4/5
Action
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Disaster
Fantasy
Franchise
health issue
Hollywood
Humanity
Oscar 2015
SciFi
Socio-cultural
Summer Movie
The Jose Movie Review
War
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Dawn of the Planet of the Apes
Overview
Planet of the Apes (PotA) bisa dikatakan sebagai salah satu
franchise sci-fi paling tua di ranah dunia hiburan populer. Diangkat dari novel
Perancis karya Pierre Boulle tahun 1963, PotA pertama kali diangkat ke layar
lebar tahun 1968 dengan bintang papan atas saat itu, Charlton Heston, dan sudah
dibuatkan sampai seri ke-5. Sempat diangkat menjadi serial TV dan di-remake
dengan visi ala Tim Burton tahun 2001 dengan bintang Mark Wahlberg, Helena
Bonham Carter, dan Michael Clarke Duncan. Update terbaru adalah reboot yang
dilakukan sutradara Rupert Wyatt tahun 2011 dengan titel Rise of the Planet of the Apes. Tak hanya me-reboot cerita, ia
memulai dengan sebuah prekuel dengan berbagai referensi dari materi aslinya dan
modifikasi cerita agar terasa lebih modern dan real. Hasilnya cukup luar biasa.
Berhasil mempertahankan reputasi PotA sebagai salah satu franchise sci-fi yang
tak hanya cerdas dari segi filosofis dan konsep besar cerita, namun juga
menyajikan thriller yang haunting.
Maka Dawn of the Planet of the Apes (Dawn) menjadi salah satu film
paling dinantikan di tahun 2014 ini. Menurut saya, agak susah membandingkan Dawn dengan Rise, karena universe-nya (terutama dari segi karakter-karakter
manusia) benar-benar berbeda. Ia mengambil setting 10 tahun setelah ending Rise dimana manusia sudah bukan lagi
menjadi spesies dominan di muka bumi gara-gara virus yang tersebar di ending Rise. Cerita yang disajikan di sini
merupakan perkembangan jauh ke depan dari sebelumnya. Style story telling-nya
pun mengalami perubahan yang cukup signifikan sebagai imbas dari berpindahnya
bangku sutradara ke Matt Reeves. Maka jika ditanya bagus mana antara Rise dan Dawn, saya tidak bisa memutuskannya begitu saja. Jawabannya bisa
berbeda antara satu penonton dengan yang lainnya, sesuai selera masing-masing.
Benang merah yang masih bisa
dilihat antara kedua seri ini adalah karakter kera mutasi, Caesar, dan beberapa
karakter kera lainnya seperti Koba dan Maurice. Hampir lebih dari separuh porsi
cerita Dawn adalah perkembangan ketiga
karakter ini. Jadi bersiap-siaplah untuk mengikuti cerita dengan tak banyak
dialog di separuh awal film, karena karakter-karakter kera ini lebih banyak
menggunakan bahasa isyarat. Ketegangan cerita mulai terasa ketika
karakter-karakter manusia mulai dimunculkan. Dan semakin kedua kubu ini saling
berinteraksi, cerita berkembang menjadi semakin gelap dan mengerikan. In a
positive way, of course. Dilematis antara membuat penonton pro-manusia atau
pro-kera menjadikan point of view Dawn
menarik. In the end ia menampilkan keseimbangan yang sangat pas antara kedua
point of view ini hingga penonton menemukan kesimpulannya sendiri melalui
filosofisnya yang ironis.
Jangan khawatir jika Anda
termasuk penonton yang mengharapkan adegan battle yang seru dan memanjakan mata-telinga.
Dawn menyimpannya di klimaks dan
berhasil terlihat epic. That’s the best part of Dawn, yang mungkin juga turut menjadikannya salah satu film terbaik
tahun ini.
The Casts
Perhatian utama sepanjang film
tentu saja kera-kera yang tampak begitu menakjubkan dan hidup. Totally apes
namun dengan improvement-improvement khas manusia. Menakjubkan sekaligus
mengerikan membayangkan jika benar-benar ada. Peran Andy Serkis semakin penting
seiring dengan porsi yang semakin besar di sini. Karakter Caesar menjadi yang
paling menarik dengan kharismanya.
Di sisi karakter manusia, Jason
Clarke tampil cukup mengesankan. Begitu juga Keri Russell yang mengimbangi
kharisma Jason dengan karakternya yang hearty dan loveable. Namun penampilan
khas dari Kodi Smit-McPhee sebagai Alexander lah yang paling mencuri perhatian
penonton. Wajahnya yang khas dan kharismatik berhasil menutupi peran
karakternya yang sebenarnya tak begitu banyak.
Sementara aktor watak yang sering
memerankan karakter-karakter nyentrik, Gary Oldman, kali ini mengisi peran yang
tak begitu menarik dan cenderung biasa saja. Meski masih mampu memerankannya
dengan baik, namun sebenarnya saya merasakan sayang dengan kemampuan akting
Gary yang saya yakin worth a much much more interesting character.
Technical
Seperti biasa, pertama saya harus
menyematkan kredit terbesar untuk tim make up dan visual effect yang berhasil
menghidupkan kera-kera ini menjadi jauh lebih real dibandingkan
sebelum-sebelumnya. Didukung akting para pemerannya dengan teknik motion capture,
kera-kera ini tampak sangat real, baik dari segi tampilan fisik maupun gesture.
Aspek teknis lain yang paling
menonjol bagi saya adalah score dari Michael Giacchino. Tak hanya memberikan
kesan ironic, epic, dan berkelas, Michael juga menyelipkan beberapa elemen yang
mengingatkan saya akan film-film thriller 70-80’an. Memberikan warna tersendiri
dalam menghidupkan adegan-adegannya.
Kredit berikutnya saya berikan
kepada sinematografi Michael Seresin yang berhasil merekam semua desain
produksi dalam angle-angle yang sempurna.
The Essence
Sama seperti Caesar, kita sebagai
manusia sering merasa sebagai makhluk yang paling sempurna, jauh lebih baik
dibandingkan makhluk atau spesies lain. Padahal apapun spesiesnya, bisa saja
menjadi pihak yang baik maupun licik.
They who will enjoy this the most
- The franchise’s fans
- Sci-fi enthusiast
- Audiences who like movies with certain philosophical base
- General audiences who seek for exciting entertainment
The 87th Annual Academy Awards nominee(s) for
- Best Achievement in Visual Effects