4/5
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Box Office
childhood
Comedy
Drama
Family
Father-and-Daughter
Franchise
Hollywood
Kid
Oscar 2019
Pop-Corn Movie
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Christopher Robin
Siapa yang tak kenal sosok beruang pemakan madu bernama Winnie the Pooh; Christopher Robin, Piglet, Eeyore, Kanga, Roo, dan Tigger? Sejak ditulis pertama kali oleh A. A. Milne tahun 1926 lewat sebuah buku kumpulan cerita, Winnie the Pooh menjadi buku cerita anak paling populer hingga saat ini. Apalagi setelah royaltinya jatuh ke tangan Disney yang telah mengembangkannya menjadi salah satu franchise terbesar mereka. Empat film layar lebar pun telah dirilis. Menilik sukses adaptasi animasi klasik mereka ke bentuk live action seperti Alice in Wonderland, Maleficent, Cinderella, The Jungle Book, dan Beauty and the Beast, Disney pun beride untuk mengangkat pula Winnie the Pooh. Ketika mendengar kabar pembuatan ini untuk pertama kalinya saya sempat kaget dan penasaran. Akan seperti apa tampilan binatang-binatang yang sangat kartun ini dalam bentuk hidup? Apalagi di rentang waktu yang tak terlalu lama, 20th Century Fox juga merilsi Goodbye Christopher Robin dengan bintang Domhnall Gleeson dan Margot Robbie di bawah arahan Simon Curtis (David Copperfield, My Week with Marilyn). Namun nama Marc Foster (Finding Neverland, The Kite Runner, Quantum of Solace, dan World War Z) di bangku sutradara, dengan tim penyusun naskah dengan latar belakang macam naskah Spotlight (Tom McCarthy) dan Hidden Figures (Allison Schroeder), serta aktor sekaliber Ewan McGregor (Trainspotting, Moulin Rouge!, dan franchise Star Wars), Christopher Robin (CR) versi Disney ini tak bisa diabaikan begitu saja.
Sepulang dari mengabdi sebagai tentara Inggris di Perang Dunia II, Christopher Robin memilih bekerja sebagai ahli efisiensi di perusahaan produsen tas koper, Winslow Luggages. Di saat krisis ekonomi, ia ditugaskan untuk semakin memperamping keuangan perusahaan selama akhir pekan. Padahal di akhir pekan yang sama ia sudah berjanji akan menemani sang istri, Evelyn, dan putri tunggalnya, Madeline untuk berlibur ke rumah pedesaan di Sussex sebelum Madeline masuk sekolah asrama. Di saat yang bersamaan Winnie the Pooh keluar rumah dan mendapati semua teman-temannya menghilang dari Hutan Hundred Acre. Ajaibnya ia keluar dari sebuah pintu yang membawanya ke sebuah taman di London dan bertemu Christopher Robin yang sedang galau. Christopher setuju untuk membantu mencari teman-teman Winnie di hutan. Siapa sangka petualangan yang membawa Christopher kembali ke masa kecilnya tersebut justru membuatnya sadar akan apa saja hal penting sekaligus keputusan penting yang harus dibuatnya sebagai seorang dewasa.
Jika Goodbye Christopher Robin merupakan biografi di balik penciptaan karakter-karakter Winnie the Pooh, A. A. Milne, maka CR bak melanjutkan kisah-kisah klasik Winnie the Pooh sekian tahun kemudian, ketika Christopher Robin telah dewasa. Maka jangan heran jika karakter-karakter binatang yang bisa berbicara selama ini (well, let’s say ternyata boneka hidup, bukan benar-benar binatang) di sini dianggap betul-betul hidup dan nyata, bukan teman-teman khayalan Christopher sebagaimana anggapan realistis kartunnya selama ini.
Namun bukan berarti CR hanya menjadi tontonan anak-anak sebagaimana versi kartunnya. Dengan mengambil setting setelah Christopher dewasa, sejatinya CR lebih membidik penonton dewasa (setidaknya remaja) yang memang tumbuh akrab dengan karakter-karakter Winnie the Pooh. Bagi target audience utamanya (ditambah juga penonton anak-anak), CR merupakan sebuah dream come true. Berbagai keraguan ketika melihat sosok-sosok binatang dalam rupa boneka di trailer sirna begitu melihat tingkah laku, gesture, dan pilihan kata khas yang keluar dari mulut mereka yang begitu mirip versi kartun. Begitu menakjubkan melihat karakter-karakter kartun tersebut benar-benar terasa hidup sungguhan dengan berbagai tingkah lugunya.
Sementara bagi penonton dewasa, CR bak refleksi tentang hal-hal yang sepele dari masa kecil tapi tak disangka-sangka punya makna yang penting di kehidupan dewasa. Mungkin memang tema ‘do nothing’ tidak selalu menjadi jawaban dari semua masalah dewasa (kebetulan saja punya korelasi dengan konflik Christopher dalam film), tapi setidaknya mampu menggugah penonton dewasa untuk tak melupakan hal-hal kecil dari masa kecil, apapun itu.
Diawali dengan pesta perpisahan Christopher Robin dan sahabat-sahabat ciliknya yang menggugah memori penonton terhadap seri animasinya, plot kemudian bergerak menuju konflik Christopher Robin dewasa yang mungkin terasa sedikit lambat meski masih diselipi humor di sana-sini. Baru kemudian plot terasa lebih seru dengan dosis komedi lugu yang bisa dengan mudah dipahami oleh semua usia dan dipertahankan hingga menjelang konklusi yang hangat. Secara keseluruhan CR merupakan feel-good movie bagi seluruh anggota keluarga.
Dari daftar filmografinya, tak sulit bagi Ewan McGregor untuk menjaga keseimbangan antara peran serius dengan sisi-sisi komikalnya. Kharismanya pun lebih dari cukup untuk mengisi porsi peran utama sebagai Christopher Robin. Hayley Atwell mungkin tak diberi porsi yang cukup sebagai Evelyn Robin untuk memikat penonton secara lebih lagi. Sebaliknya, penonton mungkin lebih mudah mengalihkan perhatian sekaligus jatuh cinta kepada Bronte Carmichael yang memerankan sosok Madeline Robin. Eksplorasi emosi lewat konflik yang disodorkan sekaligus sisi-sisi keluguan dengan porsi yang pas berhasil dibawakan dengan baik olehnya. Sementara jajaran pengisi suara, seperti Jim Cummings sebagai Winnie the Pooh dan Tigger, Brad Garrett sebagai Eeyore, Nick Mohammed sebagai Piglet, Peter Capaldi sebagai Rabbit, Sophie Okonedo sebagai Kanga, Sara Sheen sebagai Roo, dan Toby Jones sebagai Owl, masing-masing mampu menyambung karakter-karakter yang sudah sangat familiar dengan begitu mirip, baik dari segi suara maupun aksentuasinya.
Teknis sebenarnya tak terlalu istimewa selain sekedar cukup mendukung berbagai kebutuhan film. Seperti sinematografi Matthias Koenigwieser yang dengan camera work cekatan di berbagai adegan petualangan seru nan komikal, tapi juga bisa terasa manis dan emosional lewat pilihan-pilihan shotnya. Editing Matt Chesse pun mampu membawa flow cerita dengan lancar di balik beberapa transisi mood yang cukup drastis antara dramatis yang nostalgic dan petualangan yang enerjik. Musik dari Jon Brion dan Geoff Zanelli membangkitkan nuansa nostalgia dari animasinya yang terasa klasik, hangat, dan membumi, bahkan lewat komposisi-komposisi baru yang senuansa.
Secara keseluruhan CR mungkin bukan tipe adaptasi live action Disney yang seambisius sebelum-sebelumnya. Bahkan mungkin menjadi yang ter-sederhana, skala terkecil, paling personal dan ‘segmented’ (terutama lewat konsep pengembangannya yang agak jauh dari materi asli dibandingkan adaptasi live action lainnya). Namun bukan berarti ia tak terasa istimewa. Justru dengan menyuguhkan drama-petualangan keluarga sederhana yang saat ini sudah jarang dihadirkan di layar lebar, CR justru terasa menyegarkan di tengah-tengah gempuran blockbuster yang serba grandeur. Tentu saja dengan materi yang tetap valuable untuk dinikmati seluruh anggota keluarga ataupun sahabat-sahabat terdekat.
Lihat data film ini di IMDb.91st Academy Awards nominees for:
- Best Achievement in Visual Effects - Chris Lawrence, Mike Eames, Theo Jones, and Chris Corbould