3/5
Action
Franchise
Hollywood
Indie
Investigation
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Mile 22
Semenjak kesuksesan The Raid dan The Raid: Berandal di pasar internasional, tak terkecuali Amerika Utara, talenta Iko Uwais semakin dilirik Hollywood. Setelah mendapatkan kesempatan tampil di Man of Taichi, Star Wars: The Force Awakens, dan Beyond Skyline, porsi peran sekaligus skala produksi yang lebih besar datang dari Peter Berg (Battleship, Lone Survivor, Deepwater Horizon, Patriots Day). Lawan mainnya pun tak main-main; Mark Wahlberg, Laura Cohan (The Walking Dead, Batman v Superman: Dawn of Justice), Ronda Rousey (The Expendables 3, Furious 7), hingga John Malkovich. Bahkan rencananya film bertajuk Mile 22 ini dikembangkan sebagai franchise baru milik STX Entertainment. Selain trilogi layar lebar yang mana film keduanya saat ini sedang dikembangkan, akan disiapkan pula web series-nya.
Konon dikisahkan pemerintah Amerika Serikat membentuk tim operasi gelap bernama Overwatch yang menjadi opsi ketiga ketika semua upaya sebelumnya gagal. Salah satu agen yang paling menonjol adalah James Silva yang memiliki kecepatan koordinasi gerakan tubuh di atas rata-rata tapi bertemperamen buruk. Ketika menjalankan misi untuk menemukan cesium, racun yang konon dampaknya melebihi gabungan bom nuklir Hiroshima dan Nagasaki, tiba-tiba muncul Li Noor, mantan anggota kepolisian negara fiktif bernama Indocarr di Asia Tenggara yang mengaku punya kata kunci hard drive berisi informasi letak cesium tersebut. Ia berjanji akan menyebutkannya setelah ia bisa meninggalkan negaranya dan mendapatkan ijin tinggal di Amerika Serikat. Permintaan disetujui, tapi perjalanan mengantar Li Noor menuju pesawat yang sudah disiapkan sejauh 22 mil diserang oleh puluhan orang asing yang berusaha meyakinkan mereka untuk menyerahkan Li Noor. James Silva dan timnya semakin penasaran identitas Li Noor yang sebenarnya hingga menjadi incaran pihak pemerintahan Indocarr dan hubungannya dengan rencana aksi terorisme lewat racun cesium.
Secara garis besar Miles 22 menawarkan sebuah franchise tim operasi fiktif baru yang tergolong menarik untuk dikembangkan, berikut juga dengan karakter utama, James Silva, dengan berbagai karakteristik uniknya. Sayang di installment pembuka ini, James dan tim Overwatch-nya ditampilkan di layar hanya sebatas pengenalan dan latar belakang saja, tak ada eksplorasi tim ataupun pengembangan karakter lebih dalam yang membuat penonton merasa perlu bersimpati secara personal kepada karakter-karakter utamanya. Rupanya franchise ini lebih berniat untuk membuatnya sebagai sajian aksi non-stop yang membombardir penonton dengan adegan baku hantam, baku tembak, dan ledakan dari awal hingga akhir film. Apalagi aksi Iko Uwais yang seperti biasa, memukau dan menimbulkan decak kagum diletakkan sebagai daya tarik utama film, meski koreografi dan penanganannya sedikit banyak mengingatkan kita akan sepak terjangnya di film-film sebelumnya. Bahkan Berg sendiri mengakui dalam sebuah wawancara bahwa salah satu alasan terbesar pembuatan franchise ini adalah ketertarikannya terhadap sosok Iko Uwais.
Sayangnya dukungan teknis, terutama tata kamera, gagal untuk membuat adegan-adegan yang sudah ditata sedemikian dahsyat menjadi terasa maksimal. Berkali-kali kamera Jacques Jouffret terlihat berusaha untuk mengikuti gerakan aksi para aktor yang dinamis tapi alih-alih memberikan kesan seru, justru membingungkan karena tak mampu mengimbangi kecepatan adegan. Maklum, ini merupakan pengalaman debut Jouffret sebagai director of photography setelah selama ini menjadi camera operator untuk steadicam di film-film Berg. Terlihat pula editing Melissa Lawson Cheung dan Colby Parker Jr. berusaha menutupinya dengan pergantian shot secara cepat dan cut-to-cut untuk memberi kesan dinamis, tapi justru semakin membuat laju film terasa terlalu cepat untuk diikuti dan agak mengurangi keasyikan penonton. Musik ilustrasi dari Jeff Ruso cukup memberikan energi lebih ke dalam adegan-adegan mendebrakannya meski tak juga menjadi sesuatu yang istimewa. Kendati demikian tata aksi yang digelar masih bisa dinikmati meski seharusnya bisa terasa lebih maksimal lagi.
Mengisi peran James Silva yang sejatinya menarik dan bisa dieksplorasi lebih, Mark Wahlberg terasa kurang maksimal dalam menggali. Di layar kita hanya melihat layer terluar karakter James Silva yang temperamen. Ada upaya membubuhkan sedikit ‘hati’ pada karakter tapi tak sampai berhasil menggugah penonton karena pace film yang kurang mendukung. Alhasil sisa daya tarik yang masih bisa didapatkan dari karakternya adalah celetukan-celetukan menggelitik yang sesekali keluar dari mulutnya. Sebagai lawan main, Iko Uwais mampu mengimbangi porsi peran Wahlberg dengan kharisma misteriusnya dan tentu saja, sepak terjangnya dalam memeragakan jurus-jurus pencak silat dan menggunakan barang-barang sebagai senjata untuk melukai musuh secara brutal. Karakter Alice Kerr yang diperankan Lauren Cohan sebenarnya juga diberi kedalaman lebih tapi lagi-lagi ditampilkan hanya sekedar ada, tidak dieksplorasi lebih. Sementara John Malkovich dan Ronda Rousey pun tidak diberi porsi lebih untuk memikat penonton.
Punya konsep yang menarik untuk dikembangkan menjadi franchise tim investigasi, apa yang ditampilkan Mile 22 masih sejauh gelaran aksi non-stop yang cukup menghibur secara instan. Perlu pengembangan yang jauh lebih solid untuk sekedar mensejajarkannya dengan waralaba-waralaba kelas A sejenis. Dengan ending yang ada, kita juga bisa berharap porsi dan pengembangan karakter yang lebih lagi bagi Iko Uwais di sekuel-sekuelnya kelak. Bahkan bisa jadi highlight film yang utama. Tentu ini merupakan prestasi yang luar biasa bagi Iko Uwais sekaligus membuka jalan bagi aktor-aktris Indonesia lainnya di Hollywood.
Lihat data film ini di IMDb.