The Jose Movie Review
Cinta dari Wamena


Overview

Akhir Mei 2013 lalu mendadak muncul trailer sepanjang 10 menit dari film bertajuk Cinta dari Wamena (CdW), tanpa publikasi lain yang besar dan jelas. Hanya ada tiga nama terkenal di baliknya; Lasja Susatyo (yang sebelumnya sukses baik sebagai penulis naskah maupun sutradara untuk film-film nasional seperti Mika, Bukan Bintang Biasa The Movie, Dunia Mereka, Langit Biru, Lovely Luna, serta masing-masing sebuah segmen di Kita vs Korupsi dan Perempuan Punya Cerita) dan Nicholas Saputra serta Susan Bachtiar di barisan aktor pendukungnya.

Dari trailer yang durasinya kelewat panjang tersebut sebenarnya jelas sudah seperti apa gambaran cerita CdW. Kita pun bisa dengan mudah mengetahui bahwa ini merupakan proyek PSA (public service announcement) yang didanai oleh AusAID dan the Ford Foundation serta didukung oleh Pemprov Jayapura. Jelas sudah bakal seperti apa hasilnya: cerita klise tentang penderita HIV dengan aneka pesan-pesan prentesiusnya dan tentu saja mengeksploitasi keindahan alam Papua (terutama Wamena dan Jayapura) untuk tujuan promosi wisata. Tak ada yang salah dengan kedua hal tersebut, namun yang lebih penting adalah bagaimana membuatnya sehingga menarik minat penonton.

Untunglah hal pertama yang saya tuliskan di paragraf sebelumnya tidak sepenuhnya benar. Ia memang masih mengusung cara yang sama dengan sebelum-sebelumnya dalam menyampaikan pesan-pesan terutama berkaitan dengan HIV. Namun tema kampanye penanggulangan HIV ini ternyata hanyalah satu sub-plot kecil dari konsep cerita besar CdW. Garis besarnya adalah sebuah persahabatan antara ketiga anak Jayawijaya yang pindah ke Wamena demi pendidikan dan masa depan yang lebih baik; Litius, Martha, dan Tembi. Bagaimana perbedaan keadaan sosial di lingkungan yang baru menantang mereka bertiga, baik dalam persahabatan maupun menggapai masa depan. Sebenarnya ini adalah jalinan cerita yang menarik jika ditata dengan baik dan terfokus. Sayangnya, CdW di mata saya mengambil range cerita yang terlalu luas sehingga terasa kebingungan hendak menitik beratkan ke arah mana. Belum lagi penataan adegan yang dicampur aduk timeline-nya dan ditambah sub-plot Daniel dan Maya yang terkesan tidak penting dan hanya dipasang untuk menambah nilai jual film untuk pasar nasional. Tak hanya terasa kacau balau secara alur, namun juga menjemukan.

Berbagai pengulangan dialog terjadi yang semakin membuat kesal penonton dan cukup membuang-buang durasi. Untung saja (sekali lagi), ending yang disiapkan tidak klise dengan menghadirkan adegan-adegan yang mengeskploitasi kesedihan, dan bagi saya cukup memuaskan. Jauh dari kesan menggurui, apalagi seperti ditunggangi berbagai kepentingan politis.

Semua kekurangan yang ada sebenarnya dapat saya maklumi jika penulisan naskah, penyutradaraan, dan pemeran pendukung dilakukan oleh anak-anak Papua asli yang masih belajar dan menimba pengalaman di dunia film. Namun nama Lasja Susatyo di bangku penyutradaraan dan Sinar Ayu Massie (penulis naskah 3 Hari untuk Selamanya dan Kita vs Korupsi) di bangku penulis naskah yang bisa dikatakan punya pengalaman yang cukup banyak, membuat saya mengernyitkan dahi ketika melihat hasil jadinya. Sungguh, it could have been much better in many aspects. Bahkan trailer 10 menit-nya sebenarnya sudah cukup efektif menyampaikan keseluruhan durasi film yang mencapai satu setengah jam.

The Casts

Ketiga karakter utama yang diperankan oleh talent-talent dari Papua asli; Maximus Itlay (Litius), Madonna Marrey (Martha), dan Benyamin Lagowan (Tembi) termasuk bermain bagus untuk kategori debut. Kadang masih canggung, sering juga fokus mata ke mana-mana, namun overall masih acceptable.

Scene stealer yang menonjol dari kesemua cast dan berpadu indah dengan alam Jayapura adalah Amyra Jessica, pemeran Endah. Kecantikan eksotis dan aktingnya yang paling wajar patut mendapat kredit lebih.

Terakhir, meski tak punya kaitan yang cukup relevan dengan plot utama dan terasa hanya sebagai penambah nilai jual film di pasar nasional, penampilan Nicholas Saputra dan Susan Bachtiar sebenarnya cukup menarik. Apalagi Nico yang juga menyumbangkan suaranya di panggung acara musik di salah satu adegan.

Technical

Panorama alam Papua, khususnya Wamena dan Jayapura terekam dengan sempurna oleh kamera Red One yang digunakan. Detail warna dan kedalaman dimensi tampak luar biasa indah. Pemilihan kostum yang didominasi warna-warna vibrant, seperti orange, shocking pink, dan light cyan, mempertegas kekontrasan warna yang tinggi sepanjang durasi.

Score dari Aghi Narottama dan Bemby Gusti tak perlu diragukan lagi. Nuansa etnik Papua dipadu harmonis dengan musik-musik pop seperti reggae dan R&B. Belum lagi sumbangan band Indonesia yang sudah go international, White Shoes and the Couples Company, dengan single Matahari yang “Papua banget”. Sayang tata suara dan music yang sudah tertata baik ini dikacaukan oleh editing yang terasa kasar dan gagal menyatukan adegan-adegannya menjadi kesatuan yang enak dinikmati.

The Essence

Persahabatan sejati akan lolos berbagai lolos ujian kehidupan; cita-cita dan kondisi sosial.

They who will enjoy this the most

  • General audiences yang tidak keberatan dengan tema sosial yang klise
  • Penikmat keindahan alam panoramic

Lihat situs resmi film ini.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id
Diberdayakan oleh Blogger.