The Jose Flash Review
Incredibles 2


Di antara semua animasi produksi Pixar yang dikenal selalu unik dan eksepsional, The Incredibles (2004) bagi saya pribadi termasuk salah satu yang masuk golongan tidak terlalu berkesan. Bukan berarti buruk, tapi kurang memberikan impresi lebih dalam jangka panjang bagi benak saya. Kisah keluarga superhero dengan setting tak terdefinisikan tapi sangat kuat terasa gaya 60-an-nya. Namun sebagaimana kebanyakan animasi produksi Pixar, The Incredibles sukses secara penghasilan box office, yaitu sebesar US$ 633 juta di seluruh dunia. Setelah daftar antrian produksi yang sangat panjang (rentang waktu sekuel terpanjang dalam sejarah Pixar, yaitu 14 tahun. Mengalahkan Finding Dory yang punya rentang waktu selama 13 tahun dari Finding Nemo), ia akhirnya mendapatkan giliran sekuel yang diberi tajuk Incredibles 2 (I2). Brad Bird kembali menyutradarai sekaligus menuliskan naskahnya, beserta jajaran pengisi suara utamanya; Craig T. Nelson, Holly Hunter, Sarah Vowell, dan Samuel L. Jackson.

Upaya keluarga Parr dan Frozone ketika menghentikan perampokan yang dilakukan oleh oknum yang menamakan diri Underminer berakhir dengan kehancuran di berbagai lokasi. Akibatnya program pemerintah Super Relocation ditutup dan aksi superhero dianggap ilegal. Di saat bimbang harus melanjutkan hidup ke arah mana, Bob dan Helen Parr mendapatkan undangan dari bos telekomunikasi, Winston Deavor dari DEVTECH. Winston ingin membuktikan bahwa dunia masih perlu superhero dan harus segera dilegalkan lagi. Maka diam-diam ia mengembangkan teknologi untuk digunakan oleh para superhero yang ia kumpulkan. Helen Parr terpilih untuk menjadi proyek percontohan. Segala aksi yang ia lakukan akan direkam dan disiarkan untuk umum sehingga publik menyadari pentingnya ada superhero. Meski muncul rasa iri kenapa hanya Helen yang dipilih, Bob memilih untuk mengalah dan menjadi bapak rumah tangga bagi Violet, Dash, dan Jack Jack. Sementara Bob kelabakan mengurus berbagai kebutuhan anak-anaknya yang berbeda-beda, Helen tak menyangka akan dijebak oleh Underminer yang menggunakan hipnotis dalam beraksi dan menyembunyikan identitasnya.
Sebagaimana Finding Dory, meski berjarak belasan tahun tapi I2 mengambil setting waktu tak lama setelah film pertamanya. Namun ternyata I2 menawarkan pengembangan konsep dan isu yang cukup banyak dan jauh dari materi aslinya. Masing-masing konsep dan isu memang bukan sesuatu yang baru di film, tapi masih sangat relevan dengan tema family superheroes-nya. Mulai tentang women empowerment yang memang sedang menjadi isu favorit Hollywood (secara lebih spesifik lagi, Disney), parenting, hingga pro-kontra eksistensi tindakan vigilante (secara khusus, superhero). Kesemuanya terangkai dengan padu dan berkorelasi secara relevan satu sama lain, tanpa kesan tumpeng-tindih yang cukup berarti. Harus diakui ini merupakan upaya upgrade yang menjadikan I2 jauh lebih menarik di balik gelaran aksi dengan energi yang seasyik, sedinamis, dan tergarap dengan porsi yang pas, kurang lebih setara dengan The Incredibles. Begitu pula gelaran komedi yang lebih banyak terselip lewat celetukan-celetukan dialog dan plesetan-plesetan trivia, serta tingkah laku Jack-Jack yang bisa dipahami secara lebih universal. Tak ketinggalan sedikit twist yang lagi-lagi bukan hal baru tapi cukup mengejutkan lewat manipulasi yang bisa dianggap berhasil tanpa terkesan coming out of nowhere.
Brad Bird jelas tahu betul bagaimana membangun adegan-adegan aksi yang dinamis tapi tidak terkesan kelewat chaotic. Dengan bangunan universe yang terlihat lebih kompleks, detail, dan cantik dengan konsep era 50-an (terutama desain tata kota dan berbagai interior yang futuristik tapi masih kental gaya retro-nya), sinematografi Mahyar Abousaeedi (The Good Dinosaur tapi berpengalaman sebagai layout artist di Ratatouille, Up, Toy Story 3, dan Cars 2) mampus mengeksplorasi kesemuanya dengan maksimal sehingga tampak megah di layar bioskop. Editing Stephen Schaffer pun menjaga pace dan keseimbangan porsi tiap konsepnya dengan sangat baik sehingga plot mengalir dengan nyaman dan lancar. Tak terkesan terburu-buru meski adegan-adegan aksinya punya dinamika yang seru. Skor musik Michael Giacchino yang terasa sangat orchestral jazz 50-an bak film-film klasik James Bond terdengar semakin kental dan variatif dalam mendukung tiap kebutuhan adegan, termasuk theme song masing-masing karakter yang dikumandangkan di credit title.
Para voice talent masih terdengar konsisten dalam kembali mengisi peran masing-masing. Terutama Craig T. Nelson sebagai Bob Parr, Holly Hunter sebagai Helen Parr, Sarah Vowell sebagai Violet, Samuel L. Jackson sebagai Frozone. Huck Milner melanjutkan suara Spencer Fox dengan cukup mulus sebagai Dash. Sementara penambahan suara Catherine Keener sebagai Evelyn Deavor menghadirkan daya tarik khas tersendiri Di lini berikutnya ada pula Bob Odenkirk sebagai Winston Deavor, Sophia Bush sebagai Voyd, dan John Ratzenberger sebagai Underminer yang sedikit memberi warna di balik porsi yang sebenarnya tergolong terbatas.
Berbagai upaya menambah porsi di hampir tiap elemen, baik dari segi penceritaan maupun teknis, I2 terasa semenghibur film pertamanya tapi dengan gabungan intrik yang lebih menarik. Menjadikannya punya daya kesan yang jauh lebih kuat daripada installment pertamanya. Aman bagi penonton cilik, tapi tetap seru untuk dinikmati mulai anak-anak hingga penonton dewasa.
N.B.: Sebagaimana film-film animasi Disney, jangan sampai terlambat masuk teater untuk turut menyaksikan animasi pendek yang kali ini menghadirkan Bao yang mengangkat tema psikologis berlatar sosio-kultural etnis Asia di lingkungan Amerika Serikat dengan visualisasi yang sederhana tapi emotionally impactful. Simply one of the best Disneys pre-short animated features.
Lihat data film ini di IMDb.


91st Academy Awards nominees for:

  • Best Animated Feature Film
Diberdayakan oleh Blogger.