The Jose Movie Review
Despicable Me 2


Overview

Despicable Me (DM- 2010) adalah sebuah hit. Banyak faktor yang membuatnya demikian digemari dan menjelma menjadi franchise tambang emas bagi Universal dan Illumination Entertainment. Saya pun sangat menikmatinya karena memang memiliki banyak sekali kelebihan, mulai konsep cerita yang menarik dan unik, hingga desain karakter yang sangat “menjual”. Tak hanya minion, tetapi juga Gru, Vector, bahkan ketiga gadis yatim piatu; Margo, Edith, dan everyone’s sweetheart, Agnes. As a franchise, wajar Universal-Illumination memanfaatkannya semaksimal mungkin selagi bisa. Maka kehadiran sekuel pun sudah bisa ditebak dengan mudah bagi siapa saja.
Dengan tim yang kurang lebih sama, dirilislah Despicable Me 2 (DM2) yang sudah didahului kehebohannya berkat program Happy Meal di McD dan dirilisnya teaser-teaser trailer yang menampilkan minion dengan berbagai tingkah. Demam minion pun melanda dunia bahkan jauh sebelum filmnya resmi dirilis. Strategi promosi yang harus diakui sukses menggiring penonton ke bioskop. Terbukti dengan opening weeked melewati angka US$ 80 juta di US saja. Namun sayang nyatanya saya tidak bisa sedikit pun menikmati DM2 sebagaimana saya sangat menikmati predecessor-nya.
Saya pun penasaran untuk mengkaji lebih dalam penyebabnya. Hal paling utama yang saya temukan adalah DM2 tidak memiliki konsep cerita yang kuat dan jelas sebagaimana pendahulunya. DM punya perkembangan karakter (terutama) Gru yang jelas dan mengalir dengan lancar. Kehadiran minion dengan tingkah lakunya di berbagai adegan tak hanya lucu dan sangat menghibur, namun juga masih dalam frame cerita yang berkaitan. Lantas apa yang dilakukan kreator di DM2 ini justru sebaliknya. Iya, saya tahu dan sangat menyadari bahwa minion adalah komoditas yang sangat menjual dari franchise DM. Desain karakter yang sederhana namun unik dan berkelas ini adalah contoh desain karakter animasi yang kuat. Namun jika tidak ditempatkan dalam konsep cerita yang juga kuat maka potensi yang ada, menurut saya, terbuang sia-sia.
Coba kita cermati lagi tiap detail adegan yang ada dan rasakan. Soulless. Penonton mungkin akan tertawa terbahak-bahak melihat adegan-adegan yang menampilkan minion (yang porsinya memang jauh lebih banyak ketimbang sebelumnya) sepanjang durasi, but that’s all you got. Pondasi cerita seolah hanya menjadi background yang “asal ada”, tanpa kesinambungan yang cukup berarti dari satu adegan ke adegan lain, dan lebih parah lagi, berakhir pointless. Bagi saya, ia telah kehilangan daya tarik untuk mengikuti film hingga akhir. Mungkin saya hanya penasaran bagaimana adegan nyanyian Underwear yang begitu diributkan banyak orang.
Tiap adegan minion terasa seperti klip sketsa komedi pendek yang berdiri sendiri-sendiri, seperti Larva atau Shaun the Sheep. Dan dengan porsi yang begitu banyak, sama seperti gula jika kebanyakan juga bikin eneg, alih-alih lucu, saya malah merasa muak dengan tingkah, suara, dan bahasa yang mereka gunakan. Untuk saat ini ada baiknya saya hanya mengenal minion dari figurine saja, tak perlu bergerak, tak perlu bersuara. It’s very annoying, thanks to DM2.
Well, itu adalah pendapat pribadi dari saya. Tentu sah-sah saja jika Anda menganggap adegan-adegan minion tersebut lucu dan menghibur and has been enough of what you’ve paid for. Toh selera humor tiap orang juga beda-beda. Namun dengan kacamata objektif, tentu ekploitasi minion berlebih dan mengesampingkan aspek-aspek lainnya yang bisa memperkuat film keseluruhan, adalah penyia-nyiaan potensi yang ada. Padahal kehadiran karakter-karakter baru, seperti Lucy, Eduardo a.k.a. El Macho, bahkan Shannon, bisa jadi potensi yang tidak kalah menariknya jika mau digali lebih dalam. Sayang mereka masing-masing hanya diberi porsi show-off keunikan gesture tanpa keterlibatan yang kuat dalam plot hingga mampu menarik simpati penonton.
Tingkat humor slapstick kasar pun meningkat drastis kadarnya dari DM. Jika saya masih menganggap kadarnya di DM dalam konteks wajar dan lucu, maka segala kekerasan yang mengatas-namakan “lucu” di DM2 ini saya rasa begitu berlebihan, sudah tidak lucu lagi, bahkan risih melihatnya berada pada sebuah film animasi yang target utama audience-nya anak-anak. I think it’s another form of big exploitation in this movie which has decreasing its value a lot. What a shame.

The Casts

Like I’ve written in previous part, Steve Carell masih mampu menghidupkan karakter Gru yang unik dengan maksimal meski porsi ketertarikan karakternya sudah jauh menurun ketimbang di DM. Kristin Wiig yang mengisi suara karakter baru, Lucy, mampu mengimbangi keunikan karakter Gru berkat gesture dan karakter suaranya. Mungkin banyak penonton yang mengira pengisi suaranya adalah Gwyneth Paltrow (terutama karakter Potts di franchise Iron-Man) karena kemiripan karakter, but it’s okay. She’s still looking (and also sounding) good here.
Benjamin Bratt yang selama ini kita kenal berkat peran-peran gentleman yang charming ternyata mampu mengisi suara Eduardo, pria Mexico nyentrik bertubuh tambun, dengan sangat pantas. Good job! Tak ketinggalan icon Hangover, Ken Jeong, yang turut menyumbangkan suara khasnya untuk karakter Floyd.
Untuk pengisi suara para minion yang kebanyakan diisi oleh sutradaranya sendiri, Pierre Coffin (iya, saya sudah tahu dia anaknya Nh. Dini, sastrawati Indonesia itu), hmmmm maaf yah sudah sampai pada tahap annoying tapi tampaknya kelangsungan franchisenya bakal lancar-lancar saja, jadi ya sudahlah...

Technical

Tidak ada hal teknis yang begitu menonjol maupun berkembang dari seri sebelumnya. Animasi yang halus dan nyata, serta warna-warna vibrant yang digunakan sangat memanjakan mata. Efek 3D yang ditawarkan pun cukup worth the price (and also worth your eyes’ health). Depth of field yang cukup terasa serta gimmick-gimmick pop-out yang sengaja ditebar di sana-sini.
Pharrell lagi-lagi menyumbangkan karya-karyanya untuk mengisi soundtrack DM2. Tak hanya theme song dan single-single dari DM, tetapi juga single baru, Happy dan Just A Cloud Away. Masih mampu mengusung suasana fun dan keren. Sementara lagu-lagu spoof yang dibawakan oleh para minion menurut saya kacau balau dan tak jelas, tapi rupanya masih mampu membuat banyak orang tertawa.

The Essence

Jika di Hangover 3, tak peduli seberapa jahat seseorang tetap butuh sahabat, maka di sini ia juga butuh pendamping wanita!

They who will enjoy this the most

  • Minion’s fans
  • Penonton yang menganggap suara cempreng dan bahasa tak jelas tidaklah mengganggu, melainkan lucu
  • Penonton dari segala usia yang butuh instant entertainment super ringan. Just for laughs.

86th Academy Awards nominee for

  • Best Animated Feature
  • Best Achievement in Music Written for Motion Pictures, Original Song - "Happy" by Pharrell Williams
Lihat data film ini di IMDb
Diberdayakan oleh Blogger.