The Jose Flash Review
Kingsman: The Golden Circle

Di antara banyaknya tokoh agen rahasia, tak banyak yang berhasil menjadi ikon. Apa yang dicapai Kingsman: The Secret Service (2015), berdasarkan komik berseri karya Mark Millar dan Dave Gibbons yang diterbitkan Icon Comics sejak tahun 2012, ini tergolong istimewa. Film pertama saja sudah berhasil menarik perhatian penonton hingga pendapatannya mencapai US$ 414.4 juta di seluruh dunia (menurut Box Office Mojo hingga 23 Juni 2015). Dengan kemasan yang serba fresh, dinamis, kekerasan brutal dan berdarah-darah, dan humor bereferensi pada budaya pop, tentu dengan mudah ia mencuri perhatian secara instan. Bahkan gaya dandanan gentleman a la bangsawan Inggris pun lantas menjadi trend di mana-mana. Ini menandakan kans untuk terus mengembangkannya sebagai franchise sangat besar sekali. Tahun 2017 ini dengan tim yang kurang lebih sama, termasuk aktor Taron Egerton, Mark Strong, bahkan kembalinya Colin Firth yang sempat dimatikan di film pertama, sutradara Matthew Vaughn, hingga penulis naskah Jane Goldman dan Vaughn sendiri. Selain dari itu, tentu saja ada penambahan tokoh-tokoh baru yang diperankan oleh aktor-aktris populer untuk menambah daya tarik installment bertajuk Kingsman: The Golden Circle (KTGC) ini. Mulai Channing Tatum, Halle Berry, Jeff Bridges, Pedro Pascal, Julianne Moore, hingga Sir Elton John! Well, the more the merrier, eh?

Pasca kematian Harry Hart, Eggsy melanjutkan karir sebagai agen rahasia independen Inggris, Kingsman, sekaligus hubungan dengan putri Kerajaan Swedia, Tilde. Kedamaiannya kembali terusik dengan kembalinya Charlie, mantan ‘murid’ Kingsman yang pernah gagal lulus. Markas Kingsman hancur lebur dan teman-teman agennya tewas. Termasuk Roxy, agen seangkatannya. Eggsy dan Merlin yang tersisa terpaksa melakukan protokol keamanan cadangan dan menemukan ‘sepupu’ jauh mereka di Kentucky, Amerika Serikat. Adalah Statesman, biri agen rahasia independen sama seperti Kingsman, hanya saja menggunakan bisnis minuman beralkohol sebagai kedok. Nama-nama anggotanya pun menggunakan kode nama miras, seperti Tequila, Ginger Ale, Whiskey, bahkan pemimpin mereka, Champagne.
Di saat yang bersamaan seantero dunia sedang diserang wabah aneh yang menyebabkan ruam berwarna biru dan bahkan menyebabkan kelumpuhan hingga kematian di fase berikutnya. Ternyata serangan tersebut berasal dari Poppy, bos mafia yang produknya meliputi hampir semua jenis narkoba dan didistribusikan di seluruh dunia. Ia rupanya kesal menjadi pengusaha paling sukses di dunia tapi namanya sama sekali tak pernah didengar oleh siapapun. Maka ia meracuni semua produknya dan baru akan menyebarkan penawarnya jika Presiden menyetujui proposal protokol yang ia ajukan. Presiden menolak memenuhi tawaran Poppy. Menurutnya, toh dengan tewasnya semua pengguna narkoba di dunia, maka perang melawan narkoba telah dimenangkan dengan mudah dan cepat. Siapa sangka korbannya ternyata meliputi sekretaris Presiden, Fox, agen Tequila, dan bahkan Putri Tilde. Waktu semakin mendesak bagi Kingsman dan Statesman untuk menemukan Poppy dan penawar racunnya.
Tak hanya menyelesaikan misi baru, KTGC masih harus menyelesaikan apa yang sempat berserakan di installment sebelumnya. Setup untuk menyambung tersebut meliputi kembalinya Charlie dan ‘menghidupkan kembali’ Harry. Ia butuh lebih dari satu jam durasi awal untuk melakukannya. Meski punya adegan aksi pembuka yang begitu mendobrak dan lebih dari cukup untuk berkali-kali membuat penonton melongo, pengembangan plot di paruh pertama terasa kurang berenergi dan agak terlalu bertele-tele. Jauh jika dibandingkan energi keseluruhan film pertamanya. 
Untungnya memasuki paruh kedua, dimana urusan setup-nya sudah beres, KTGC kembali memompa energi setara installment pertama. Tentu kolaborasi antara pengarahan Vaughn, koreografi, camera work George Richmond yang kembali memperkuat adegan-adegan aksi long-take yang dinamis, serta editing Eddie Hamilton yang selalu punya timing pas dalam menjaga intensitas adegan-adegan aksinya. Namun dengan porsi yang demikian, tak banyak porsi yang tersisa untuk mengembangkan sosok villain utama, Poppy, menjadi se-memorable dan sekuat Valentine di installment pertama, misalnya. Porsi investigasi pun tak punya banyak ruang selain dibandingkan film-film espionage pada umumnya. Namun setidaknya masih ada adegan-adegan aksi setara dan sebrutal film pertama yang mampu bikin jaw-dropping, seperti adegan Skyway di Alpen, penyerangan markas Poppy, dan final battle Eggsy-Harry-Whiskey.
Di balik masalah porsi dan pace, KTGC mengangkat isu yang cukup menarik tentang narkoba. Penonton seolah diajak untuk memilih pilihan sulit antara pro-narkoba atau anti-narkoba. Keputusan presiden yang diposisikan sebagai antagonis di film ada benarnya juga. Bukankah dengan membiarkan para pengguna narkoba tewas maka dengan mudah perang melawan narkoba berhasil dimenangkan? Menolong para korban justru bisa dipandang sebagi pro-narkoba. Kontroversial, tapi ada benarnya juga bukan? Namun tanpa bermaksud membesar-besarkannya, ia memberikan konklusi yang ‘aman’ dan memuaskan semua pihak. Pro ataupun kontra, pengalaman yang telah terjadi selalu bisa menjadi pelajaran terbaik bagi manusia.
Taron Egerton masih melanjutkan peran Eggsy dengan kualitas dan performa yang kurang lebih setara. Chemistry yang dibangunnya bersama Mark Strong sebagai Merlin dan Colin Firth sebagai Harry semakin terasa kuat di sini. Di jajaran cast baru, Pedro Pascal sebagai Whiskey yang punya porsi paling banyak terlihat mampu mengimbangi peran-peran utama dengan action skill yang sama mencengangkannya. Sayang, Channing Tatum sebagai Tequila, Halle Berry sebagai Ginger Ale, dan Jeff Bridges sebagai Champ masih tak punya banyak porsi penting selain terkesan sekedar penambah daya tarik lewat star-studded semata. Namun rupa-rupanya sepak terjang mereka akan semakin meningkat di installment-installment berikutnya. Julianne Moore masih cukup mampu menarik perhatian lewat peran villain utama, Poppy, meski pengembangan karakter dan porsinya tak banyak. Setidaknya ia memanfaatkan gesture dan cara bicara secara efektif. Porsi Edward Holcroft pun tak lebih dari sekedar kaki tangan musuh ter-bahaya sebagai Charlie. Sementara pencuri perhatian terbesar tentu saja cameo dari Elton John sebagai diri sendiri yang tak hanya berhasil menjadi penyegar suasana, tapi juga punya beberapa kickass moment.
Musik memegang peranan yang penting dalam menjaga pace dan energi film. Bahkan Take Me Home, Country Roads dimanfaatkan untuk menciptakan glorious moment. Begitu juga Saturday Night’s Alright (For Fighting) dari Elton John dan Word Up dari Cameo yang makin meningkatkan level keasyikan adegan-adegan aksinya. 
Untuk semakin menikmati keasyikan mengalami KTGC, 4DX menjadi pilihan yang tepat. Tak perlu mempertanyakan seat motion dan vibration yang terasa maksimal di adegan aksi pembuka, Skyway, dan favorit saya, battle antara Eggsy-Charlie. Beberapa water spray, wind blows, asap, dan aroma alam, scorch, dan bau busuk (bahkan untuk adegan nyimeng!) semakin menambah keseruan. Salah satu efek 4DX terbaik di tahun 2017 so far.
Dibandingkan installment pertama, KTGC memang terasa mengalami sedikit penurunan, terutama dari segi keseimbangan porsi elemen-elemen yang ingin dimasukkan dan pace yang kurang stabil. Namun setidaknya ia masih menyuguhkan berbagai adegan aksi spektakuler yang meski tak sampai segila di installment pertama, tapi masih mampu membuat penonton terpana dan turut larut di dalam adegan. Tentu saja ada humor-humor bereferensi pada pop-culture seperti fenomena Tinder dan Arm-a-geddon, serta penampilan Elton John yang makin membuat suasana film menjadi sangat fun. Yang pasti dengan masuknya Statesman dan karakter-karakter baru yang tak kalah menariknya, franchise Kingsman masih punya potensi yang luar biasa besar untuk  terus dikembangkan. Masih jauh dari kata ‘kelelahan’ ataupun stagnan. Mungkin saja kali ini sedikit ‘terpeleset’, tapi tak sampai terperosok dalam. Nikmati suguhannya apa adanya, maka KTGC sebenarnya masih cukup ‘gila’ dan mengasyikkan. 
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.