The Jose Movie Review
The Wolverine


Overview

X-Men adalah aset paling penting bagi Marvel selain tentu saja The Avengers’s universe. Maka meski kisah induknya di ranah film telah disudahi di X-Men: The Last Stand (XLS), masih banyak side-story yang bisa digali lebih dalam dan tak kalah menariknya. Ada X-Men Origins: Wolverine (XOW) 2009 lalu X-Men First Class di 2011, dan X-Men: Days of Future Past (XDFP) yang dijadwalkan tahun depan (2014). Namun sebelum menikmati seri terbarunya tersebut, Wolverine, karakter mutant paling menonjol karena punya ability yang bisa digali lebih dalam, dibuatkan 1 film lagi bertajuk The Wolverine.

Dari judulnya jelas bahwa film ini semata-mata menonjolkan kisah karakter Wolverine yang berdiri sendiri, tidak memiliki afiliasi apa-apa dengan plot utama X-Men, baik tentang akademi yang didirikan oleh Prof. X maupun tentang perseteruan mutant dan manusia. Hanya ada penampilan satu karakter X-Men induk yang lebih karena punya interaksi personal dengan Wolverine sekaligus penanda bahwa setting cerita di sini adalah pasca XLS. Tak lupa adegan mid-credit yang lebih merupakan teaser dari XDFP. So, you will be so naïve if you’re expecting the same story scale. It’s much more personal here.

Jika XOW hanya memaparkan pengalaman-pengalaman hidup yang pernah dialami seorang Wolverine dari kecil hingga mendapatkan cakar adamantium, di The Wolverine, kita diajak untuk menyelami sisi psikologis Logan lebih dalam, terutama pasca kejadian di XLS. Mungkin ada yang merasa ini seperti langkah mengekor kebanyakan film superhero beberapa tahun belakangan yang membuat kisah superhero dari sisi manusiawinya. Tak ada yang salah, apalagi subjek ceritanya berbeda jauh dengan, misalnya Batman maupun Superman versi Nolan. Sama-sama merasakan dilematis untuk berhenti menjadi superhero dan memulai hidup sebagai manusia biasa. Namun ada alasan yang lebih kuat bagi Logan untuk menjadi manusia “normal”, mengingat statusnya yang immortal. Di banyak bagian, penonton diajak untuk ikut merasakan “kutukan” Logan dan memahami keinginan yang seolah-olah berbanding terbalik dengan pola pikir kebanyakan orang.

Jepang (Tokyo) yang dijadikan background cerita pun bukan asal tempel. Selain tentu saja mengeksploitasi keindahan budayanya, ada korelasi tema yang cukup kuat dengan tema pilihan hidup yang menjadi isu utama Logan di film. Mungkin kita yang tinggal di Asia menganggap side-story yang bertemakan perebutan kekuasaan sudah klise dan jamak diangkat. Namun tak bisa dipungkiri kisah itu sangat Asia sekali. Dengan kecurigaan faktor kemiripan sifat (genetis) antara Mariko (cucu Yashida) dan Yashida, ketimbang Shingen yang putra kandung Yashida, menunjukkan pola pikir masyarakat Timur yang cenderung pro terhadap orang-orang yang memiliki kemiripan.

Kontras pola pikir terhadap hidup dan takdir antara Barat dan Timur juga direpresentasi oleh Yashida yang merasa perlu hidup selamanya dan Logan yang cenderung menghindari takdirnya sebagai immortal dan pahlawan. Juga, karakter Mariko yang menjelaskan perbedaan value antara masyarakat Barat yang serba rasional dan Timur yang serba memiliki makna di balik setiap tanda. Tak hanya perbedaan, ada juga budaya Jepang yang digunakan sebagai metafora Logan. Pemaparan yang menarik untuk disimak dan dikaji untuk saling memahami kedua budaya yang berbeda ini.

Adegan revealing di menjelang akhir film cukup mengejutkan saya. Sebelum-sebelumnya saya sudah curiga akan hal tersebut, namun I thought it will only be my wildest fantasy. But then IT CAME TRUE! Anda tak bisa membayangkan betapa girangnya ketika fantasi terliar saya benar-benar terjadi di layar dan menggenapi tema besar yang saya tangkap sepanjang film.

James Mangold selaku sutradara sebenarnya lebih sering menggarap drama berkelas Oscar seperti Girl, Interrupted, Walk the Line, dan 3:10 to Yuma, namun ternyata mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam menggarap adegan-adegan aksi yang tak hanya seru dan menegangkan, tetapi juga brutal. Melibatkan banyak senjata tajam (termasuk cakar adamantium Logan sendiri) hanya minus detail adegan darah secara explicit untuk menjaga rating PG-13-nya. Tingkat kebrutalannya di atas rata-rata film superhero (bahkan XOW) tetapi tidak sevulgar Kick-Ass. Ada cukup banyak adegan aksi favorit saya, terutama ketika di atas kereta supercepat.

Komplain yang paling menonjol mungkin ada beberapa adegan yang memiliki dialog penjelasan masa lalu yang terlalu lama. Tak terlalu mengganggu pace keseluruhan, tetapi kehadirannya cukup sering.
So overall, sebelum mengharapkannya seperti film-film superhero kebanyakan, lebih baik Anda merubahnya dulu untuk dapat menikmatinya secara maksimal. Ada makna lebih dalam yang terkandung di dalamnya. Personal, sama sekali tidak epic, tetapi merupakan isu personal yang menarik serta penting untuk diangkat.

The Casts

Selain Hugh Jackman yang sudah sangat menyatu dengan karakter Logan/Wolverine, tidak ada nama yang benar-benar familiar mendukung di sini. Namun bukan berarti tidak menonjol. Jelas Tao Okamoto (Mariko) dan Rila Fukushima (Yukio) berhasil mencuri perhatian sepanjang film. Terutama Tao Okamoto yang so gorgeous dan Rila Fukushima yang kick-ass. Penampilan yang sangat baik yang mana ini merupakan film panjang pertama bagi keduanya.

Pencuri perhatian lain adalah aktris Rusia, Svetlana Kodchenkova sebaga Viper yang seksi mematikan. Anggap saja pengganti Mystique berwajah Kim Catrall dengan selera fashion Lady Gaga.

Technical

Secara garis besar tak ada perkembangan signifkan special fx di sini, tetapi ada 1 hal yang menurut saya sangat impresif, yaitu ranjang pasien yang dipakai oleh Yashida. Sangat keren dan saya yakin bakal sangat berguna jika suatu hari benar-benar diwujudkan di dunia nyata.

Poin plus di lini teknis lainnya harus saya sematkan pada score gubahan Marco Beltrami yang menggabungkan musik modern dengan elemen-elemen Asia yang eksotis. Hasilnya, tak hanya blended dengan adegan secara keren, tetapi juga berhasil menjadi cukup memorable dalam ingatan.

The Essence

Manusia selalu cenderung tidak menyukai takdirnya. Yang mortal ingin hidup selamanya, yang immortal ingin hidup normal. Padahal tiap orang lahir dengan takdir yang berbeda-beda. Kebanyakan dari masyarakat (tak hanya yang hidup di Timur, tetapi juga di Barat) tidak menerima orang-orang yang takdirnya “berbeda”, seperti yang dialami oleh para mutant, tanpa menyadari tiap takdir memiliki fungsi sendiri-sendiri dalam society. But inn the end, living our destiny to the fullest is the best way of living life.

They who will enjoy this the most

  • X-Men’s fans, especially Wolverine
  • Audience who seek deeper aspects than a full-action superhero movie
  • Japanese cultural enthusiasts
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.