3.5/5
Action
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Disaster
Family
Franchise
Hollywood
Horror
Investigation
pop
Summer Movie
Survival
The Jose Movie Review
Thriller
Zombie
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
World War Z
Overview
Zombie, the trailer, the poster,
Brad Pitt… semuanya sudah menggugah rasa
penasaran penonton akan World War Z
(WWZ), sampai rating resmi dari MPAA keluar : PG-13. Well rating tersebut
sebenarnya sudah diincar oleh pihak studio (Paramount) ketika produksi, tetapi
tentu saja tema zombie yang sudah terlanjur lekat dengan image berdarah-darah
dan gore akan terkesan lembek jika “dipaksa” untuk menyesuaikan dengan rating
aman (atau cupu?) PG-13. Itu baru dari segi rating. Konon menurut kabar yang beredar selama ini, produksi WWZ sendiri
diwarnai berbagai drama, mulai bongkar-pasang kru (termasuk penulis naskah),
over budget (dari rencana awal US$ 150 juta membengkak hingga nyaris US$ 250
juta), Pitt (selaku salah satu produser) dan sutradara Marc Forster yang
digosipkan sampai enggan bicara satu sama lain, hingga pihak studio yang tidak
puas dengan hasil editing pertama. Jadilah potensi franchise baru bagi
Paramount yang penuh kontroversi dan berdampak meragukan banyak penonton.
Melihat hasil akhirnya, segala
kendala yang terjadi selama proses produksi saya rasa cukup terbayarkan.
Terlepas dari hasil box office-nya yang tidak mudah diprediksi (ada yang
mengatakan WWZ butuh setidaknya pemasukan US$ 400 juta dari seluruh dunia untuk
sekedar balik modal), WWZ bisa dianggap sebagai sesuatu yang agak berbeda dari
tema zombie kebanyakan. Terlalu berlebihan jika disebut “re-invented the
genre”, namun WWZ memang cukup inovatif dalam membangun teori-teori dan
dunianya sendiri. Salah satu yang paling menonjol adalah karakteristik zombie
dengan kemampuan berlari dan memanjat yang agresif. Kontroversial, ada yang
suka namun ada pula yang menyebutnya tidak logis. Speaking of logic, menurut
saya setiap film berhak menentukan logikanya sendiri, terlepas dari logika umum
atau logika fiktif yang sudah terlanjur stereotip seolah seperti logika
faktual. Baru akan menjadi masalah apabila film mengingkari logika yang telah
dibangunnya sendiri. WWZ didn’t (atau setidaknya belum).
Forster selama ini lebih banyak
mengarahkan film drama emosional seperti Monster’s
Ball, Finding Neverland, dan The Kite Runner. Sekalinya mengarahkan
film aksi blockbuster, Quantum of Solace,
ia justru mendapatkan cacian terutama dari penggemar James Bond. Namun kali ini
rupanya ia cukup berhasil membawa ketegangan dan kengerian ala film-film zombie
lain secara maksimal meski harus meminimalkan penampakan-penampakan adegan
kekerasan yang terlalu frontal dan vulgar. Dengan skala cerita yang ‘global’,
dimana melibatkan beberapa negara, seperti Korea Utara, Israel, dan Rusia,
jelas WWZ telah membawa sub-genre zombie ke level yang lebih tinggi. Setidaknya
setara dengan sub-genre disaster dan alien.
Secara cerita, jelas WWZ punya
materi cerita yang lebih dalam dan menarik dari sekedar zombie survival.
Strukturnya masih template tipikal Hollywood, tapi diramu dengan cukup menarik
dengan memasukkan fakta-fakta sesungguhnya ke dalam cerita fiktif. Favorit saya
adalah bagaimana ia memanfaatkan fakta negara Israel dan Korea Utara yang
seolah-olah selalu siap menghadapi berbagai serangan dari luar untuk membangun
pondasi cerita. Kreatif, menarik, dan cerdas.
Penggunaan karakter-karakter
pendukung yang dibongkar-pasang di setiap segmen untuk memback-up karakter
Gerry Lane bisa menjadi kekuatan maupun kelemahan bagi WWZ. Di satu sisi tentu
saja ini dapat menonjolkan karakter utama Gerry Lane menjadi sangat kuat di
benak penonton. Namun salah-salah, karakter-karakter pendukung yang seharusnya
potensial untuk memorable, menjadi terlupakan begitu saja oleh penonton. Belum lagi
jika penonton sudah mulai bosan dan muak dengan porsi peran karakter tunggal
yang terlalu mendominasi. But in this case, skrip rupanya memberikan porsi yang
cukup adil untuk karakter-karakter pendukung. Memang tidak semuanya bisa tampil
memorable, namun setidaknya ada satu-dua yang mampu menarik simpati penonton,
sementara yang lainnya hanya menjadi bahan lelucon. Semoga saja ke depannya
karakter Gerry tidak semakin dibuat “one man show” yang bisa dengan mudah
menghancurkan bangunan cerita serta universe WWZ yang telah dibangun di sini.
Jangan keburu kecewa dengan
ending WWZ yang seolah tidak klimaks. Paramount dan juga Plan B (production
house milik Brad Pitt) memang sejak awal ingin menjadikan kisah yang diadaptasi
dari novel karya Max Brooks, World War Z:
An Oral History of the Zombie War, menjadi sebuah franchise besar, setelah
judul-judul franchise Marvel-nya telah diambil alih oleh Disney. Jadi apa yang
telah dibangun di sini sebagai sebuah pondasi awal, baik dari segi cerita,
karakter, dan universe, adalah hal yang terpenting untuk diperhatikan sekaligus
menjadi landasan ekspektasi untuk proyek lanjutannya. For that purpose, it
might not be so special but it’s been good enough so far.
The Casts
Pasca Mr. & Mrs. Smith, Pitt seolah-olah selektif dalam memilih
peran. Tak lagi mengincar peran-peran utama di film-film blockbuster, ia justru
tampil di film-film yang cenderung ‘independen’ dan berkelas award seperti di Babel, Tree of Life-nya Terrence Mallick, The Curious Case of Benjamin Button, Inglourious Basterds, Moneyball,
dan terakhir Killing Them Softly yang
juga diproduserinya. Kini ia kembali memerankan karakter blockbuster dan meski
juga sudah tak lagi muda, kharismanya sebagai jagoan utama masih terasa kuat
sepanjang film.
Selain dari itu tidak ada
nama-nama kondang lain yang menghiasi layar. Meski demikian penampilan Daniella
Kertesz sebagai Segen terasa paling memorable di antara karakter-karakter
pendukung lainnya.
Technical
Dengan skala cerita yang global,
WWZ dituntut untuk menghadirkan adegan penyerangan zombie yang juga
besar-besaran dan berkali-kali. Favorit saya adalah adegan zombie-zombie yang
bertumpukan hingga mampu menembus tembok tinggi yang dibangun oleh pemerintah
Israel. Tampak begitu epic dengan wideshot dan begitu menegangkan ketika medium
dan close-up shot. Sinematografinya mampu mengcover kedua kebutuhan tersebut
dan menjadikannya film blockbuster yang memuaskan.
Score yang banyak menggunakan
unsur tekno dari Marco Beltrami mendukung adegan-adegan menegangkan dengan
nuansa industrial yang cukup kental. Sound effectnya turut memberikan pengaruh
yang cukup massive dalam menghadirkan ketegangan demi ketegangan. Keseimbangan
antara dentuman suara yang menggelegar dan kejernihan silent terjaga dengan
sangat baik. Editing oleh Roger Barto dan Matt Cheese memberikan pace yang
tepat sebagai film blockbuster yang menghibur maupun film yang punya cerita
yang kuat untuk di-deliver.
The Essence
Sometimes it took our loved ones
for the greater cause.
They who will enjoy this the most
- Zombie fans
- Thrilling-action lovers
- Brad Pitt’s fans
- General audiences who seek gripping and thrilling entetainment