The Jose Movie Review
World War Z


Overview

Zombie, the trailer, the poster, Brad Pitt…  semuanya sudah menggugah rasa penasaran penonton akan World War Z (WWZ), sampai rating resmi dari MPAA keluar : PG-13. Well rating tersebut sebenarnya sudah diincar oleh pihak studio (Paramount) ketika produksi, tetapi tentu saja tema zombie yang sudah terlanjur lekat dengan image berdarah-darah dan gore akan terkesan lembek jika “dipaksa” untuk menyesuaikan dengan rating aman (atau cupu?) PG-13. Itu baru dari segi rating. Konon menurut kabar  yang beredar selama ini, produksi WWZ sendiri diwarnai berbagai drama, mulai bongkar-pasang kru (termasuk penulis naskah), over budget (dari rencana awal US$ 150 juta membengkak hingga nyaris US$ 250 juta), Pitt (selaku salah satu produser) dan sutradara Marc Forster yang digosipkan sampai enggan bicara satu sama lain, hingga pihak studio yang tidak puas dengan hasil editing pertama. Jadilah potensi franchise baru bagi Paramount yang penuh kontroversi dan berdampak meragukan banyak penonton.

Melihat hasil akhirnya, segala kendala yang terjadi selama proses produksi saya rasa cukup terbayarkan. Terlepas dari hasil box office-nya yang tidak mudah diprediksi (ada yang mengatakan WWZ butuh setidaknya pemasukan US$ 400 juta dari seluruh dunia untuk sekedar balik modal), WWZ bisa dianggap sebagai sesuatu yang agak berbeda dari tema zombie kebanyakan. Terlalu berlebihan jika disebut “re-invented the genre”, namun WWZ memang cukup inovatif dalam membangun teori-teori dan dunianya sendiri. Salah satu yang paling menonjol adalah karakteristik zombie dengan kemampuan berlari dan memanjat yang agresif. Kontroversial, ada yang suka namun ada pula yang menyebutnya tidak logis. Speaking of logic, menurut saya setiap film berhak menentukan logikanya sendiri, terlepas dari logika umum atau logika fiktif yang sudah terlanjur stereotip seolah seperti logika faktual. Baru akan menjadi masalah apabila film mengingkari logika yang telah dibangunnya sendiri. WWZ didn’t (atau setidaknya belum).

Forster selama ini lebih banyak mengarahkan film drama emosional seperti Monster’s Ball, Finding Neverland, dan The Kite Runner. Sekalinya mengarahkan film aksi blockbuster, Quantum of Solace, ia justru mendapatkan cacian terutama dari penggemar James Bond. Namun kali ini rupanya ia cukup berhasil membawa ketegangan dan kengerian ala film-film zombie lain secara maksimal meski harus meminimalkan penampakan-penampakan adegan kekerasan yang terlalu frontal dan vulgar. Dengan skala cerita yang ‘global’, dimana melibatkan beberapa negara, seperti Korea Utara, Israel, dan Rusia, jelas WWZ telah membawa sub-genre zombie ke level yang lebih tinggi. Setidaknya setara dengan sub-genre disaster dan alien.

Secara cerita, jelas WWZ punya materi cerita yang lebih dalam dan menarik dari sekedar zombie survival. Strukturnya masih template tipikal Hollywood, tapi diramu dengan cukup menarik dengan memasukkan fakta-fakta sesungguhnya ke dalam cerita fiktif. Favorit saya adalah bagaimana ia memanfaatkan fakta negara Israel dan Korea Utara yang seolah-olah selalu siap menghadapi berbagai serangan dari luar untuk membangun pondasi cerita. Kreatif, menarik, dan cerdas.

Penggunaan karakter-karakter pendukung yang dibongkar-pasang di setiap segmen untuk memback-up karakter Gerry Lane bisa menjadi kekuatan maupun kelemahan bagi WWZ. Di satu sisi tentu saja ini dapat menonjolkan karakter utama Gerry Lane menjadi sangat kuat di benak penonton. Namun salah-salah, karakter-karakter pendukung yang seharusnya potensial untuk memorable, menjadi terlupakan begitu saja oleh penonton. Belum lagi jika penonton sudah mulai bosan dan muak dengan porsi peran karakter tunggal yang terlalu mendominasi. But in this case, skrip rupanya memberikan porsi yang cukup adil untuk karakter-karakter pendukung. Memang tidak semuanya bisa tampil memorable, namun setidaknya ada satu-dua yang mampu menarik simpati penonton, sementara yang lainnya hanya menjadi bahan lelucon. Semoga saja ke depannya karakter Gerry tidak semakin dibuat “one man show” yang bisa dengan mudah menghancurkan bangunan cerita serta universe WWZ yang telah dibangun di sini.

Jangan keburu kecewa dengan ending WWZ yang seolah tidak klimaks. Paramount dan juga Plan B (production house milik Brad Pitt) memang sejak awal ingin menjadikan kisah yang diadaptasi dari novel karya Max Brooks, World War Z: An Oral History of the Zombie War, menjadi sebuah franchise besar, setelah judul-judul franchise Marvel-nya telah diambil alih oleh Disney. Jadi apa yang telah dibangun di sini sebagai sebuah pondasi awal, baik dari segi cerita, karakter, dan universe, adalah hal yang terpenting untuk diperhatikan sekaligus menjadi landasan ekspektasi untuk proyek lanjutannya. For that purpose, it might not be so special but it’s been good enough so far.

The Casts

Pasca Mr. & Mrs. Smith, Pitt seolah-olah selektif dalam memilih peran. Tak lagi mengincar peran-peran utama di film-film blockbuster, ia justru tampil di film-film yang cenderung ‘independen’ dan berkelas award seperti di Babel, Tree of Life-nya Terrence Mallick, The Curious Case of Benjamin Button, Inglourious Basterds, Moneyball, dan terakhir Killing Them Softly yang juga diproduserinya. Kini ia kembali memerankan karakter blockbuster dan meski juga sudah tak lagi muda, kharismanya sebagai jagoan utama masih terasa kuat sepanjang film.

Selain dari itu tidak ada nama-nama kondang lain yang menghiasi layar. Meski demikian penampilan Daniella Kertesz sebagai Segen terasa paling memorable di antara karakter-karakter pendukung lainnya.

Technical

Dengan skala cerita yang global, WWZ dituntut untuk menghadirkan adegan penyerangan zombie yang juga besar-besaran dan berkali-kali. Favorit saya adalah adegan zombie-zombie yang bertumpukan hingga mampu menembus tembok tinggi yang dibangun oleh pemerintah Israel. Tampak begitu epic dengan wideshot dan begitu menegangkan ketika medium dan close-up shot. Sinematografinya mampu mengcover kedua kebutuhan tersebut dan menjadikannya film blockbuster yang memuaskan.

Score yang banyak menggunakan unsur tekno dari Marco Beltrami mendukung adegan-adegan menegangkan dengan nuansa industrial yang cukup kental. Sound effectnya turut memberikan pengaruh yang cukup massive dalam menghadirkan ketegangan demi ketegangan. Keseimbangan antara dentuman suara yang menggelegar dan kejernihan silent terjaga dengan sangat baik. Editing oleh Roger Barto dan Matt Cheese memberikan pace yang tepat sebagai film blockbuster yang menghibur maupun film yang punya cerita yang kuat untuk di-deliver.

The Essence

Sometimes it took our loved ones for the greater cause.

They who will enjoy this the most

  • Zombie fans
  • Thrilling-action lovers
  • Brad Pitt’s fans
  • General audiences who seek gripping and thrilling entetainment
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.