3D
4/5
4DX
Action
Adventure
Animation
Blockbuster
Box Office
Comedy
Family
Fantasy
Franchise
Hollywood
Oscar 2019
Pop-Corn Movie
sequel
Superheroes
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Incredibles 2
Di
antara semua animasi produksi Pixar yang dikenal selalu unik dan eksepsional, The
Incredibles (2004) bagi saya pribadi termasuk salah satu yang masuk
golongan tidak terlalu berkesan. Bukan berarti buruk, tapi kurang memberikan
impresi lebih dalam jangka panjang bagi benak saya. Kisah keluarga superhero
dengan setting tak terdefinisikan tapi sangat kuat terasa gaya ’60-an-nya.
Namun sebagaimana kebanyakan animasi produksi Pixar, The Incredibles
sukses secara penghasilan box office, yaitu sebesar US$ 633 juta di seluruh
dunia. Setelah daftar antrian produksi yang sangat panjang (rentang waktu
sekuel terpanjang dalam sejarah Pixar, yaitu 14 tahun. Mengalahkan Finding
Dory yang punya rentang waktu selama 13 tahun dari Finding Nemo), ia
akhirnya mendapatkan giliran sekuel yang diberi tajuk Incredibles 2
(I2). Brad Bird kembali menyutradarai sekaligus menuliskan naskahnya, beserta
jajaran pengisi suara utamanya; Craig T. Nelson, Holly Hunter, Sarah Vowell,
dan Samuel L. Jackson.
Upaya
keluarga Parr dan Frozone ketika menghentikan perampokan yang dilakukan oleh
oknum yang menamakan diri Underminer berakhir dengan kehancuran di berbagai
lokasi. Akibatnya program pemerintah Super Relocation ditutup dan aksi
superhero dianggap ilegal. Di saat bimbang harus melanjutkan hidup ke arah
mana, Bob dan Helen Parr mendapatkan undangan dari bos telekomunikasi, Winston
Deavor dari DEVTECH. Winston ingin membuktikan bahwa dunia masih perlu
superhero dan harus segera dilegalkan lagi. Maka diam-diam ia mengembangkan
teknologi untuk digunakan oleh para superhero yang ia kumpulkan. Helen Parr
terpilih untuk menjadi proyek percontohan. Segala aksi yang ia lakukan akan
direkam dan disiarkan untuk umum sehingga publik menyadari pentingnya ada
superhero. Meski muncul rasa iri kenapa hanya Helen yang dipilih, Bob memilih
untuk mengalah dan menjadi bapak rumah tangga bagi Violet, Dash, dan Jack Jack.
Sementara Bob kelabakan mengurus berbagai kebutuhan anak-anaknya yang
berbeda-beda, Helen tak menyangka akan dijebak oleh Underminer yang menggunakan
hipnotis dalam beraksi dan menyembunyikan identitasnya.
Sebagaimana Finding Dory, meski
berjarak belasan tahun tapi I2 mengambil setting waktu tak lama setelah film
pertamanya. Namun ternyata I2 menawarkan pengembangan konsep dan isu yang cukup
banyak dan jauh dari materi aslinya. Masing-masing konsep dan isu memang bukan
sesuatu yang baru di film, tapi masih sangat relevan dengan tema family
superheroes-nya. Mulai tentang women empowerment yang memang sedang menjadi isu
favorit Hollywood (secara lebih spesifik lagi, Disney), parenting, hingga
pro-kontra eksistensi tindakan vigilante (secara khusus, superhero). Kesemuanya
terangkai dengan padu dan berkorelasi secara relevan satu sama lain, tanpa
kesan tumpeng-tindih yang cukup berarti. Harus diakui ini merupakan upaya
upgrade yang menjadikan I2 jauh lebih menarik di balik gelaran aksi dengan
energi yang seasyik, sedinamis, dan tergarap dengan porsi yang pas, kurang
lebih setara dengan The Incredibles.
Begitu pula gelaran komedi yang lebih banyak terselip lewat celetukan-celetukan
dialog dan plesetan-plesetan trivia, serta tingkah laku Jack-Jack yang bisa
dipahami secara lebih universal. Tak ketinggalan sedikit twist yang lagi-lagi
bukan hal baru tapi cukup mengejutkan lewat manipulasi yang bisa dianggap
berhasil tanpa terkesan coming out of nowhere.
Brad
Bird jelas tahu betul bagaimana membangun adegan-adegan aksi yang dinamis tapi
tidak terkesan kelewat chaotic. Dengan bangunan universe yang terlihat lebih
kompleks, detail, dan cantik dengan konsep era ’50-an (terutama desain tata kota dan berbagai interior yang
futuristik tapi masih kental gaya retro-nya), sinematografi Mahyar Abousaeedi (The Good Dinosaur tapi berpengalaman
sebagai layout artist di Ratatouille,
Up, Toy Story 3, dan Cars 2)
mampus mengeksplorasi kesemuanya dengan maksimal sehingga tampak megah di layar
bioskop. Editing Stephen Schaffer pun menjaga pace dan keseimbangan porsi tiap
konsepnya dengan sangat baik sehingga plot mengalir dengan nyaman dan lancar.
Tak terkesan terburu-buru meski adegan-adegan aksinya punya dinamika yang seru.
Skor musik Michael Giacchino yang terasa sangat orchestral jazz ’50-an bak film-film klasik James Bond
terdengar semakin kental dan variatif dalam mendukung tiap kebutuhan adegan,
termasuk theme song masing-masing karakter yang dikumandangkan di credit title.
Para
voice talent masih terdengar konsisten dalam kembali mengisi peran
masing-masing. Terutama Craig T. Nelson sebagai Bob Parr, Holly Hunter sebagai
Helen Parr, Sarah Vowell sebagai Violet, Samuel L. Jackson sebagai Frozone. Huck
Milner melanjutkan suara Spencer Fox dengan cukup mulus sebagai Dash. Sementara
penambahan suara Catherine Keener sebagai Evelyn Deavor menghadirkan daya tarik
khas tersendiri Di lini berikutnya ada pula Bob Odenkirk sebagai Winston
Deavor, Sophia Bush sebagai Voyd, dan John Ratzenberger sebagai Underminer yang
sedikit memberi warna di balik porsi yang sebenarnya tergolong terbatas.
Berbagai
upaya menambah porsi di hampir tiap elemen, baik dari segi penceritaan maupun teknis,
I2 terasa semenghibur film pertamanya tapi dengan gabungan intrik yang lebih
menarik. Menjadikannya punya daya kesan yang jauh lebih kuat daripada
installment pertamanya. Aman bagi penonton cilik, tapi tetap seru untuk
dinikmati mulai anak-anak hingga penonton dewasa.
N.B.:
Sebagaimana film-film animasi Disney, jangan sampai terlambat masuk teater
untuk turut menyaksikan animasi pendek yang kali ini menghadirkan Bao yang mengangkat tema psikologis
berlatar sosio-kultural etnis Asia di lingkungan Amerika Serikat dengan
visualisasi yang sederhana tapi emotionally impactful. Simply one of the best
Disney’s pre-short animated
features.