
Tahun 2011 bisa dibilang tahun keemasan bagi Hanung Bramantyo. Betapa tidak, tercatat ada tiga judul film yang akan ia sutradarai; ? (Tanda Tanya), Tendangan dari Langit, dan Dapunta. Ketiganya memiliki esensi berbeda-beda yang sama menariknya. Jika lewat ? (Tanda Tanya) ia mengkritisi toleransi antar umat beragama di Indonesia, maka Tendangan dari Langit mencoba untuk (sekali lagi) menginspirasi anak muda Indonesia untuk mengejar impiannya. Bukan hal baru memang, ada puluhan atau mungkin ratusan film bertemakan “mengejar impian” pernah diangkat, baik dalam negeri maupun internasional. Sedangkan untuk film bertemakan sepak bola sendiri sejatinya masih belum banyak dibuat, terutama karena sepak bola bukan olah raga popular di pusat film dunia, Hollywood. Mungkin baru Goal!, Bend It Like Beckham, dan Green Street Hooligans yang cukup populer.
Seperti biasa, Hanung tidak perlu diragukan lagi dalam hal artistik. He’s one of Indonesian master. Begitu pun dalam hal merangkai cerita dalam gambar-gambar dan alur yang menarik. Maka untuk menyaksikan tiap karyanya, saya selalu men-set ekspektasi yang cukup tinggi. Ternyata ekspektasi saya lagi-lagi tak meleset. TDL berhasil mengemas kisah “chasing dreams” menjadi drama yang menyentuh, lucu, sekaligus menginspirasi.
Menyentuh, berkat sub-plot father-son relationship yang naik-turun. Lucu, berkat kehadiran sahabat-sahabat Wahyu, tokoh utama kita; Purnomo (Joshua Suherman), Mitro (Jordu Onsu), dan Meli (Natasha Chairani), serta juga kisah cinta Wahyu-Indah khas anak SMA yang masih malu-malu. Lucunya natural, tidak terkesan dibuat-buat atau jayus. Menginspirasi, berkat plot utama tentang perjuangan Wahyu dalam mengejar cita-citanya. Serasa komplit bukan? Yah, seperti itulah gambaran kira-kira tentang apa yang disuguhkan Hanung (dan juga penulis skenario Fajar Nugros) di sini. Semuanya tertuang dengan plot dan alur yang tertata rapi dan disuguhkan dalam gambar yang cukup dinamis serta sesuai dengan porsi yang pas.
Selain itu, TDL juga menyentil dunia sepak bola di Indonesia. Saya sendiri bukan penggemar bola dan tidak begitu mengerti polemik bola di Indonesia. TDL bisa dibilang cukup berhasil menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya di persebak-bolaan Indonesia; apa itu LPI dan mengapa Persema lebih memilih gabung dalam LPI ketimbang PSSI. Dijelaskan dengan singkat dan tidak berbelit-belit karena memang bukan topik utama. Ada pula celetukan dari ayah Wahyu yang bisa dibilang menjadi ekspresi hopelessness rakyat Indonesia terhadap pemerintahnya. Cukup membuat saya merenung dan tersentuh. Yah semoga saja pejabat yang nonton juga ikut tersentuh dan tergerak hatinya untuk memperbaiki kondisi ini.
Dari jajaran cast, Wahyu sebagai karakter utama tentu menjadi pusat perhatian. Apalagi bagi Yosie Kristanto, pemerannya, ini adalah debut pertamanya berakting di layar lebar. Maudy Ayunda yang berperan sebagai Indah, the movie’s sweetheart yang punya senyum manis banget, cukup berhasil mencuri layar karena kecantikan dan juga kemampuan aktingnya yang pas dengan porsinya. Artis cilik yang sekarang beranjak dewasa, Joshua Suherman, dan Jordi Onsu, adik presenter Ruben Onsu, memberikan kesegaran tersendiri lewat karakter mereka. Untuk jajaran aktor yang perlu keseriusan berakting di sini, ada Agus Kuncoro yang nampaknya mulai menjadi langganan Hanung, Sujiwo Tedjo, dan tentu saja Yati Surachman yang lagi-lagi memerankan karakter tipikalnya : ibu-ibu tertindas, seperti biasa sukses menghidupkan peran yang diemban masing-masing. Terutama Sujiwo Tedjo, very impressive! Sedangkan kehadiran Irfan Bachdim, Kim Kurniawan, Coach Timo, dan Matias Ibo bisa dibilang hanya sebagai cameo yang memerankan dirinya sendiri. Tak banyak peran yang dipersiapkan untuk mereka. Apalagi Bachdim dan Kurniawan yang tidak diberi dialog selain dalam footage wawancara.
Saya ingin memberikan pujian khusus untuk tampilan adegan pertandingan sepak bola yang meriah dan seru. It’s like watching the real live match, with more details and better angles than the real one. The thing I always want to see from a soccer match. Apalagi didukung dengan score yang menambah keseruan dan ketegangan adegan. Tidak heran, Tya Subiakto yang menanganinya. Band Kotak pun menyumbangkan beberapa lagunya yang berhasil memberi warna kisah cinta dan kisah perjuangan cita-cita Wahyu. Oh iya, speaking of score, saya kok merasa adanya kemiripan melodi score saat pertandingan bola pertama tingkat kecamatan di Bromo, dengan melodi Video Killed The Radio Star (President of The United States of America) yah?! Mirip banget lho!
Anyway, TDL layak menjadi salah satu film Indonesia terbaik 2011, bahkan selama ini. Menghibur sekaligus menginspirasi untuk remaja dan keluarga. Satu lagi sumbangsih karya apik dari Hanung Bramantyo untuk perfilman Indonesia yang masih sering diremehkan oleh rakyatnya sendiri.