
Irma adalah seorang pengusaha fashion hijab muda sukses yang masih single di usianya yang sudah kepala tiga. Satu-satunya orang tua yang masih hidup, Sang Ayah, sudah berkali-kali mendesak putrinya untuk mencari pendamping hidup tapi Irma selalu merasa risih dan menghindarinya. Tiba-tiba muncullah Yusuf, seorang fotografer yang ternyata tak lain dan tak bukan adalah pria yang pernah ditaksir Irma saat masih SMA dulu. Gayung bersambut, sebenarnya Yusuf pun jatuh cinta pada Irma. Namun rupanya Irma masih tetap merasa belum siap untuk menikah. Sang Ayah dan Yusuf makin mempertanyakan, ada apa sebenarnya yang membuat Irma enggan untuk segera menikah.
Dari segi judul dan materi-materi promonya, Pintu Surga Terakhir memang memberikan kesan drama romantis reliji. Begitu juga dengan premise yang mengesankan sekadar tema ‘ngebet kawin’ yang sudah sering diangkat di film maupun sinetron Indonesia. Meski sebenarnya menawarkan isu yang relate dengan begitu banyak masyarakat Indonesia, tema yang sudah begitu sering diangkat dan tidak banyak yang menawarkan sesuatu maupun angle baru, malah cenderung jatuh ke dalam konklusi dangkal, mungkin membuat cukup banyak calon penonton yang sudah terlebih dulu berprasangka buruk. Apalagi reputasi tema reliji yang sudah terlanjur bercitra negatif karena banyaknya karya-karya dangkal asal buat. Padahal jika mau ditelaah lebih jauh dan mendalam, Pintu Surga Terakhir sebenarnya menawarkan konflik dengan angle yang cukup unik di balik kesederhanaan premise-nya.
Sebagaimana dianalogikan lewat penyakit diabetes yang diidap karakter ayah Irma, film melontarkan pertanyaan yang tak semudah itu untuk dijawab; ketika kita mengakui menyayangi seseorang, dalam konteks ini adalah Sang Ayah, apakah kita akan mengejah-wantahkan rasa sayang itu menurut pendapat kita pribadi sebagai subjek - misalnya lewat perhatian seperti menyiapkan obatnya secara rutin dan melarang dengan ketat mengkonsumsi makanan/minuman yang bisa membahayakan kondisi kesehatannya, atau menurut pendapat Sang Ayah sebagai objek - misalnya menuruti segala keinginan Sang Ayah meski kita tahu dampaknya bisa berbahaya? Toh argumen bahwa ‘rasa sayang kita terhadap seseorang adalah sia-sia jika tak bisa dirasakan oleh sang objek’ juga tak sepenuhnya salah. Mempertemukan kedua kubu, yang bahkan mungkin bisa saja sama sekali berseberangan, di titik tengah bukanlah perkara yang mudah.
Karakter Irma digambarkan sebagai wanita mandiri yang punya kebebasan menentukan nasib dan membuat semua pilihannya sendiri dan terbukti, sukses. Sang Ayah pun tak pernah secara keras memaksa Irma untuk segera menikah, apalagi secara sengaja menjodoh-jodohkan. Irma juga digambarkan sudah menemukan sosok tambatan hati yang berbalas pula. Tak terasa kedangkalan-kedangkalan yang biasa ada di film-film reliji. Di paruh pertama penonton dibuat penasaran, ada apa sampai membuat Irma sebegitu takutnya dengan pernikahan. Bisa jadi ada trauma masa lalu ataupun kemungkinan-kemungkinan lainnya. Hingga akhirnya dimunculkan adegan emosional yang membuat Irma dan Sang Ayah berekonsiliasi, penonton (setidaknya saya pribadi) bak ‘dibungkam’ oleh pertanyaan yang tentang bentuk kasih sayang yang valid: menurut ‘pemberi’ atau ‘yang dituju’? Sebuah pertanyaan yang muncul dari kejadian sederhana tapi tidak bisa dijawab dengan mudah begitu saja tanpa melalui proses refleksi.
Pilihan dialog yang dilontarkan karakter-karakter sebenarnya tergolong sangat generik, tapi masih punya daya tarik berkat penampilan para aktornya. Terutama sekali Indro Warkop yang berhasil membawakan dialog-dialog generik menjadi terdengar lebih hidup dan menghibur. Indro Warkop pun sekali ini menunjukkan rentang akting yang begitu lebar, dari komedi hingga drama yang ternyata mampu menjadi begitu emosional. Begitu juga chemistry yang berhasil dibangun oleh Indro Warkop dan Cut Meyriska sebagai ayah-putri, begitu meyakinkan dan intim. Bahkan selain konflik utama yang diangkat, chemistry ini menjadi kekuatan terbesar Pintu Surga Terakhir.
Production value yang dihadirkan memang tergolong amat sederhana, jika tidak mau disebut ‘sangat FTV’. Untungnya semua masih terlihat sangat layak dan sesuai kebutuhan. Penataan kamera Indra Suryadi yang juga tergolong serba sederhana pun masih dalam koridor sesuai kebutuhan adegan, masih cukup efektif bercerita secara visual. Tak ketinggalan Fajar Bustomi menyelipkan cukup banyak detail adegan, seperti gestur-gestur kecil dari karakter-karakter yang ada dan pilihan sikap/dialog yang menegaskan atau sekadar memberikan hint terhadap plot utama, yang kesemuanya tertangkap dengan jelas lewat bidikan kamera.
Dengan segala kesederhanaan tapi cukup berbobot sekaligus berhati besar, Pintu Surga Terakhir menjadi sajian yang cocok dijadikan hiburan sekaligus bahan refleksi untuk ditonton bersama orang tua dan anak-anaknya, terutama yang sudah beranjak dewasa dengan berbagai kerumitan hidup. Sebuah refleksi yang membuka pintu dialog antara orang tua dan anak untuk saling memahami dari perspektif masing-masing sekaligus menyatukannya di satu titik temu.
Dari segi judul dan materi-materi promonya, Pintu Surga Terakhir memang memberikan kesan drama romantis reliji. Begitu juga dengan premise yang mengesankan sekadar tema ‘ngebet kawin’ yang sudah sering diangkat di film maupun sinetron Indonesia. Meski sebenarnya menawarkan isu yang relate dengan begitu banyak masyarakat Indonesia, tema yang sudah begitu sering diangkat dan tidak banyak yang menawarkan sesuatu maupun angle baru, malah cenderung jatuh ke dalam konklusi dangkal, mungkin membuat cukup banyak calon penonton yang sudah terlebih dulu berprasangka buruk. Apalagi reputasi tema reliji yang sudah terlanjur bercitra negatif karena banyaknya karya-karya dangkal asal buat. Padahal jika mau ditelaah lebih jauh dan mendalam, Pintu Surga Terakhir sebenarnya menawarkan konflik dengan angle yang cukup unik di balik kesederhanaan premise-nya.