3/5
Blockbuster
Box Office
Franchise
Hollywood
Horror
Mystery
Pop-Corn Movie
Psychological
The Jose Flash Review
Thriller
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Insidious: The Last Key
Insidious bisa jadi bukti yang paling valid bahwa film horor murah bisa menghasilkan pendapatan box office yang luar biasa besar. Dimulai tahun 2011 sebagai film horor indie berbudget ‘hanya’ US$ 1.5 juta tapi berhasil meraup US$ 97 juta lebih di seluruh dunia, ia segera berkembang menjadi franchise dengan penghasilan yang kian meningkat. Insidious: Chapter 2 yang dirilis tahun 2013 meraup US$ 161.9 juta dari budget US$ 5 juta saja dan Insidious: Chapter 3 pada tahun 2015 masih mampu mengumpulkan US$ 113 juta di seluruh dunia dari budget sekitar US$ 10 juta. Tak perlu waktu lama untuk terus melanjutkan franchise ini sebagaimana The Conjuring yang juga sama-sama menjadi pemimpin pasar franchise horor berbudget rendah di era 2010-an ini. Insidious: The Last Key (ITLK) yang awalnya direncanakan rilis pada Oktober 2017 harus menerima kemunduran perilisan 5 Januari 2018 yang termasuk masa-masa sepi persaingan. Entah strategi apa yang dilancarkan, tapi terbukti sekali lagi ITLK sukses besar memimpin box office di berbagai negara, termasuk Indonesia yang notabene penggemar berat horor. Naskah ITLK masih disusun oleh Leigh Whannell sementara bangku sutradara dipercayakan kepada Adam Robitel yang pernah cukup memukau pecinta horor lewat The Taking of Deborah Logan dan menuyusun naskah Paranormal Activity: The Ghost Dimension. Karakter ikonik Elise Rainier kembali diperankan oleh Lin Shaye, begitu pula dengan kedua ‘anak buahnya’, Specs yang diperankan Leigh Whannell sendiri dan Tucker yang masih diisi oleh Angus Sampson.
Elise mendapatkan telepon dari seseorang bernama Ted Garza yang melaporkan kejadian supranatural di rumahnya di Five Keys, New Mexico. Elise kaget karena rumah tersebut adalah rumah masa kecil Elise yang menyimpan tragedi mengerikan. Setelah mempertimbangkan, Elise merasa perlu untuk berdamai dengan masa lalunya di rumah tersebut. Bersama Tucker dan Specs, mereka mulai melakukan investigasi. Tak hanya dengan dirinya sendiri, Elise juga kembali dipertemukan dengan adik kandungnya, Christian, yang ternyata memiliki dua putri cantik, Melissa dan Imogen, dimana Imogen ternyata punya kelebihan yang sama dengan Elise.
Franchise Insidious punya cukup banyak kekhasan yang dinanti-natikan oleh para penggemarnya. Bahkan di Insidious: Chapter 3 yang secara plot sebenarnya terlepas cukup jauh dari kedua seri pertama, masih punya benang merah atmosfer dan feel horror yang khas tersebut. Namun agaknya ITLK mencoba untuk sedikit lebih ‘jauh’ lagi dari predesesor-predesesornya. Menggali lebih dalam karakter Elise Rainier secara personal, mulai asal mula pergulatan batinnya sebagai kaum indigo hingga proses berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu, ITLK mencoba upaya pengembangan plot yang sebenarnya cukup menarik. Apalagi penyematan metafora kejahatan (evil) secara umum dalam diri manusia sebagai representasi sosok yang lebih patut ditakuti daripada sekedar penampakan entitas semata. Sayang, kesemuanya dikemas dalam sajian horor medioker yang terasa sangat jauh dibandingkan berbagai kekhasan di installment-installment sebelumnya. Arahan Robitel di banyak kesempatan mungkin masih membuat momen-momen thriller-nya cukup mendebarkan jantung penonton, tapi secara keseluruhan struktural, grafik tensi yang berusaha dihadirkan terkesan beritme acak. Begitu pula musical score dari Joseph Bishara yang biasanya berhasil membuat bulu kuduk merinding (terutama lewat suara-suara stringing yang berkesan vintage horror) kali ini harus absen, digantikan oleh score-score horror medioker yang sama sekali tak meninggalkan kesan secara istimewa.
Lin Shaye masih menampilkan performa yang stabil sebagai Elise Rainier. Pengembangan karakter yang diberikan mungkin kali ini memang lebih banyak, tapi harus diakui tergolong pengembangan yang generik sehingga tak cukup untuk membuat performanya jadi lebih menarik lagi. ‘Kick-ass’ Lin Shaye seperti yang pernah kita lihat di Insidious: Chapter 3 tak lagi ditampilkan di sini. Sedikit lebih banyak humor dipersembahkan oleh Angus Sampson dan Leigh Whannell sebagai Tucker dan Specs. Porsinya cukup seimbang sehingga tidak sampai mengganggu menu utamanya sebagai sebuah sajian horor. Kehadiran dua karakter baru yang berparas menarik, Caitlin Gerard sebagai Melissa dan Caitlin Gerard sebagai Imogen, memberikan warna tersendiri yang bisa jadi dipersiapkan untuk melanjutkan tongkat estafet di seri berikutnya (jika memang masih ingin dilanjutkan lagi).
Di balik struktur horor yang terkesan ‘acak’, sinematografi Toby Oliver yang memang belum tergolong inventif tapi sebenarnya cukup berhasil menyajikan jumpscare berikut tipuan-tipuannya secara efektif. Editing Timothy Alverson seharusnya bisa membuat konsep keseluruhannya lebih rapi untuk diikuti terutama dari segi bangunan thriller-nya dan pace laju film, tapi setidaknya masih bisa menjaga rasa penasaran penonton terhadap misteri-misteri yang diusungnya hingga akhir film.
Secara keseluruhan ITLK menawarkan pengembangan franchise yang cukup menarik dari segi plot. Sayang eksekusi kemasannya sudah terlampau jauh dari elemen-elemen yang sudah menjadi ikon franchise Insidious. Menjadikannya kehilangan identitas sebagai franchise Insidious terutama dari segi ‘feel’, selain dari karakter sentral, Elise Rainier, Tucker, dan Specs yang menjadi benang merahnya. Memang bukan upaya yang buruk (meski harus diakui dibandingkan installment-installment sebelumnya, ini adalah yang terlemah), tapi ITLK juga bukan installment yang mengesankan. Sekedar sebagai instant entertainment untuk seru-seruan bersama teman-teman yang sama-sama menikmati pengalaman nonton film horor bersama, kenapa tidak?
Lihat data film ini di IMDb.