The Jose Flash Review
Darkest Hour

Ada alasan mengapa Sir Winston Churchill menjadi salah satu tokoh dunia paling penting di era Perang Dunia II. Selain menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris yang kontroversi pada masanya, beliau juga yang membawa Inggris memenangkan Perang Dunia II melawan NAZI Jerman. Jika pertengahan 2017 lalu kita disuguhi kisah penyelamatan tentara Sekutu bersandi Operation Dynamo di film karya Christopher Nolan, Dunkirk, maka kali ini penonton diajak mengenal tokoh yang bertanggung jawab di balik operasi penyelamatan tersebut. Diperankan oleh salah satu aktor paling versatile tapi jarang mendapatkan rekoknisi yang layak, Gary Oldman, kisah Sir Winston Churchill versi Joe Wright (Pride & Prejudice, Atonement, The Soloist, Hanna, Anna Karenina, Pan) ini disusun oleh penulis naskah Anthony McCarten (The Theory of Everything). Lily James, Kristin Scott Thomas, dan Ben Mandelsohn turut mendukung performa prima Oldman yang baru saja diganjar piala Golden Globe pertamanya lewat film bertajuk Darkest Hour (DH) ini.


Partai Buruh oposisi di parlemen Inggris meminta Perdana Menteri Inggris kala itu, Neville Chamberlain, mengundurkan diri karena dianggap terlalu lemah dalam melindungi keamanan nasional. Usulan Chamberlain yang mengajukan Lord Halifax sebagai penggantinya ditolak oleh Halifax sendiri yang merasa belum siap.  Maka pilihan satu-satunya jatuh kepada Winston Churchill yang mendapatkan dukungan dari partai-partai lainnya. 
Di awal pemerintahannya, Churchill masih meraba-raba dan kerap gamang terhadap keputusan yang harus diambilnya mengingat kondisi genting Inggris di tengah invasi NAZI Jerman di sebagian besar wilayah Eropa. Di saat semua pihak, termasuk negara-negara Sekutu, menginginkan negosiasi diplomatik mencapai perdamaian, Churchill percaya bahwa perlawanan terhadap musuh haruslah lewat jalan kekerasan karena ia tak percaya terhadap Adolf Hitler. Belum lagi keputusan untuk menjalankan Operasi Dynamo untuk menjemput ratusan ribu pasukan Inggris yang melawan saran dari Kabinet Perang. Siapa yang sangka ternyata justru keteguhannya dalam memimpin justru mencatatkan sosoknya sebagai salah satu ‘pahlawan’ penting dan terbesar di era Perang Dunia II.
Membuat sebuah biopik untuk memperkenalkan sekaligus mendekatkan sosok karakter utama kepada penonton bukanlah pekerjaan yang mudah. Salah satunya adalah keputusan pemilihan periode waktu yang diangkat untuk merepresentasikan sosok sang tokoh. Maka pemilihan periode waktu yang dilakukan DH (bahkan judulnya sudah merepresentasikan rentang periode paling krusial tersebut) memang sangatlah tepat. Tak hanya menjaga fokus plot cerita, tapi juga terbukti lebih dari cukup untuk merepresentasikan kiprah sekaligus kepribadian Sir Winston Churchill. Mungkin tak selalu membuat penonton bersimpati terhadap sosoknya, tapi justru di situlah kemanusiawian sang tokoh terjaga dan jauh dari kesan sekedar glorifikasi ataupun mengarah ke hagiografi. Selain performance Gary Oldman yang sangat luar biasa dalam merendisi sosok Churchill, kepiawaian Wright dalam membangun nuansa adegan-adegan penting sehingga memberikan kesan yang kuat juga menjadi kekuatan DH tersendiri (lihat bagaimana adegan Churchill duduk bersama penduduk sipil di dalam gerbong kereta api bawah tanah dan berdiskusi bersama mereka!). Oldman dengan mimik wajah, gestur tubuh, aksen, hingga gestur bicara yang nyaris tak lagi dikenali sebagai sosok Gary Oldman sendiri. Truly an exceptional level of real person’s rendition. Dialog-dialog satir McCarten yang ‘keras’, cerdas, sekaligus menggelitik menambah daya tarik sosok Churchill dan membuat nuansa film tak kelewat serius.
Kharisma Oldman yang begitu gemilang mempresentasikan sosok Churchill mungkin membuat performa aktor-aktris pendukung lainnya seolah kalah bersinar. Namun jika mau memperhatikan secara khusus, performa-performa pendukung ini termasuk bermain baik sesuai porsi peran masing-masing, terutama Kristin Scott Thomas sebagai Clementine, Lily James sebagai Elizabeth  Layton, dan Ben Mendelsohn sebagai King George VI yang terasa paling menonjol.
Teknis DH sangat mendukung konsep serta style penceritaan. Lihat saja bagaimana sinematografi Bruno Delbonnel bergerak elegan tapi juga bisa impactful ketika dibutuhkan, begitu juga pilihan-pilihan shot yang efektif dalam bercerita. Editing Valerio Bonelli mampu menjaga porsi maupun pace laju plot secara pas. Tak terlalu lambat sehingga tak sampai jatuh membosankan, tapi juga tak terlalu cepat sehingga penonton masih punya ruang untuk mencerna pengembangan plot dan mengenal karakter-karakter historis yang sebenarnya cukup banyak. Begitu juga musik score Dario Marianelli yang begitu elegan sebagaimana desain produksi Sarah Greenwood, tapi masih menyisakan rasa ‘witty’, mendebarkan, bahkan emosional ketika dibutuhkan. 
Di antara film-film biopik lainnya, DH bisa menjadi salah satu contoh bentuk yang efektif dalam menyampaikan informasi terutama lewat pemilihan rentang periode yang paling mewakili dan penulisan karakter yang padat dan detail tapi tetap mampu menghibur. Seringan dan se-fun King’s Speech tapi memuat begitu banyak informasi sejarah yang penting untuk diketahui selain tentu saja pengenalan sosok Winston Churchill yang manusiawi tapi tetap dengan penghormatan penuh. Tak berlebihan jika saya menyebutnya sebagai salah satu film biopik terbaik yang pernah dibuat.
Lihat data film ini di IMDb.

The 90th Academy Awards Nominee for:

  • Best Achievement in Make-up and Hairstyling
  • Best Motion Picture of the Year
  • Best Performance by an Actor in a Leading Role - Gary Oldman
  • Best Achievement in Cinematography - Bruno Delbonnel
  • Best Achievement in Costume Design - Jacqueline Durran
  • Best Achievement in Production Design - Sarah Greenwood & Katie Spencer
Diberdayakan oleh Blogger.