4/5
Action
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Franchise
Personality
Philosophical
Pop-Corn Movie
Socio-cultural
Summer Movie
Superheroes
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
The Wolverine
Overview
X-Men adalah aset paling penting bagi Marvel selain tentu saja The Avengers’s universe. Maka meski
kisah induknya di ranah film telah disudahi di X-Men: The Last Stand (XLS), masih banyak side-story yang bisa
digali lebih dalam dan tak kalah menariknya. Ada X-Men Origins: Wolverine (XOW) 2009 lalu X-Men First Class di 2011, dan X-Men:
Days of Future Past (XDFP) yang dijadwalkan tahun depan (2014). Namun
sebelum menikmati seri terbarunya tersebut, Wolverine, karakter mutant paling
menonjol karena punya ability yang bisa digali lebih dalam, dibuatkan 1 film
lagi bertajuk The Wolverine.
Dari judulnya jelas bahwa film
ini semata-mata menonjolkan kisah karakter Wolverine yang berdiri sendiri,
tidak memiliki afiliasi apa-apa dengan plot utama X-Men, baik tentang akademi
yang didirikan oleh Prof. X maupun tentang perseteruan mutant dan manusia.
Hanya ada penampilan satu karakter X-Men induk yang lebih karena punya
interaksi personal dengan Wolverine sekaligus penanda bahwa setting cerita di
sini adalah pasca XLS. Tak lupa adegan mid-credit yang lebih merupakan teaser
dari XDFP. So, you will be so naïve if you’re expecting the same story scale.
It’s much more personal here.
Jika XOW hanya memaparkan
pengalaman-pengalaman hidup yang pernah dialami seorang Wolverine dari kecil
hingga mendapatkan cakar adamantium, di The
Wolverine, kita diajak untuk menyelami sisi psikologis Logan lebih dalam,
terutama pasca kejadian di XLS. Mungkin ada yang merasa ini seperti langkah
mengekor kebanyakan film superhero beberapa tahun belakangan yang membuat kisah
superhero dari sisi manusiawinya. Tak ada yang salah, apalagi subjek ceritanya
berbeda jauh dengan, misalnya Batman
maupun Superman versi Nolan.
Sama-sama merasakan dilematis untuk berhenti menjadi superhero dan memulai hidup
sebagai manusia biasa. Namun ada alasan yang lebih kuat bagi Logan untuk
menjadi manusia “normal”, mengingat statusnya yang immortal. Di banyak bagian,
penonton diajak untuk ikut merasakan “kutukan” Logan dan memahami keinginan
yang seolah-olah berbanding terbalik dengan pola pikir kebanyakan orang.
Jepang (Tokyo) yang dijadikan
background cerita pun bukan asal tempel. Selain tentu saja mengeksploitasi
keindahan budayanya, ada korelasi tema yang cukup kuat dengan tema pilihan
hidup yang menjadi isu utama Logan di film. Mungkin kita yang tinggal di Asia
menganggap side-story yang bertemakan perebutan kekuasaan sudah klise dan jamak
diangkat. Namun tak bisa dipungkiri kisah itu sangat Asia sekali. Dengan
kecurigaan faktor kemiripan sifat (genetis) antara Mariko (cucu Yashida) dan
Yashida, ketimbang Shingen yang putra kandung Yashida, menunjukkan pola pikir
masyarakat Timur yang cenderung pro terhadap orang-orang yang memiliki
kemiripan.
Kontras pola pikir terhadap hidup
dan takdir antara Barat dan Timur juga direpresentasi oleh Yashida yang merasa
perlu hidup selamanya dan Logan yang cenderung menghindari takdirnya sebagai
immortal dan pahlawan. Juga, karakter Mariko yang menjelaskan perbedaan value
antara masyarakat Barat yang serba rasional dan Timur yang serba memiliki makna
di balik setiap tanda. Tak hanya perbedaan, ada juga budaya Jepang yang
digunakan sebagai metafora Logan. Pemaparan yang menarik untuk disimak dan
dikaji untuk saling memahami kedua budaya yang berbeda ini.
Adegan revealing di menjelang
akhir film cukup mengejutkan saya. Sebelum-sebelumnya saya sudah curiga akan
hal tersebut, namun I thought it will only be my wildest fantasy. But then IT
CAME TRUE! Anda tak bisa membayangkan betapa girangnya ketika fantasi terliar
saya benar-benar terjadi di layar dan menggenapi tema besar yang saya tangkap
sepanjang film.
James Mangold selaku sutradara
sebenarnya lebih sering menggarap drama berkelas Oscar seperti Girl, Interrupted, Walk the Line, dan 3:10 to Yuma, namun ternyata mampu
menunjukkan kepiawaiannya dalam menggarap adegan-adegan aksi yang tak hanya
seru dan menegangkan, tetapi juga brutal. Melibatkan banyak senjata tajam
(termasuk cakar adamantium Logan sendiri) hanya minus detail adegan darah
secara explicit untuk menjaga rating PG-13-nya. Tingkat kebrutalannya di atas
rata-rata film superhero (bahkan XOW) tetapi tidak sevulgar Kick-Ass. Ada cukup banyak adegan aksi
favorit saya, terutama ketika di atas kereta supercepat.
Komplain yang paling menonjol
mungkin ada beberapa adegan yang memiliki dialog penjelasan masa lalu yang
terlalu lama. Tak terlalu mengganggu pace keseluruhan, tetapi kehadirannya
cukup sering.
So overall, sebelum
mengharapkannya seperti film-film superhero kebanyakan, lebih baik Anda
merubahnya dulu untuk dapat menikmatinya secara maksimal. Ada makna lebih dalam
yang terkandung di dalamnya. Personal, sama sekali tidak epic, tetapi merupakan
isu personal yang menarik serta penting untuk diangkat.
The Casts
Selain Hugh Jackman yang sudah
sangat menyatu dengan karakter Logan/Wolverine, tidak ada nama yang benar-benar
familiar mendukung di sini. Namun bukan berarti tidak menonjol. Jelas Tao
Okamoto (Mariko) dan Rila Fukushima (Yukio) berhasil mencuri perhatian
sepanjang film. Terutama Tao Okamoto yang so gorgeous dan Rila Fukushima yang
kick-ass. Penampilan yang sangat baik yang mana ini merupakan film panjang
pertama bagi keduanya.
Pencuri perhatian lain adalah
aktris Rusia, Svetlana Kodchenkova sebaga Viper yang seksi mematikan. Anggap
saja pengganti Mystique berwajah Kim Catrall dengan selera fashion Lady Gaga.
Technical
Secara garis besar tak ada
perkembangan signifkan special fx di sini, tetapi ada 1 hal yang menurut saya
sangat impresif, yaitu ranjang pasien yang dipakai oleh Yashida. Sangat keren
dan saya yakin bakal sangat berguna jika suatu hari benar-benar diwujudkan di
dunia nyata.
Poin plus di lini teknis lainnya
harus saya sematkan pada score gubahan Marco Beltrami yang menggabungkan musik
modern dengan elemen-elemen Asia yang eksotis. Hasilnya, tak hanya blended dengan
adegan secara keren, tetapi juga berhasil menjadi cukup memorable dalam
ingatan.
The Essence
Manusia selalu cenderung tidak
menyukai takdirnya. Yang mortal ingin hidup selamanya, yang immortal ingin
hidup normal. Padahal tiap orang lahir dengan takdir yang berbeda-beda.
Kebanyakan dari masyarakat (tak hanya yang hidup di Timur, tetapi juga di
Barat) tidak menerima orang-orang yang takdirnya “berbeda”, seperti yang
dialami oleh para mutant, tanpa menyadari tiap takdir memiliki fungsi
sendiri-sendiri dalam society. But inn the end, living our destiny to the
fullest is the best way of living life.
They who will enjoy this the most
- X-Men’s fans, especially Wolverine
- Audience who seek deeper aspects than a full-action superhero movie
- Japanese cultural enthusiasts