The Jose Flash Review
Along with the Gods: The Two Worlds
[신과 함께]

Belum lama ini kita diajak mengalami apa yang terjadi setelah kematian dari kacamata kebudayaan Meksiko oleh Disney-Pixar lewat film animasi, Coco. Kini sinema Korea Selatan pun tak mau kalah mengajak audience-nya ‘mengalami’ akhirat menurut ajaran Budhist yang mempercayai adanya banyak penghakiman akhir yang harus dilalui tiap individu ketika meninggal dunia sesuai amal perbuatannya selama hidup. Dengan kemasan petualangan yang mengandalkan kualitas visual effect dan CGI sebagai keunggulan utamanya, Along with the Gods: The Two Worlds (AwtG) yang diangkat dari webtoon populer berjudul sama ini dipercayakan di tangan Kim Yong-hwa (200 Pounds Beauty dan Mr. Go) dan memasang nama-nama bintang papan atas Korea Selatan, mulai Ha Jung-woo (The Berlin File, Kundo: Age of the Rampant, Assassination, The Handmaiden), Cha Tae-hyun (My Sassy Girl, Hello Ghost), Ju Ji-hun (K-drama Princess Hours), serta Kim Hyang-gi (A Werewolf Boy).

Dengan dukungan-dukungan yang tergolong serba spektakuler, tak heran jika AwtG sampai memecahkan rekor box office di Korea Selatan dengan mengumpulkan lebih dari 10 juta penonton dalam tempo waktu 15 hari penyangannya. Tak perlu menunggu terlalu lama, Feat Pictures membawa film Korea Selatan fenomenal ini untuk bisa dinikmati di bioskop-bioskop Indonesia mulai 5 Januari 2018.

Hidup Ja-hong, seorang petugas pemadam kebakaran yang dikenal sangat berdidikasi pada pekerjaannya, harus berakhir setelah aksi heroiknya menyelamatkan gadis cilik dari kebakaran sebuah gedung pemukiman. Kangrim, Haewonmaek, dan Dukchoon ditugaskan untuk mendampingi Ja-hong selama menjalani serangkaian penghakiman dosa-dosa di akhirat. Berkat status ‘suri tauladan’ yang disandang oleh Ja-hong, ketiganya merasa ini bukanlah tugas yang berat dan Ja-hong bisa segera bereinkarnasi. Mereka bertiga pun bisa turut segera bereinkarnasi setelah kuota menyelamatkan jiwa sudah hampir terpenuhi. Ternyata mereka salah. Ja-hong bukanlah sosok ‘suri tauladan’ seperti yang dibayangkan. Ia menyimpan rahasia masa lalu yang harus dipertanggung-jawabkan di akhirat. Belum lagi ditambah masalah keluarga yang belum selesai yang semakin menghambat perjalanan Ja-hong di akhirat. Ketiganya harus memutar otak untuk menyelesaikan berbagai halangan Ja-hong di akhirat dan bisa segera bereinkarnasi.

Sebagaimana Coco, AwtG juga termasuk berhasil memvisualisasikan budaya/kepercayaan tradisional secara imajinatif. Dengan kualitas CGI ambisius yang memanjakan indera penglihatan, ia mempresentasikan petualangan yang ditata dengan pace dinamis dengan dukungan sinematografi Kim Byung-seo, editing Kim Jino serta Kim Hye-jin, sekaligus score Bang Jun-suk yang megah dan bercita rasa ‘blockbuster’ menjadikannya terasa begitu seru (itulah sebabnya format 4DX menjanjikan efek tambahan yang makin dahsyat).

Secara susunan plot, sempat muncul kekhawatiran bahwa tiap penghakiman akan semakin terjerumus dalam kebosanan atau kelelahan. Nyatanya, naskah berhasil menyusun rahasia demi rahasia sehingga penonton justru dibuat semakin penasaran dan menebak-nebak akan misteri masa lalu karakter Ja-hong. Di sisi lain juga turut membuat penonton secara otomatis berefleksi terhadap hidup selama ini. Jika bahkan seorang suri-tauladan macam Ja-hong saja ternyata mendapatkan penghakiman yang tidak terduga, bagaimana dengan kita yang mungkin selama ini belum menjadi sosok individu yang tergolong baik? Bagi saya pribadi, kemunculan adegan penghakiman demi penghakiman membuat saya mengingat-ingat kembali apakah saya pernah melakukan kesalahan atau dosa demikian selama ini. Tak hanya itu, pemahaman yang lebih mendalam dan seimbang terhadap suatu kasus ketimbang sekedar menampilkan penghakiman terakhir yang kaku dan serba hitam-putih sebagaimana gambaran akhirat yang sering digambarkan dalam konteks relijius pada umumnya yang hanya berniat menakut-nakuti, membuatnya jadi terasa lebih intelek dalam mengajak berefleksi. Ini menjadikan tema reliji yang menjadi hakekat dasarnya punya impact yang begitu kuat tanpa harus dibuat menggurui atau menakut-nakuti sebagaimana kebanyakan film-film bertemakan reliji.

Masuknya sub-plot tentang misteri pembunuhan yang diletakkan di sekitar transisi paruh film awalnya membuat saya merasa dibuat-buat dan sebagai keputusan yang tidak perlu yang hanya akan mengganggu kesolidan plot utamanya. Sampai menjelang klimaks dan konklusi kesan ini masih terasa dalam benak saya, tapi ternyata ia sudah mempersiapkannya untuk mencapai klimaks bertemakan keluarga yang sebagaimana kebanyakan sinema Korea Selatan, berpotensi menyentuh sisi-sisi sensitif emosi penonton. Di situlah letak keistimewaan AwtG. Memadukan tema reliji dengan kemasan petualangan imajinatif tapi tetap punya impact reflektif yang kuat, investigasi misteri, serta drama keluarga yang emosional, menjadikannya satu kemasan hiburan khas Korea Selatan yang komplit dan memberikan kesan tersendiri.

Penampilan para aktor terutama di lini-lini terdepan pun memperkuat berbagai emosi yang berusaha disuguhkan film. Mulai kharisma Ha Jung-woo sebagai Kangrim yang tak perlu diragukan lagi, Ju Ji-hun yang menampilkan kesegaran komedi dengan takaran yang pas tanpa mengganggu emosi utama sebagai Haewonmaek, hingga Cha Tae-hyun sebagai Ja-hong, Kim Dong-wook sebagai Su-hong, maupun Ye Song-jung sebagai ibu Ja-Hong yang meluluhkan hati penonton.

Tak hanya menawarkan pengalaman audio-visual yang memanjakan, AwtG juga pengalaman spiritual dan emosi yang sama kuatnya. Dengan berbagai keunggulan yang spektakuler, tak berlebihan rasanya jika saya menobatkannya sebagai sajian sinema Korea Selatan yang wajib untuk dialami di layar lebar dengan fasilitas audio-visual yang mumpuni. Jangan lupa juga untuk menantikan bagian kedua dari film ini yang dikerjakan secara back-to-back dengan film pertama dan direncanakan tayang musim panas tahun 2018 ini juga.

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.