3.5/5
Cult
Hollywood
Horror
Indie
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
Vintage
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Evil Within
Ada banyak alasan mengapa sebuah film (terutama film horor) mendapatkan status sebagai film cult. Salah satunya adalah background pembuatan film yang tak kalah menarik dengan hasil akhir yang memang ‘unik’. Background behind the scene The Evil Within (TEW) memenuhi ‘syarat’ tersebut. Bagaimana tidak? Film yang disutradarai dan naskahnya disusun oleh Andrew Getty (putra komposer Gordon Getty dan paman dari aktor Balthazar Getty) ini sejatinya sudah mulai diproduksi sejak tahun 2002. Namun berbagai masalah, termasuk pembiayaan, konflik jadwal cast, hingga masalah hukum, membuat produksi berkali-kali terhenti hingga benar-benar selesai tahun 2008. Seolah permasalahan belum selesai, Getty yang perfeksionis terobsesi di ruang editing hingga membutuhkan waktu bertahun-tahun menyelesaikannya. Bahkan hingga Getty sendiri harus meninggalkan kehidupan di dunia tahun 2015 karena pendarahan maag sebagai akibat dari kecanduan methamphetamine. Inisiatif dari salah satu produser, Michael Luceri-lah yang akhirnya menyelesaikan film peninggalan Getty ini dan ditayangkan di layar lebar. Indonesia termasuk salah satu yang beruntung ada distributor yang tertarik menayangkannya di layar lebar nasional.
Sejak kecil Dennis mengalami kebingungan membedakan antara mimpi dan nyata. Bahkan hingga dewasa hingga mempengaruhi kejiwaannya. Meski bagi orang di sekitarnya, termasuk sang kakak, John, menganggapnya keterbelakangan mental, ia sendiri merasa sama saja seperti orang-orang di sekitarnya yang hanya menggunakan istilah-istilah rumit agar terdengar lebih cerdas. John sendiri bersikeras merawat Dennis sendiri, menolak perawatan di rumah sakit pemerintah, karena merasa berhutang budi pada sang adik. Di sisi lain sebenarnya John tersiksa secara batin. Tak punya kehidupan pribadi, bahkan kepribadian itu sendiri. Kondisi Dennis semakin menjadi-jadi ketika John menaruh sebuah cermin antik di kamar Dennis. Dennis mulai mendengarkan suara-suara dari dalam diri yang menghasutnya untuk membunuh sebagai pembuktian bahwa dirinya tidak bodoh seperti yang dianggap orang-orang di sekitarnya. Pergulatan dalam diri Dennis semakin kencang ketika sasaran berikutnya adalah John dan kekasihnya, Lydia.
Tema kesulitan membedakan antara mimpi dan kenyataan, apalagi dengan melibatkan medium cermin, sebelumnya sudah pernah diangkat oleh Oculus (2013). Namun TEW mengangkatnya dengan treatment yang tak hanya berbeda, tapi punya relevansi yang lebih kuat. Menggunakan sosok keterbelakangan mental sebagai karakter utama awalnya mungkin terkesan eksploitatif, menyudutkan kaumnya sebagai kaum yang berbahaya dan sebisa mungkin dihindari jika tak ingin terlibat sesuatu yang berbahaya. Namun kemudian ada pergulatan dalam diri karakter Dennis yang memberikan justifikasi yang seimbang.
Selain dari itu, penggambaran kondisi karakter John pun sangat manusiawi dengan keabu-abuannya. Di satu sisi merasa hutang budi terhadap sang adik, tapi di sisi lain kehidupan serta kepribadiannya juga terganggu. Sebuah konflik realistis yang tak kalah mengundang simpati penonton, tanpa harus menjadi sepenuhnya hitam ataupun putih. Dengan kata lain, naskah Getty punya kedalaman dan desain yang solid dalam membangun plotnya. Pengembangannya pun dilakukan dalam step-step yang mengalir. Agak ‘santai’, tapi tergolong mengalir cukup lancar.
Namun yang menjadi daya tarik utama TEW adalah konsep terluarnya sebagai sebuah karya audio-visual. Entah disengaja atau tidak, ia punya tampilan audio maupun visual yang begitu terasa vintage. Bak film-film era ’80-an dengan tone Technicolor yang khas, grain seluloid, kualitas audio (terutama dialog) yang tak sejernih film-film produksi masa kini, dan bahkan penggunaan practical props ketimbang visual effect atau CGI (masih ingat The Evil Dead versi 1981?). Jujur, konsep tampilan vintage seperti ini yang membuat nuansa TEW terasa begitu creepy dan ‘sakit jiwa’ secara konsisten dari awal hingga film berakhir.
Konsistensi kengerian film masih ditambah akting Frederick Koehler yang mampu mentransformasi sosok retarded, Dennis, dengan keseimbangan kecerdasan yang pas dan penampilan natural dalam menerjemahkan pergulatan pribadi karakternya. Sean Patrick Flanery pun menunjukkan keseimbangan dilematis pribadi yang sama pasnya dalam karakter John. Dina Meyer mungkin porsi perannya tak begitu besar, tapi kharisma sekaligus penampilannya sebagai Lydia cukup menarik perhatian. Sama halnya dengan Brianna Brown lewat penampilan fisik dan kharisma yang menarik untuk karkater Susan. Terakhir, penampilan Kim Darby sebagai Mildy Torres melengkapi kesan vintage dan creepy dari film.
Meski tergolong low budget indie, TEW terasa punya teknis yang cukup maksimal melakukan eksplorasi. Sinematografi Stephen Sheridan menghadirkan adegan-adegan konversasi antara Dennis dan refleksinya di cermin menjadi powerful dan tidak monoton, pun juga punya efektivitas timing yang tepat dalam menghadirkan berbagai adegan-adegan ‘shocking’-nya. Bahkan adegan-adegan slasher-nya punya impact yang tetap terasa meski kebanyakan ditampilkan secara off-screen. Tentu editing Michael Luceri dan Michael Palmerio punya andil yang tak kalah penting dalam upaya-upaya visualisasi tersebut, selain transisi dissolve di adegan-adegan konversasi panjang yang membuatnya jadi lebih menarik untuk disimak. Musik dari Mario Grigorov menambah nuansa creepy dan sakit jiwa lewat sound-sound vintage bak horor klasik era ’70-’80-an. Tak terlalu orisinal maupun memorable, tapi tetap efektif sebagaimana kebutuhannya dalam membangun atmosfer eerie dan ‘sakit jiwa’.
Dari materi promosinya, bahkan mungkin juga tampilan visualnya, TEW tampak seperti just another B-class horror. Namun ternyata surprisingly punya konsep pembangunan cerita yang solid dan konsep visual vintage yang berhasil menciptakan nuansa kengerian tersendiri. Apalagi dengan fakta behind the scene tentang kematian sang sutradara, Andrew Getty, TEW layak menyandang status cult movie. Lihat data film ini di IMDb.