3/5
Adventure
Asia
Based on a Legend
Horror
Indonesia
Investigation
Legend
Mystery
Mythology
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Gerbang Neraka
[Firegate]
Legacy Pictures dikenal sebagai salah satu PH yang selalu berupaya menyuguhkan varian tema beragam di perfilman nasional. Setelah debut proyek pertama, Kapan Kawin, sebenarnya Firegate yang memadukan horor mitologi dengan petualangan bak film-film bertemakan mummy, adalah proyek kedua mereka. Namun mengusung tema yang masih sangat asing bagi penonton kita tentu beresiko tinggi. Maka butuh waktu sekitar dua tahun untuk menemukan bentuk yang paling bisa diterima penonton kita, moda promosi yang pas, sekaligus memaksimalkan visual effect dan CGI yang menjadi salah satu elemen krusial film. September 2017, Firegate akhirnya siap rilis dengan judul terjemahan, Gerbang Neraka (GN), yang tentu terdengar lebih akrab di telinga penonton umum kita. Disutradarai Rizal Mantovani yang reputasinya sudah melambung di genre horor Indonesia (setidaknya dari segi visual), GN mempertemukan Reza Rahadian, Julie Estelle, dan Dwi Sasono. Tentu nama-nama ini menjadi daya tarik yang begitu besar.
Tomo Gunadi, seorang wartawan tabloid mistis, tertarik dengan ekskavasi Piramida Gunung Padang yang sedang dilakukan tim arkeologi yang ditunjuk langsung oleh Presiden. Citranya sebagai wartawan tabloid mistis tentu membuat kehadirannya ditolak mentah-mentah oleh Arni Kumalasari, arkeolog yang ditunjuk menjadi pemimpin ekskavasi. Namun sikapnya melunak setelah satu per satu jatuh korban tewas misterius di lokasi. Tak hanya Tomo, Arni juga menggandeng Guntur Samudra, paranormal selebriti yang punya acara gaib di TV, untuk memecahkan misteri apa yang ada di balik Piramida Gunung Padang. Perlahan mulai terkuaklah apa fungsi Piramida dan siapa sosok mitologi Badurakh yang menjaga Piramida selama ini. Tomo, Guntur, dan Arni bukan secara kebetulan dipertemukan.
Di atas kertas, GN memang menawarkan tema yang fresh di perfilman nasional. Terutama tentang pembangunan mitologi dan makhluk yang mungkin belum banyak diketahui oleh orang-orang Indonesia sendiri. Terlepas dari sejauh mana mitos yang benar-benar ada (atau pernah ada) dan mana yang difiksikan sendiri oleh Robert Ronny sebagai penulis naskah, GN membangun mitologi yang begitu menarik. Tak kalah dengan mitologi-mitologi bangsa lain yang sudah lebih dulu mendunia, dengan sentuhan lokal yang membumi bagi penonton Indonesia, serta relevansi terhadap kondisi sosial bangsa kita saat ini pula. Juga tak ada yang salah dengan pembangunan plot, mulai setup yang relevan dengan konsep mitologinya kemudian, step-step pengungkapan misteri, hingga jumpscare yang tergolong efektif untuk ‘menghibur’ penonton horor Indonesia.
Namun agaknya GN masih belum menemukan keseimbangan porsi yang pas antara penyampaian penjelasan mitologi yang ada dengan kemasan visualisasi yang menghibur. Alhasil dengan durasi yang mencapai 112 menit, GN punya cukup banyak adegan penjelasan yang kelewat panjang dan membosankan. Apalagi bagi penonton yang tak begitu peduli dengan sajian mitologinya dan hanya mengharapkan momen-momen horor yang mencekam. Bukan berarti tak ada momen horor sama sekali. Justru ada beberapa momen mencekam yang menurut saya sangat efektif bagi penggemar jumpscare meski pembangunan momennya tergolong minim dan generik. Namun tak bisa dipungkiri jarak antar horror-moments terlampau jauh dengan adegan-adegan penjelasan yang kebanyakan secara verbal dan energi yang masih kelewat santai, secara keseluruhan GN terasa melelahkan.
Tiga cast di lini terdepan memang sudah punya reputasi yang baik di perfilman Indonesia. Sayangnya masih cukup banyak pilihan reaksi dan ekspresi yang tidak logis. Bahkan pada karakter Tomo yang diperankan oleh seorang Reza Rahadian sendiri. Meski tentu saja kharismanya tetap terasa kuat sebagai lead, cukup banyak detail-detail ekspresi yang mengganjal. Julie Estelle tampil cukup fair lewat karakter Arni yang memang tak punya banyak pengembangan berarti. Sedangkan Dwi Sasono masih belum lepas dari citra komikal, apalagi dengan karakterisasi yang memang agak komikal. Namun citra yang sudah terlanjur sangat komedi menjadi bumerang bagi karakternya yang seolah tak lebih dari sekedar penyampai komedi semata. Padahal karakter Guntur punya andil yang cukup penting, termasuk sebagai pengundang simpati emosional di klimaksnya.
Di lini berikutnya, Ray Sahetapy sebagai Profesor Theo, Puy Brahmantya sebagai Vero, Reza Nangin sebagai Rihcard, Khiva Iskak sebagai Syamsul, Ratu Anandita sebagai Wulan, dan Otig Pakis sebagai Pak Iwan, tampil sesuai porsi masing-masing tapi mungkin akan mudah terlupakan. Terakhir, Lukman Sardi yang sengaja ‘disembunyikan’ masih terasa miscast meski berupaya menampilkan optimalisasi dalam penggambaran karakternya.
Efek visual dan CGI menjadi salah satu daya tarik GN. Kabar baiknya, Orange Room CS menyuguhkan efek-efek visual dan CGI yang tergolong tergarap dengan sangat baik, terutama untuk visual-visual yang melibatkan api. Begitu juga dengan efek make-up Chaery Eka Wirawan dan Dian Anggraini yang realistis. Artistik Vida Sylvia pun tertata cukup apik, meski harus diakui bangunan eksterior dan interior Piramida Gunung Padang masih jauh dari realistis. Namun ini masih bisa saya maklumi mengingat ukuran set yang tentu membutuhkan budget yang lebih besar lagi.
Sementara teknis-teknis lain menurut saya tergarap dengan baik sebagaimana fungsinya. Seperti camera work Faozan Rizal yang menjadi pendukung utama momentum-momentum horor maupun adventurous, editing Ganda Hartadi yang sudah berupaya menyeimbangkan berbagai elemennya meski hasil akhirnya masih belum menemukan titik teroptimal, sampai ilustrasi musik Andi Rianto yang saya rasa berhasil membangun suasana creepy lewat paduan musik-musik etnik, bunyi-bunyian okultisme, dan orkestra petualangan megah.
Secara keseluruhan kemasan, GN memang masih terasa jauh dari kata seimbang. Namun setidaknya ia menawarkan pembangunan mitologi yang menarik dan cukup solid. Apalagi dengan korelasi kondisi sosial bangsa kita saat ini yang sangat relevan untuk menjadi semacam bahan kontemplasi, termasuk soal relijiusitas. Dengan kualitas visual, terutama efek visual dan CGI, yang tergolong tertata sangat baik, GN tetap layak mendapatkan apresiasi dan perhatian lebih.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.