The Jose Flash Review
Mamma Mia!
Here We Go Again


Meski versi teater musikalnya sukses besar (sudah ditonton lebih dari 60 juta orang dan mengumpulkan US$ 2 milyar di seluruh dunia sejak pertama kali dipentaskan tahun 1999), tak ada yang menyangka adaptasi layar lebar Mamma Mia! (MM! - 2008) akan menuai sukses sebesar itu. Dengan budget yang ‘hanya’ US$ 52 juta, MM! sukses mengumpulkan US$ 615.7 juta di seluruh dunia, sebesar US$ 471.6 juta berasal dari pasar domestik Amerika Serikat. Masih ditambah kesuksesan versi home video yang memecahkan rekor DVD Titanic (terjual 1.669.084 kopi di hari pertama rilis saja) di Inggris dan bahkan mengumpulkan US$ 30 juta dari hari pertama perilisan DVD-nya di Amerika Serikat. Kesuksesan yang tergolong luar biasa itu membuat Universal Pictures tertarik untuk membuatkan sekuel. Meski pada akhirnya baru benar-benar terealisasi pada tahun 2018 alias 10 tahun kemudian, sekuel MM! yang diberi tajuk Mamma Mia! Here We Go Again (MM!2) masih menarik minat para penggemarnya. Apalagi semua cast utama kembali, ditambah masuknya Lily James (Cinderella, Baby Driver), Cher, Andy Garcia, Jeremy Irvine (War Horse, Now is Good, The Woman in Black 2: Angel of Death), Josh Dylan (Allied), dan Hugh Skinner (Les Misérables, Star Wars: The Last Jedi). Estafet bangku penyutradaraan dari Phyllida Lloyd ke Ol Parker agaknya bukan menjadi masalah yang berarti karena punya portfolio yang tergolong baik (pernah sukses mengadaptasi naskah The Best Exotic Marigold Hotel ke layar lebar sekaligus menyutradarai Imagine Me & You dan Now is Good).

Lima tahun setelah akhir film pertama, Sophie sedang sibuk mempersiapkan acara pembukaan kembali Hotel Bella Donna peninggalan sang ibu, Donna, yang telah meninggal dunia setahun sebelumnya. Beberapa tamu penting tak bisa hadir, seperti sang suami, Sky, yang sedang mengikuti pelatihan bisnis perhotelan di New York, juga dua ‘ayah’-nya, Harry dan Bill yang kebetulan sedang menghadiri urusan pekerjaan yang penting. Beruntung masih ada Sam, Tanya, dan Rosie yang setia mendampingi Sophie.
Plot masa kini tersebut berjalan paralel dengan plot tahun 1979 dimana Donna muda baru lulus kuliah dan berniat mencari tujuan hidup. Intuisi membawanya ke Yunani. Selama perjalanan ia bertemu dengan Harry, Bill, dan Sam yang sama-sama punya peranan penting bagi perjalanan Donna. Namun pilihan akhir Donna justru mengecewakan. Kedua yang lain pun mencoba merebut hati Donna.
Jujur saja, saya sempat merasakan semua yang ditampilkan di MM! sudah lebih dari cukup. Tidak ada pertanyaan yang mengganjal dan merasakan kedekatan yang akrab dengan kesemua karakter utamanya, termasuk ketiga ‘ayah’ Sophie serta dua bibi The Dynamos. Maka ketika terdengar kabar tentang pembuatan sekuelnya, saya antara berpikir ‘Oh, okay. Let’s see’ dan mempertanyakan, ‘apa lagi yang ingin disampaikan ketika kesemuanya sudah lebih dari cukup?’. Awalnya ide plot paralel antara masa kini dan Donna muda pun tak membuat saya begitu bersemangat. Apa urgensinya menceritakan masa muda Donna ketika bertemu ketiga pria yang sebenarnya sudah terangkum dengan sangat cukup di MM!? Apa pula urgensi menceritakan Sophie yang sedang bersiap menyambut tamu-tamu penting di pembukaan kembali Hotel Bella Donna selain sekedar ajang reuni?
Keraguan dan pertanyaan tersebut agaknya perlahan memudar ketika saya menyaksikan langsung hasil akhirnya. Plot Donna muda ternyata tak sekedar visualisasi dari kisah masa lalu Donna ataupun hanya alasan untuk memasukkan lebih banyak lagu ABBA ke dalam film, tapi membuat penonton lebih memahami karakter Donna secara penuh. Ya, ia memang selugu dan selemah itu terhadap pria hingga menimbulkan kebingungan atas siapa sebenarnya ayah Sophie dari Harry, Bill, dan Sam. Namun di MM!2 ini ditunjukkan dengan jelas bahwa pada akhirnya ia berani memilih untuk membangun kehidupannya sekaligus membesarkan Sophie sendiri. Ketiga pria tak digambarkan sebagai pria brengsek yang hanya berniat mempermainkan Donna. Hanya masalah waktu dan realita yang membuat urusan perasaan tak pernah menjadi hal yang mudah. Sebuah pilihan akhir dari karakter Donna yang membuatnya semakin mengundang simpati dari penonton. Apalagi Lily James berhasil tak hanya menyambung peran ikonik dari Meryl Streep lewat gestur, cara berbicara, ekspresi wajah, dan aura kepribadian secara keseluruhan, tapi juga menampilkan transformasi karakter dari naif nan rapuh hingga menjelma menjadi wanita mandiri yang kuat dengan begitu mulus, realistis, dan menyenangkan. Begitu juga Jeremy Irvine yang menyambung peran Brosnan, Josh Dylan menyambung peran Stellan Skarsgård, serta Hugh Skinner yang menyambung peran Colin Firth dengan luar biasa meyakinkan (kecuali kualitas suara Sam ketika bernyanyi yang mudanya bagus tapi menurun drastis ketika tua) serta sama-sama menghibur dan loveable. Tentu saja tak boleh dilupakan Jessica Keenan Wynn yang menyambung peran Christine Baranski sebagai Tanya dan Alexa Davies yang menyambung peran Julie Walters sebagai Rosie. Malah kalau mau dibandingkan dengan film pertama, baik versi muda maupun tua di seri ini keduanya tampil makin menghibur dan menjadi ‘penyegar suasana’ utama sepanjang durasi. Terakhir, penampilan Cher mungkin tak begitu punya andil penting dalam perkembangan plot, tapi aura kebintangannya harus diakui semakin menyemarakkan pilihan jajaran cast yang sudah luar biasa sejak awal dan penampilannya membawakan nomor Fernando dan Super Trouper sudah lebih dari cukup dijadikan alasan untuk menyambut kehadirannya di franchise ini.
Sementara porsi plot Sophie ternyata juga tak sekedar ajang reuni yang hangat. Namun justru yang terpenting adalah menyambung (baca: mengestafet) perkembangan karakter Sophie menjadi sekuat dan sebijak Donna dalam berbagai pengambilan keputusan, terutama antara hubungannya dengan Sky dan bisnis hotel yang menjadi memori atas mendiang sang ibu. Kemudian dikonklusi dengan sebuah adegan imajiner estafet keibuan dari Donna ke Sophie yang luar biasa hangat dan menyentuh. 
Lantas relevankah membuat plot Sophie dan Donna muda secara paralel? Menurut saya, sangat. Saya harus mengakui ini merupakan salah satu penggunaan parelel plot terbaik. Plot Donna muda menjadi semacam refleksi sekaligus perziarahan perjalanan perkembangan karakternya bagi Sophie sebagai seorang wanita, istri, sekaligus calon ibu. Di tangan Parker mungkin pengadeganannya tak semagis MM! pertama, apalagi ketika mengawali kisahnya, tapi seiring dengan berjalannya durasi, adegan demi adegan, termasuk perpindahan antar plot dengan setting berbeda, mengalir semakin mulus. Begitu juga pilihan-pilihan lagu ABBA yang kian relevan dengan kebutuhan adegan. Sekaligus membuktikan bahwa ABBA punya varian lagu dengan berbagai tema yang relevan untuk berbagai momen kehidupan manusia. Sementara untuk adegan-adegan musikal, tak perlu meragukan sinergi antara camerawork Robert D. Yeoman yang tangkas mengikuti spirit tiap lagu dengan framing yang sinematik dan editing Peter Lambert yang semakin mempertajam kedinamisan tiap adegan. 
Munculnya sekuel biasanya diiringi maraknya pertanyaan: mana yang lebih baik. Well untuk kasus MM!, saya tak bisa memilih salah satunya. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri. Adegan-adegan MM! pertama begitu magis di balik kesederhanaannya, dengan pilihan lagu yang ikonik dengan visualisasinya meski tak selalu punya relevansi yang kuat dengan kebutuhan adegan. MM!2  bisa dibilang memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada di MM! pertama tapi secara keseluruhan belum bisa mengungguli semua kemagisannya. Namun MM!2 mampu melengkapi berbagai kebutuhan dari MM! pertama yang mungkin bagi banyak penonton tidak sadar sebenarnya membutuhkannya. Jika Anda tak menemukannya demikian tapi menyukai MM! pertama, setidaknya jadikan saja ini sebagai ajang reuni yang sama menyenangkannya dengan berbagai elemen positif franchise MM!. 
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.