-komedi dengan treatment yang lebih modern dan mumpuni.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana membaca dan kemudian menyesuaikan gaya humor dengan penonton sekarang yang selera humornya makin beragam dan punya range perbedaan yang cukup lebar. Maka installment pertama, Jangkrik Boss! Part 1 (JB1) mencoba untuk menggabungkan berbagai style humor untuk merengkuh berbagai selera humor penonton. Hasilnya, memang sulit (bahkan mustahil) untuk memenuhi ekspektasi kesemuanya, tapi angka 6.8 juta penonton yang bahkan mencatat rekor terlaris di Indonesia sepanjang masa, lebih dari cukup untuk membuktikan keberhasilan dalam memenuhi selera humor mayoritas penonton Indonesia. Bahkan mereka yang mungkin sebelumnya jarang atau malah belum pernah menjejakkan kakiknya di lantai gedung bioskop sama sekali. Setidaknya, JB1 berhasil menemukan penonton-penonton baru di daerah-daerah yang selama ini jarang atau malah sama sekali tidak dilirik sebagai potensi pasar karena PH dan para eksibisioner terlalu sibuk menggarap pasar urban dan/atau mengengah ke atas. Ini tentu sebuah pencapaian yang tidak bisa dianggap remeh dan mau tak mau memperluas pasar untuk film-film Indonesia secara keseluruhan. Terbukti hype JB2 dimanfaatkan oleh banyak PH untuk merilis trailer film-film terbaru mereka. Film-film Warkop DKI yang dulu sempat menjadi santapan wajib tiap musim liburan (baca: menjadi momentum itu sendiri), kembali dihadirkan lewat WDKI-R.
Melanjutkan plot dari JB1, JB2 dibuka dengan pencarian tas berisi peta harta karun yang tertukar ketika mendarat di bandara Kuala Lumpur. Pencarian tersebut justru mempertemukan Dono, Kasino, Indro, dan Sophie, dengan Nadia, seorang peneliti asli Malayisa. Ia bersedia memandu mereka ke pulau paling barat di Malaysia yang dipercaya merupakan lokasi harta karun yang diisyaratkan dalam peta meski sebenarnya enggan karena menurut pengalamannya yang dulu pernah melakukan penelitian, pulau tersebut dikenal angker. Siapa sangka ternyata perjalanan mereka di pulau tersebut justru menyingkap tabir misteri yang mengikuti mereka sejak awal.
Sebelum membahas lebih jauh, saya ingin mempertegas bahwa review ini bukan untuk memberi tahu apakah JB2 lucu atau tidak, ataupun lebih lucu mana dibandingkan JB1. Kesemua itu kembali kepada kecocokan style humor masing-masing sehingga resepsinya akan sangat bervariasi. Ini berlaku untuk semua film bergenre komedi. Namun jika Anda penasaran resepsi saya pribadi, saya masih lebih sering tertawa lepas dan terbahak-bahak di JB1. Sementara di JB2 masih ada beberapa joke yang sekedar membuat saya tersenyum tapi masih cukup banyak yang berhasil membuat saya tertawa secara spontan. Sekali lagi, WDKI-R berusaha menebarkan banyak style humor untuk men-serve range penonton yang beragam. Jadi wajar jika ada penonton yang berhasil tertawa sepanjang film bahkan tidak bosan mengulang berkali-kali. Sementara di sisi lain ada juga yang tidak tertawa sama sekali. Bukan soal selera humor mana yang lebih tinggi/rendah, tapi perbedaan style humor.
Concern saya yang lebih penting adalah bagaimana Anggy Umbara selaku sutradara sekaligus penulis naskah, dibantu oleh Bene Dion Rajagukguk dan Andi Awwe Wijaya yang memperkaya style humornya, menjahit homage-homage yang ingin ditampilkan menjadi satu konsep cerita yang koheren. Anggy sekali lagi menunjukkan diferensiasinya di perfilman Indonesia lewat fantasi yang imajinatif dalam upaya tersebut. Sedikit mengingatkan saya akan treatment-nya di Comic 8 yang kurang lebih setipe. Homage-homage terhadap berbagai judul film Warkop DKI lawas, terutama Setan Kredit dan IQ Jongkok, digabungkan menjadi satu plot utuh yang cukup koheren meski tak bisa dipungkiri ada penguluran yang sengaja dilakukan demi memasukkan set-set komedi yang memang menjadi komoditas utamanya. Lagipula sejak kapan penonton Warkop DKI datang untuk mengikuti plotnya?
Speaking of humor, di paruh pertama lebih banyak menyuguhkan formula humor khas Warkop DKI sebagai trio, dimana ada pengumpan dari Indro, kemudian ditangkap dan diolah menjadi punch oleh Kasino, hingga Dono yang menjadi ‘korban’-nya sekaligus puncak tawa. Perlu kerjasama dan chemistry yang terjalin baik untuk membuatnya berhasil. Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, dan Tora Sudiro terasa makin kompak sebagai satu kesatuan trio sesuai peran masing-masing, termasuk juga soal timing yang makin jelas terasah. Meski Vino yang terlihat paling menonjol lewat celetukan-celetukannya (bahkan ada yang sampai ‘menembus dinding keempat’, dimana para karakter tampak berkomunikasi langsung dengan penonton), Abi yang makin menyerupai Dono terutama dalam hal gesture dan aksen, juga semakin berhasil dalam memancing tawa. Begitu juga Tora yang akhirnya bisa lebih ‘pecah’ dari JB1. Hannah Al Rashid masih tampil cukup konsisten sebagai Sophie meski porsi perannya bisa dikatakan sedikit berkurang. Sementara Fazura (Nur Fazura Sharifuddin, aktris Malaysia yang sebelumnya tampil di Rafathar) mencuri perhatian sebagai Nadia berkat pesona kecantikannya sekaligus kharisma akting yang cukup terasa pas bersanding dengan tiga karakter utamanya. Sementara penampilan Babe Cabiita mungkin bukan performance terlucunya. Memang disiapkan bukan sebagai highlight yang penting (yang mungkin malah bisa mendistraksi menu utamanya), tapi Babe tampil lebih dari cukup dalam upaya memberi warna lebih sesuai porsinya.
Di paruh berikutnya, Anggy mulai menyeimbangkan gelaran-gelaran humor khas Warkop DKI dengan homage terhadap ikon-ikon film Indonesia klasik (yang kebetulan rights-nya juga sudah ada di tangan Falcon untuk direstorasi maupun diremake) lewat penggabungan fantasi dengan parodi. Hasil restorasi footage-footage asli tersebut digabungkan dengan adegan-adegan baru yang sengaja dibuat noisy dan penyesuaian color tone yang membuatnya terkesan ‘nyambung’. Upaya yang membuat penonton materi aslinya tersenyum-senyum bernostalgia sambil sesekali dibuat tertawa secara spontan lewat kemasan parodinya, dan penonton baru mengenal ikon-ikon penting film Indonesia di masa lalu. Dengan demikian, JB2 tak hanya menjadi upaya pelestarian Warkop DKI, tapi juga ikon-ikon film Indonesia penting lainnya yang bukan tak mungkin akan terus disisipkan di film-film berikutnya.
Jika tak semua suguhan humonya berhasil membuat tertawa terbahak-bahak, JB2 masih menyuguhkan kembali atmosfer fun khas yang pernah dimunculkan lewat film-film Warkop dari era manapun (baik sejak era awal kemunculan, era Parkit Film, hingga Soraya) secara konsisten sepanjang film. Ini saja sudah lebih dari cukup untuk membuat saya betah, bahkan durasi yang hampir 100 menit terlewatkan tanpa terasa. I want more, for sure!
Teknis JB2 pun tampak masih konsisten. Mulai kamera Yunus Pasolang yang efektif dalam pembangunan berbagai jenis humor serta tak melupakan kesan sinematis, editing Wawan I Wibowo yang makin ‘sharp’ soal momentum humor dan penjagaan keseimbangan laju plot, visual effect dari Epics FX Studios dan Andi Wijaya yang tahu kapan harus realis kapan harus komikal, hingga musik Andhika Triyadi yang memang tak berbeda dari JB1 tapi masih efektif dalam berbagai kebutuhan humor sekaligus pembangunan atmosfer asli khas Warkop dengan ‘warna’-nya tersendiri.
Di mata saya, JB2 sekali lagi menjadi pembuktian kepiawaian Anggy menggarap materi-materi yang diberikan kepadanya dengan kemasan fantasi yang masih sangat jarang dimiliki perfilman kita. Tak kelewat ngaco dan dengan koherensi yang masih tertata baik, pun juga berhasil menjadi showcase yang relevan dalam menjahit tribute-tribute-nya. Dengan perolehan penonton yang luar biasa, upaya mereka bisa dikatakan diterima dengan baik oleh mayoritas penonton. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa upaya awal Falcon Pictures untuk melestarikan (bukan menggantikan) Warkop DKI termasuk berhasil. Topik menarik berikutnya adalah apakah di film-film berikutnya Falcon dan timnya akhirnya berani menggunakan materi-materi humor baru, atau sejauh mana modifikasi yang dilakukan untuk menyesuaikan dengan selera humor (mayoritas) penonton saat ini? Saya sendiri sudah tak sabar menantikan ‘gebrakan-gebrakan’ berikutnya dari Falcon Pictures untuk terus melanjutkan franchise ini.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.