3/5
Action
Adventure
Artistic
Drama
Hollywood
Japan
Legend
Martial Art
Mythology
Pop-Corn Movie
Romance
Samurai
Socio-cultural
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
47 Ronin
Overview
Hollywood
sudah sejak lama tertarik memasukkan unsur samurai dan budaya-budaya Jepang
kuno lain ke dalam film-filmnya. Ada yang berhasil, tak jarang pula gagal.
Bahkan terasa seperti film kelas B. Seingat saya, proyek paling ambisius yang
hasilnya cukup sukses di pasaran worldwide mungkin The Last Samurai-nya Edward Zwick yang menampilkan Tom Cruise.
Jangan lupakan juga Kill Bill volume 1-nya
Quentin Tarantino yang cukup memorable. Terakhir, bahkan kita juga disuguhi
aksi salah satu mutant, di The Wolverine
dengan nuansa Jepang. Kini di penghujung tahun 2013, sekali lagi kita disuguhi
film Hollywood berasa Jepang (atau sebaliknya?) dengan trailer yang cukup
menjanjikan: 47 Ronin.
Sebagai
debut film panjang sutradara Carl Rinsch, 47
Ronin (47R) sebenarnya sama sekali tidak buruk. Well, at least kesalahan
bukan sepenuhnya berada di tangan dia. Premise yang diusung sebenarnya menarik.
Mengambil legenda 47 pendekar Ronin yang lebih memilih dihukum bunuh diri dalam
sebuah ritual yang disebut seppuku demi kehormatan dan loyalitas. Ada value
keluhuran yang ingin disampaikan. Sayangnya kesemuanya dihancurkan oleh konsep
proyek dan script yang digarap untuk membangun premise tersebut.
First
of all, it’s a big big mistake to use English for such setting. Oke, Memoirs of Geisha pernah melakukannya.
Namun masih bisa dimaafkan mengingat novel aslinya memang berbahasa Inggris dan
konsep cerita cukup kuat serta menarik. Lanjut ke kesalahan kedua. Let me ask
you this question: what do you expect the most from a movie about samurai? YES.
BLOOD AND PURE VIOLENCE! Keputusan untuk menjadikan 47R sebagai film dengan
rating “aman” PG-13 adalah keputusan yang salah. Menyebabkan ia kebingungan
ingin memposisikan diri sebagai film serius atau film fun. Terlalu ringan untuk
menjadi film serius, namun juga terlalu membosankan sebagai film fun. Semuanya
serba tanggung dan secara keseluruhan jatuhnya malah menjadi plain dan easily
forgettable. Yes, audience will might still remember the story essence, but not
the movie itself.
Script
yang memasukkan karakter half-blood juga terkesan dipaksakan ada agar ada nilai
jualnya. Jika disimak, masuknya karakter Kai sebagai darah campuran
Jepang-Inggris sama sekali tidak punya signifikasi terhadap keseluruhan cerita.
Romance-nya dengan Mika bisa tetap berjalan meski Kai adalah seorang
pure-blood. So yes, the whole concept is just very weak from the start.
Penanganan Carl Rinsch yang biasa-biasa saja sama sekali tidak menolong 47R
untuk menjadi tontonan yang lebih menarik. Sayang sekali.
The Casts
Semenjak
berakhirnya franchise The Matrix,
kita jarang sekali mendengar nama Keanu Reeves dalam proyek besar. Mungkin
hanya The Constantine yang paling
besar, itupun dibandingkan film-film lain tidak begitu bersinar. The Day the Earth Stood Still gagal total.
Setelah tampil di FTV dan serial TV beberapa tahun terakhir, tahun ini kita
melihatnya sebentar di Man of Tai-Chi
yang juga hancur lebur dan akhirnya di film yang sedang kita bahas ini. It
seems that 47 Ronin won’t be a big
hit either. Too bad, saya harus mengakui kualitas akting Keanu memang payah.
Sepanjang durasi dimana karakternya muncul, sama sekali tidak ada nyawa yang
saya rasakan. Very flat. Puncaknya line romantis dengan Mika yang harusnya
menjadi menyentuh dan poetic, jadinya seperti membaca naskah. Producers and
directors need to think many times if they decide to use him as their actor.
Untung
saja penampilan aktor-aktor Jepang jauh lebih baik. Mulai Hiroyuki Sanada
(Oishi), Min Tanaka (Lord Asano), Tadanobu Asano (Lord Kira), Kô Shibasaki
(Mika), dan tentu saja the seductive witch, Rinko Kikuchi.
Technical
Kekuatan
utama yang sangat menyelamatkan 47 Ronin
dari predikat film B dan kenorakan adalah desain produksinya. Mulai setting,
art, kostum, hingga tata rias yang sangat cantik dan otentik.
Special
effect terutama monster-monster yang ditampilkan juga didesain dengan keren dan
halus, meski jumlahnya tidak begitu banyak.
Sayang
efek 3D yang ditawarkan tidak memberikan banyak perbedaan. Tidak ada pop out
dan depth pun terbatas. Semua terasa seperti kartu ucapan pop-up. Save your
eyes comfort and (probably also) money.
Tata
suara surround dan score gubahan Ilan Eshkeri bekerja pas sesuai perannya
meskipun juga tidak begitu menonjol.
The Essence
Mungkin
kita tidak perlu 100% meniru kode etik ronin, tetapi menjaga kehormatan dan
loyalitas di atas nyawa adalah sesuatu yang mulia.
They who will enjoy this the most
- General audiences who seek for instant action entertainment