The Jose Flash Review
Dimsum Martabak

Upaya Raffi Ahmad untuk memproduseri film layar lebar terus melaju meski proyek pertama yang kelewat ambisius, Rafathar, termasuk flop (setidaknya membandingkan angka penghasilan dengan budget yang diumumkan). Proyek kedua, film horor berjudul The Secret: Suster Ngesot Urban Legend, mendapatkan sambutan yang  jauh lebih baik dengan perolehan 639.553 penonton. Proyek ketiga menjadi menarik karena menawarkan debut akting dari biduan dangdut fenomenal, Ayu Ting Ting, setelah sebelumnya sempat berhembus gosip miring kedekatan Ayu dengan Raffi. Ayu dipasangkan dengan Boy William yang juga makin melejit setelah merambah sebagai YouTuber. Alim Sudio (Surga yang Tak Dirindukan, Jilbab Traveler, Chrisye) ditunjuk untuk menyusun naskahnya sementara Andreas Sullivan (Nenek Siam, Sawadikap, dan Revan & Reina) dipercaya untuk duduk di bangku penyutradaraan. Namun bagaimana pun daya tarik utama film drama komedi romantis bertajuk Dimsum Martabak (DM) ini jelas terletak pada Ayu Ting Ting yang punya jutaan penggemar fanatik berjuluk Ayutinglicious (atau balajaer, tergantung dari sudut mana).

Mona adalah sosok karyawati sebuah restoran dimsum yang cerdas, pekerja keras, dan bersahabat dengan karyawan yang lain. Tak heran jika ia menjadi karyawati kesayangan sang bos, Koh Ah Yong. Itu juga yang menjadi bumerang bagi Mona. Istri Koh Ah Yong memfitnah dan memecat Mona. Padahal Mona sangat membutuhkan uang untuk membiayai kuliah adiknya, Lisa, dan pengobatan sang ibu yang kondisi kejiwaannya agak terganggu setelah kematian sang ayah. Takdir mempertemukan Mona dengan Soga, pemuda yang sedang merintis usaha martabak menggunakan food truck. Mona membuat manajemen usaha Soga menjadi tertata dan otomatis usahanya pun semakin maju. Benih-benih asmara turut tumbuh di antara mereka berdua. Di saat semua pihak mendukung hubungan mereka, rahasia Soga yang ternyata anak konglomerat membuat Mona takut untuk melangkah lebih lanjut. 
Dari premise-nya, bisa ditebak DM bermain-main di ranah cinderella story atau di Indonesia lebih dikenal dengan ‘mimpi babu’. Namun di luar dugaan, paruh awal DM dibumbui dengan komedi yang segar dan cukup menggelitik. Terkesan receh bagi kalangan tertentu tapi tetap berhasil memancing tawa. Tak hanya berkat naskah Alim Sudio yang menyusun pergerakan plot secara dinamis dan humor-humor yang menyatu baik di dalamnya, tapi juga penanganan Andreas Sullivan yang cukup berhasil mengeksekusi tiap comedic moment. Menjadikan DM sajian yang masih menghibur dan enjoyable di balik tema yang sudah kelewat familiar. 
Sayang kenikmatan mengikuti gelaran plotnya terganggu ketika tone film mendadak berbalik 180 derajat jadi kelewat tenggelam dalam melodrama ‘mimpi babu’ (lebih persisnya sejak mobil Rolls Royce muncul di layar). Arah plot pun semakin kehilangan kendali. Sebenarnya tak masalah jika hanya sekedar klise jika masih ditangani dengan enjoyable. Namun yang terjadi pada DM adalah penanganan paruh kedua yang terlalu berusaha menghadirkan nuansa sedih yang menghanyutkan tapi gagal karena terlalu lama hanya menghadirkan visualisasi-visualisasi bak video musik lagu sendu. Konfliknya pun menurut saya patut dipertanyakan. Kenapa gadis seenerjik dan sepercaya diri Mona bisa putus asa dengan hubungan asmaranya begitu saja ketika sebenarnya tak ada halangan yang cukup berarti. Keluarga Soga memang terlihat kaget dengan pilihan Soga, tapi tak secara terang-terangan menentang hubungan mereka. Mereka hanya memberikan gambaran realistis kondisi keluarga mereka dan kemungkinan-kemungkinan ke depannya. Jika begitu saja Mona memilih mundur, maka masalah sebenarnya ada pada diri Mona sendiri; insekuritas atau minder. Sebuah pilihan turnover yang menurut saya sangat disayangkan. Ketika ia masih punya potensi besar menjadi drama komedi romantis yang klise tapi enjoyable dan manis, harus diruntuhkan begitu saja pada paruh kedua. 
Di luar arah pada paruh ke dua film, para cast setidaknya masih tampil layak. Bahkan sebagai debut pengisi peran utama, Ayu Ting Ting membuktikan diri punya kharisma sekaligus daya tarik yang lebih dari cukup. Aura kebintangannya begitu terpancar tak hanya karena faktor tampilan fisik yang memang cantik, tapi juga kenaturalan dalam berakting. Chemistry yang dibangun bersama Boy William pun cukup meyakinkan. Sementara penampilan pendukung seperti Chew Kin Wah, Muhadkly Acho, Ferry Salim, Olga Lydia, Lena Magdalena, Denira Wiraguna, hingga Meriam Bellina meski membawakan peran tipikal tapi masing-masing masih tampil baik sesuai kebutuhan. 
Divisi-divisi teknis pun sebenarnya tergarap dengan layak. Mulai sinematografi dan pergerakan kamera Fachmi J Saad yang setidaknya memberi rasa sedikit lebih sinematik pada materi yang sebenarnya serba FTV. Begitu juga editing Ryan Purwoko dan Wildan M. Cahyo A. yang masih mampu menjaga kedinamisan pace dan comedic timing yang cukup jitu sehingga berhasil menggelitik syaraf tawa penonton. Musik dari Andhika Triyadi mungkin tak terdengar istimewa, apalagi di tengah-tengah gelaran lagu-lagu open-source yang terdengar medioker, tapi setidaknya masih mampu menjalankan fungsinya sebagai pemberi feel lebih ke dalam adegan-adegan.
Dengan beberapa kejutan manis terutama sebagai komedi, DM sebenarnya masih sangat layak untuk dinikmati range penonton yang luas. Apalagi didukung teknis yang juga masih sangat layak. Klise memang, tapi jelas masih punya penikmat ataupun audiens-nya tersendiri. Setidaknya berasal dari fanbase Ayu Ting Ting yang jumlahnya memang banyak. Jika Anda merasa bukan target audience utama tersebut, setidaknya humor-humor di paruh awal masih bisa jadi sajian menghibur di kala Anda tidak tertarik dengan pilihan-pilihan film lain yang sedang tayang.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.
Diberdayakan oleh Blogger.