The Jose Flash Review
22 Menit

Ada alasan mengapa tak banyak kejadian tragis nyata di Indonesia diangkat ke layar lebar. Selain alasan budget yang otomatis melambung seiring dengan pembangunan set yang tak main-main, juga faktor sensitivitas terhadap korban dan kontroversi kebenaran yang seringkali belum tuntas hingga jangka waktu yang lama. Nia Dinata lewat bendera Kalyana Shira Film pernah mencoba mengangkat berbagai sisi Bom Bali 2002 lewat Long Road to Heaven (Makna di Balik Tragedi), atau terakhir ada Di Balik 98 produksi MNC Pictures yang menghadirkan potongan-potongan cerita kemanusiaan lewat karakter-karakter fiktif dari Tragedi 1998. Buttonijo yang selama ini dikenal sebagai distributor film-film alternatif di non-bioskop tahun 2018 ini mencoba mengangkat tragedi Bom Thamrin 2016 silam sebagai proyek jalur teatrikal pertama mereka. Menggandeng sutradara video musik yang sudah menelurkan film layar lebar Cita-Citaku Setinggi Tanah (2012) dan Naura & Genk Juara the Movie (2017), Eugene Panji, bersama Myrna Paramita yang menandai debut penyutradaraan layar lebar pertamanya, film yang diberi tajuk 22 Menit (22M) ini bisa dikatakan cukup ambisius. Menutup lokasi asli kejadian yang mana merupakan jalan utama terpadat di Jakarta selama beberapa akhir pekan untuk keperluan syuting sehingga mengakibatkan kemacetan parah di sekitarnya merupakan salah satu tanda keseriusan penggarapan. Riset dan keterlibatan Polri dalam proses produksi juga menjadi alasan mengapa 22M tak bisa diremehkan begitu saja.

22M mengangkat detik-detik menjelang ledakan bom yang mengejutkan di sekitar Jalan MH. Thamrin hingga 22 menit, waktu yang diperlukan polisi untuk meringkus tersangka, dari beberapa sudut pandang karakter fiktif; Ardi, anggota polisi unit antiteorisme yang masih sempat mengantar putrinya ke sekolah sesaat sebelum ledakan, Firman, seorang polisi lalu lintas yang sedang bertugas tak jauh dari titik kejadian dan kebetulan sedang galau tentang kelanjutan hubungannya dengan sang kekasih karena akan dipindah-tugaskan ke wilayah lain, Anas, seorang office boy yang berniat membantu sang kakak, Hasan, mencari kerja di kota setelah usaha sablonnya gulung tikar, dan Dessy, pengendara mobil yang sedang buru-buru menghadiri meeting tapi justru tertahan di dekat lokasi kejadian karena ditilang oleh Firman. Sesaat setelah ledakan dari dalam kedai kopi yang disusul ledakan di pos polisi dan penembakan, satuan anti terorisme yang salah satunya adalah Ardi, segera mengambil tindakan pengamanan.
Menghadirkan beberapa karakter sebagai sudut pandang cerita, pun juga lewat struktur plot a la interwoven bak Vantage Point, 22M berpotensi menjadi sebuah kesatuan cerita yang utuh. Baik dari segi pengembangan karakter masing-masing karakter yang ditonjolkan dalam korelasinya dengan kejadian utama maupun detail tragedi itu sendiri. Sayangnya, pemanfaatan gaya bertutur yang unik ini tak dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mencapai tujuan tersebut. Bahkan masing-masing segmen sudah terdiri dari berbagai kejadian dari sudut pandang yang berbeda-beda beberapa karakter sekaligus. Lantas apa manfaat dan tujuan dari penggunaan konsep interwoven?
Pengembangan masing-masing karakter sentral, seperti Ardi, Firman, dan Dessy pun tak mendapatkan pengembangan yang berarti hingga mampu mengundang emotional impact yang cukup bagi penonton, selain sekedar atas dasar kemanusiaan secara umum. Bagi saya pribadi hanya ‘nasib’ karakter Anas yang berhasil menggerakkan saya secara emosi. Itupun tanpa tindak lanjut terhadap karakter yang berhubungan secara langsung, Hasan, yang cukup berarti pula. 
Sementara dari sisi detail tragedi, 22M bahkan tak memberikan informasi yang jelas tentang siapa saja, latar belakang, maupun alasan melakukan tindakan aksi terorisme tersebut. Jika alasannya untuk menjaga fokus terhadap aksi polisi menumpas pelaku dan sisi kemanusiaan, lantas untuk apa ada aftermath berupa penggerebekan terhadap jaringan di berbagai wilayah? Alhasil, adegan-adegan aftermath ini justru menimbulkan tanda tanya besar bagi penonton, terutama yang tak memahami kejadian aslinya. Seharusnya setidaknya dijelaskan sedikit tentang detail pelaku jaringan terorisme, berikut rencana aksi jaringan di berbagai wilayah sehingga penonton mendapatkan sedikit gambaran untuk bisa memahami secara nalar dan bersimpati. Jika ingin menjaga identitas pelaku aslinya, sebenarnya bisa saja difiktifkan. Setidaknya penonton bisa memahami alasan aksi terorisme yang ditampilkan atau sekedar membuat penonton semakin terlarut dalam keseruan aksi penumpasan yang dihadirkan lewat detail yang lebih. 
Namun bukan berarti 22M tak punya daya tarik sama sekali. Terutama sekali yang dapat dengan mudah dirasakan adalah penanganan Eugene Panji dan Myrna Paramita dalam membangun intensitas detik-detik sebelum ledakan dan adegan-adegan aksi penumpasan. Entah lebih kepada pengaruh Eugene atau Paramita, untuk adegan aksi 22M berhasil menghadirkan ketegangan dan keseruan tersendiri secara cukup maksimal. Keberhasilan mengundang simpati penonton meski hanya sebatas kemanusiaan secara umum (bukan karakter secara personal) juga berkat sensitivitas humanis yang dihadirkan Eugene sebagaimana di karya-karya sebelumnya. Tentu saja masih ditambah ilustrasi musik Andi Rianto yang begitu menggugah. Memperkuat nuansa teror di detik-detik menegangkan, pun juga menghanyutkan momen-momen emosionalnya. Sinematografi Aga Wahyudi dan Jimmy Fajar cukup efektif menyampaikan ketegangan dan emosional dengan jelas serta camera work yang tepat. Sementara editing Aline Jusria yang meski tujuan penggunaan konsep interwoven patut dipertanyakan, tapi setidaknya berhasil membangun intensitas lewat timing dan penjagaan pace yang tergolong tepat. Terakhir, efek visual, desain suara, dan mixing suara juga menjadi pendukung teknis yang tergarap baik.
22M memang punya potensi-potensi besar yang sempat ditawarkan sejak awal film tapi sayangnya tak dikembangkan secara layak hingga konklusi, sehingga potensi impact yang menjanjikan harus menguap begitu saja seiring durasi yang ‘hanya’ 71 menit. Namun setidaknya kelebihan di sektor pembangunan intensitas, aksi, dan sensitivitas kemanusiaan yang masih mampu menggerakkan, membuatnya layak untuk disaksikan dan dialami di layar lebar dengan spesifikasi audio-visual yang baik.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.