3.5/5
Asia
Family
Horror
Indonesia
Noir
occultism ritual
Pop-Corn Movie
Remake
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Pengabdi Setan (2017)
Tiap sutradara pasti punya satu (atau beberapa) film yang paling menginspirasi untuk bercita-cita menjadi seorang sutradara suatu hari. Bagi seorang Joko Anwar, salah satu sutradara Indonesia yang punya visi menarik, film itu adalah Pengabdi Setan (PS - 1980) yang juga berhasil mendapatkan gelar salah satu film horror Indonesia terseram sepanjang masa, bahkan popularitasnya tersohor sebagai film cult di berbagai negara. Setelah pendekatan selama bertahun-tahun, Joko akhirnya berhasil meyakinkan Rapi Films (yang juga memproduksi versi aslinya) untuk menggarap remake dari PS sesuai dengan visinya sendiri. Kemudian digandenglah sang muse, Tara Basro, aktor Malaysia, Bront Palarae, Endy Arfian (masih ingat mantan aktor cilik yang kita kenal lewat The Perfect House), Dimas Aditya, Arswendi Bening Swara (sebelumnya dikenal sebagai Arswendi Nasution), Egy Fedly, biduan asal Bali yang pernah terlibat di Under the Tree dan Soekarno, Ayu Laksmi, koreografer, Elly D. Luthan, (another) Joko’s muse, Fachri Albar, dan Asmara Abigail yang populer sejak Setan Jawa.
Keterlibatan CJ Entertainment dalam distribusi (ini kerjasama CJ kedua dengan Joko setelah A Copy of My Mind) membuat PS versi 2017 tak hanya punya pasar yang lebih luas di luar Indonesia, tapi juga menjadikannya film Indonesia pertama yang mendukung format 4DX (Petualangan Singa Pemberani: Atlantos produksi Thailand yang disulih-suarakan di Indonesia). Tentu ini bukan pencapaian yang main-main dalam tonggak sejarah perfilman Indonesia.
Mawarni Suwono, mantan biduan yang telah sekian lama sakit aneh, akhirnya meninggal dunia. Sang suami, Suwono, harus berjuang menyambung hidup demi keempat anak mereka, Rini yang sudah beranjak dewasa, Toni, Bondi, dan Ian. Namun semenjak kematian Mawarni, mereka semua mulai mengalami kejadian-kejadian ganjil. Dengan bantuan Hendra, anak Pak Ustad tentangga mereka, Rini menemui seorang penulis artikel mistis di Majalah Maya, Budiman Syalendra, yang agaknya punya jawaban atas kejadian-kejadian mengerikan yang mereka alami. Jawaban yang membuka tabir misteri keluarga mereka sejak sekian lama.
PS versi 1980 sebenarnya merupakan film horror reliji generik yang memang sedang trend pada eranya. Yang membedakan adalah kemasannya yang memang misterius dan mencekam. Bahkan bisa dianggap sebagai film zombie pertama di ranah perfilman Indonesia. Tak ada kedalaman cerita berarti dan dengan resolusi yang khas horror reliji. Di tangan Joko, PS mengalami improvisasi yang cukup besar. Bahkan menurut saya pribadi, PS versi 2017 lebih tepat disebut sebagai reinterpretation (interpretasi ulang) ketimbang sekedar remake. Tak hanya penggunaan karakter-karakter baru (meski beberapa masih merujuk pada versi aslinya, seperti Rita-Rini dan Tommy-Toni), tapi pembangunan konsep secara keseluruhan. Meski bukan konsep yang benar-benar baru, tapi tersusun dengan solid, melibatkan banyak elemen hint (sebagaimana semua film Joko), memperkaya sekaligus memperdalam konsep ‘sederhana’ dari versi aslinya. Namun ia tetap mempertahankan adegan-adegan ikonik dari versi aslinya yang juga mendapatkan peningkatan daya teror yang signifikan, dalam kemasan noir yang memang berpadu baik dengan setting '80-an. Cukup kental sebagaimana Kala dan Pintu Terlarang.
Jika dianalisis dari struktur plot, PS versi 2017 sebenarnya terbagi dengan jelas; teror, teror, penjelasan, diulangi lagi. Setpiece adegan-adegan horrornya memang masih belum mampu menyatu dengan perkembangan plot. Adegan-adegan horrornya seolah-olah terpisah dari penjelasan-penjelasan yang hanya mengandalkan karakter Budiman Syalendra secara verbal dan sedikit analisis dari Toni. Tema kekeluargaan yang seharusnya menjadi fokus utama (bahkan menjadi solusi dari konflik) pun masih belum mampu saya rasakan secara kuat selain sekedar lewat visualisasi beberapa adegan saja. Namun urusan pembangunan setpiece adegan-adegan horror, PS versi 2017 tergolong juara. Dengan camera work Ical Tanjung yang tepat guna dan editing Arifin Cuunk yang selalu punya momentum pas, adegan-adegan horror yang secara plot sebenarnya repetitif menjadi terasa bervariasi dan dengan efektivitas yang sama maksimalnya.
Tara Basro, seperti biasa, punya kharisma dan pesona tersendiri dalam mengisi peran lead. Penampilan Endy Arfian terasa semakin matang dari image The Perfect House dan beberapa sinetron yang dibintanginya. Nasar Anuz sebagai Bondi dan Adhiyat Abdulkhadir sebagai Ian menjadi pencuri perhatian yang besar. Meski tergolong aktor cilik tapi mampu menampilkan range emosi yang cukup lebar dengan sangat baik. Bront Palarae, Dimas Aditya, Elly D. Luthan, Arswendy Bening Swara, dan Egi Fedly pun menjadi pendukung yang tampil cukup kuat di balik porsi peran masing-masing.
Tak perlu meragukan artistik Allan Sebastian yang terlihat begitu detail, termasuk desain kostum Isabelle Patrice dan tata rias Darwyn Tse yang memorable dan punya akurasi setting (setidaknya secara waktu, mengingat film-film Joko selalu bersetting lokasi alternatif Indonesia) yang tinggi. Tentu tak boleh melupakan item-item ikonik, seperti lonceng, sisir, hingga View-Master, yang sangat mendukung pembangunan atmosfer horror hingga mampu mengundang trauma.
Musik menjadi elemen yang mendapatkan perhatian tak kalah penting dalam pembangunan atmosfer horror. Kolaborasi Aghi Narottama, Tony Merle, dan Bemby Gusti sekali lagi membuktikan kepiawaian mereka dalam menciptakan nuansa seram, terutama lewat referensi dari film-film giallo kelas B era ’80-an dan score-score horror ikonik Hollywood. Pemilihan lagu Kelam Malam (ditulis oleh Joko sendiri dan dibawakan oleh Aimee Saras) yang dijadikan salah satu materi promo, jelas menjadi salah satu ikon horror Indonesia paling memorable. Aransemen ulang Di Wajahmu Kulihat Ada Bulan yang diletakkan pada momen tepat pun meninggalkan after taste yang tetap disturbing.
Dengan presentasi yang sangat mengesankan, terutama lewat pembangunan ulang konsep yang makin menarik dengan berbagai elemennya, ditampilkan secara berkelas dan efektif, PS versi 2017 layak dinobatkan sebagai salah satu film horror Indonesia terbaik sepanjang masa. Secara keseluruhan mungkin masih bisa lebih solid lagi, tapi apa yang sudah ditampilkan menunjukkan potensi pengembangan plot maupun konsep yang sangat menarik. Semoga saja ke depannya bisa menjadi sebuah franchise yang bisa dibanggakan perfilman Indonesia.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.