The Jose Movie Review
Soekarno: Indonesia Merdeka

Overview

Soekarno adalah sosok tokoh paling penting sepanjang sejarah republik ini. Maka mengangkat kisahnya dalam media film biopik adalah sebuah keharusan yang ditunggu-tunggu banyak pihak. Tentu saja penggarapannya tidak boleh main-main. Maka nama Hanung Bramantyo yang sudah punya reputasi dalam menggarap film-film dengan tingkat kedetailan tinggi adalah pilihan yang sebenarnya tepat dalam menggarap proyek ini. Sempat dihebohkan berbagai kontroversi dengan pihak keluarga yang disinyalir merupakan bagian dari promosi terselubung, membuat Soekarno jadi salah satu film Indonesia yang berebut penonton di akhir tahun.
Harus diakui Soekarno memang sebuah karya yang dikerjakan dengan tingkat kedetailan cukup tinggi, seperti karya-karya Hanung sebelumnya. Namun karena faktor Hanung pula, film yang diproduksi MVP ini menjadi formulaic. Dan bagi yang rajin mengikuti film-film Hanung, membosankan. Menurut saya, singkatnya, Soekarno sekedar memindahkan runtutan-runtutan kejadian yang ada di buku sejarah ke dalam rekonstruksi di layar. Ada sih beberapa adegan yang berusaha memberikan kedalaman dan kejelasan karakter, namun jumlahnya yang sangat sedikit belum mampu membuat penonton mengenal sosok-sosok karakter yang ada secara personal. Formula biopic yang diusung Hanung di sini sebenarnya sudah terlampau basi. Coba bandingkan pendekatan yang dilakukan The Iron Lady dalam mengajak penontonnya memahami kepribadian Margaret Tatcher atau penggambaran karakter King George VI di The King’s Speech. Gaya biopic memang bebas, hak dari filmmaker-nya. Namun yang menjadi masalah adalah masih efektifkah gaya tersebut dalam mencapai tujuan dari pembuatan film?
Memang di sana-sini ditampilkan adegan yang mengupas kehidupan pribadi Soekarno, seperti rumah tangganya dengan istri pertama, Inggit, dan istri keduanya, Fatmawati. Namun kesemuanya hanya memberitahukan penonton tentang keberadaan fakta ini. Bukan menampilkan efek kehidupan rumah tangga tersebut ke dalam kepribadian maupun karir seorang Soekarno. Atau bisa saja menampilkan kepribadian Soekarno melalui bagaimana ia meng-handle rumah tangganya. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya hanya mendapatkan dua adegan yang menampilkan relasi antar karakter yang cukup mendalam. Keduanya menggambarkan relasi Soekarno dan Bung Hatta. Dua adegan favorit saya adalah dialog di bangku belakang mobil tentang keraguan Bung Hatta atas masa depan Indonesia dan ucapan selamat ulang tahun kepada Bung Hatta semalam sebelum proklamasi.
Isu-isu politik yang diangkat pun tidak lepas dari seperti sekedar ‘informasi’ saja. Tak ketinggalan sempalan-sempalan sosial terutama tentang kemajemukan bangsa Indonesia yang sudah menjadi concern Hanung lewat karya-karyanya beberapa tahun belakangan. Masih relevan sih, tapi lama kelamaan menjemukan. Kemasan yang berusaha dibuat pop dengan harapan agar lebih mudah diterima masyarakat, dilakukan di sana-sini. Misalnya penempatan humor-humor tidak penting. Mungkin berhasil bagi mayoritas penonton kita, tetapi jujur saja bagi saya cukup mengganggu estetika film secara keseluruhan.
Selain dari segi angle cerita yang diusung, Soekarno adalah karya yang just fine. Good, but not great. Malah cenderung forgettable dalam jangka waktu beberapa bulan ke depan. Enjoyable bagi yang sudah akrab dengan kisah hidup Soekarno sehingga film ini terasa seperi semacam konfirmasi visual. Namun bagi yang tidak akrab dengan kisah sejarah Soekarno, versi Hanung ini bisa jadi membingungkan.

The Casts

Ario Bayu semakin mengukuhkan diri sebagai aktor yang patut diperhitungkan. Setara dengan permainan Reza Rahadian tahun lalu di Habibie & Ainun, Ario Bayu benar-benar melebur dan menghidupkan karakter Soekarno seperti yang selama ini dikenal masyarakat. Intonasi bicara hingga gesture tangannya begitu hidup. Lukman Sardi juga berhasil menghidupkan karakter Bung Hatta, meski masih terdapat kekurangan di aksen yang aslinya berasal Bukittinggi.
Pujian juga patut disematkan kepada Maudy Koesnaedi yang meniupkan emosi terbesar sepanjang film. Pendatang baru Tanta Ginting tampil menonjol dan patut diperhitungkan sebagai Sjahrir. Sementara Tika Bravani mengalami kenaikan yang cukup besar, seiring dengan porsi peran yang semakin banyak.

Technical

Tak perlu diragukan lagi mengingat Hanung sangat detail dalam hal artistik yang sesuai denga jamannya. Kostum yang dianggap terlalu bersih oleh banyak pihak sehingga terlihat tidak alami pun masih acceptable. Tata musik Tya Subiakto tak hanya mampu menghidupkan berbagai dramatisasi yang ada. Pun sekaligus mewakili adegan-adegan sesuai dengan jaman serta budaya.

The Essence

Sebesar apapun sosok seorang tokoh, adalah manusia biasa yang punya kelemahan dan kekurangan. Keraguan juga pasti pernah muncul. Namun yang membedakan adalah bagaimana ia fokus terhadap kelebihan dan menjadikannya sebagai alat mencapai tujuan.

They who will enjoy this the most

  • General audiences, terutama yang sudah akrab dengan kisah hidup Soekarno dan sejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia

Lihat data film ini di filmindonesia.or.id
Diberdayakan oleh Blogger.