3.5/5
Arthouse
Awards winner
Dialog-driven
Drama
Festival
Indonesia
Marriage
Panoramic
Psychological
Road Trip
Sex
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya
(Peculiar Vacation and Other Illnesses)
Overview
Art house
film Indonesia
sebenarnya sudah cukup dikenal lewat film-film yang rajin dikirimkan ke
berbagai festival international bergengsi. Sebut saja Puchon Film Festival,
SXSW, Locarno International Film Festival, dan bahkan Cannes Film Festival. Memang tak banyak yang sebenarnya
ditayangkan di bioskop komersil tanah air, mengingat penontonnya yang sangat
terbatas. Lagi-lagi tempat alternatif untuk bisa menyaksikannya adalah festival
film lokal. Namun ketika berhasil ditayangkan di bioskop komersil, tentu ini
menjadi sebuah prestasi tersendiri. Apalagi mengingat jaringan bioskop komersil
terbesar di Indonesia termasuk susah untuk ditembus film nasional jika bukan
produser besar.
Tentu menyaksikan dan menikmati film art
house memerlukan kacamata yang berbeda dengan film-film biasa. Namanya juga art
house, jadi eksplorasinya bisa ke mana-mana dan seringkali tak lazim. Baik dari
segi cerita yang diangkat maupun gaya penceritaannya. Jadi tak heran jika
penontonnya masih tergolong segmented. Vakansi
yang Janggal dan Penyakit Lainnya (VyJ) karya Yosep Anggi Noen adalah salah
satu art house asal Indonesia produksi 2012 yang sukses berkeliling berbagai
festival film dunia dan kini akhirnya menyambangi layar beberapa bioskop secara
terbatas.
Sebenarnya VyJ termasuk art house yang tak
terlalu susah untuk menterjemahkan bahasa-bahasa gambar dan semiotika-nya. Seperti
yang pernah disampaikan saat pidato kemenangan di Apresiasi Film Indonesia
2013, Yosep mengajak untuk memperlakukan film bukan hanya sebagai produk
hiburan, melainkan juga sebagai produk budaya. Maka melalui VyJ, ia tak hanya
memperkenalkan budaya melalui dialog, gambar-gambar panorama alam, dan perilaku
masyarakat Jawa Tengah yang terasa begitu otentik dan natural, tetapi juga
melalui unsur-unsur psikologis yang mewakili masyarakat Jawa pada umumnya.
Bagaimana karakter utamanya membiarkan permasalahan (dalam konteks ini, rumah
tangga) dalam keheningan. Tapi seperti kebiasaan kita pula, kita jadi bisa tau
permasalahannya melalui percakapan-percakapan yang terjadi dan menyimpulkannya
sendiri. Tak hanya memasukkan dialog dan adegan yang relevan dengan alur cerita
utama. Terkadang VyJ juga mendokumentasikan ”produk-produk” budaya lokal yang
mungkin suatu hari bakal jadi barang langka, misalnya proses membotolkan bensin
curah yang akan dijual lagi, mitos tentang cacar air yang masih sering
dipercaya oleh masyarakat setempat, sampai mitos sial jika menabrak kucing.
Mungkin tak semua bisa memahami apalagi menikmatinya, tetapi pasti ada juga
penonton yang tersenyum-senyum menyaksikan adegan dan mendengarkan
dialog-dialog seperti ini.
Tak sulit sebenarnya memahami dan
menikmati VyJ, karena ia tak terlalu bermain-main dengan bahasa simbol alias
semiotik yang rumit. Sama seperti menganalisa sesuatu dari kejadian sehari-hari
untuk memahaminya, VyJ terasa mengalir begitu saja. Tanpa tujuan maupun solusi
tertentu. Menarik, tetapi tak sampai menjadi film yang kelewat istimewa. Ya
anggap saja diajak jalan-jalan seputar Jawa Tengah dengan bonus bisa ngepoin
konflik rumah tangga orang. Simple, tapi siapa sangka kita juga bisa belajar
dari sana.
The Casts
Agak susah menilai penampilan aktor-aktor
yang bermain di VyJ, termasuk karakter-karakter utamanya. Faktor utamanya
adalah kamera yang seringkali membidik karakter-karakternya dari belakang. Tapi
dari dialog-dialog yang dibawakan dengan kental logat Jawa Tengah-nya,
kesemuanya tampil natural. Tak perlu kemampuan akting tertentu, kesemua
aktornya seperti sedang menjadi diri sendiri dan melakukan kegiatan
sehari-hari. Namun yang pasti chemistry antara Christy Mahanani (Ning) dan Muhammad
Abe Baasyin (Mur) terasa sangat kuat sepanjang durasi.
Technical
VyJ termasuk film indie yang sangat terasa
dari segi gambar dan tata suaranya. Meski demikian gambar VyJ tidak sampai
diabaikan begitu saja. Terutama sekali ketika mengambil gambar-gambar panorama alam
Dieng dan wideshot. Di adegan-adegan dengan cahaya minim pun tak tampak
mengganggu penglihatan. Semuanya tersaji dengan pas. Begitu juga tata suara
yang terdengar seimbang antara dialog, ambience, dan scoring-nya. Meski
sesekali masih ada dialog yang terdengar kurang menyatu dengan ambience-nya.
But overall it’s still fine to me.
The Essence
VyJ membidik permasalahan rumah tangga,
terutama karena tak berfungsinya peran dari suami. Meski demikian kedua pihak
memilih untuk berdiam dan mencari pelariannya sendiri-sendiri. Memang tak
sampai merusak rumah tangga (kita tidak tahu itu), tetapi mau sampai kapan
membiarkan permasalahan berlarut-larut tanpa ada solusi?
They who will enjoy this the most
- Penonton yang dekat dengan budaya Jawa, terutama Jawa Tengah
- Arthouse enthusiast