3.5/5
Based on Book
Comedy
Drama
Indonesia
Personality
Romance
The Jose Movie Review
Vintage
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Madre
Overview
Setelah Perahu Kertas 1-2 dan RectoVerso, inilah karya tulis Dewi Lestari
yang diangkat ke layar lebar. Kali ini bukanlah dari sebuah novel panjang
maupun novelete yang diangkat menjadi omnibus, tetapi sebuah novelete yang
diangkat menjadi satu cerita film
panjang. Saya sendiri sudah membaca versi novelete-nya dan sangat jatuh cinta
pada ceritanya. Sampai-sampai saya sudah punya proyeksi sendiri seperti apa
jika kelak dibuat filmnya. Doa saya pun terkabul. Tak butuh waktu lama
menantikan Madre diangkat ke layar lebar.
Sebagai pembaca
sekaligus pecinta bukunya, ekspektasi yang cukup tinggi wajar hinggap dalam
benak saya. Bahkan ketika trailernya keluar, kekhawatiran saya justru semakin
besar. Banyak hal yang tak sesuai dengan bayangan saya. Baiklah, mari
menurunkan ekspektasi dan enjoy the movie, as if I have never read the book.
Secara garis
besar, tak banyak perbedaan yang dilakukan Benni Setiawan selaku sutradara
sekaligus penulis naskahnya. Secara nafas sama persis. Mungkin ada penambahan
terutama porsi unsur romance antara karakter utamanya, Tansen dan Meilan. Bisa
dimaklumi dengan alasan daya tarik penonton yang lebih luas. Saya pun tak ada
masalah selama memperkaya ceritanya. Namun persoalan sebenarnya bukan di situ. Sebagai
sebuah adaptasi, terasa sekali Benni Setiawan menuliskan naskah yang
mentah-mentah dari materi aslinya.
Pada dasarnya,
Madre adalah cerita tentang pilihan
hidup yang dikemas dalam dunia bakery. Dunia yang diangkat dengan amat sangat
menarik, lebih menarik ketimbang esensi utamanya. Bayangkan cerita seluk-beluk
dunia bakery lengkap dengan unsur adonan biang (tonton film atau baca bukunya
jika penasaran apa itu adonan biang). Mungkin Benni cukup berhasil
memvisualisasikan aura vintage dan kenikmatan roti klasik dengan sangat indah,
namun dalam hal mengikat premise dunia bakery dengan esensi pilihan hidup dan
juga unsur romance-nya masih jauh dari berhasil. Alhasil ketiganya menjadi
unsur yang berdiri sendiri-sendiri, alih-alih menjadi kesatuan yang solid. Berbeda
ketika membaca versi novelet dimana saya dapat dengan mudah menangkap esensi
pilihan hidupnya sembari membayangkan kenikmatan roti Tan de Baker. Kedominan
kisah romance turut menenggelamkan esensi pilihan hidup yang menjadi terkesan tempelan
saja. Sayang sekali.
Timing
menjadi nilai minus lain dari Madre. Terutama
sekali di awal hingga pertengahan, pace terkesan terlalu cepat dan
terburu-buru. Kurang enak untuk dinikmati. Menjelang akhir pace-nya menjadi
pas. Sayang, di bagian paling akhir (menjelang credit) timing yang kedodoran
kembali terjadi yang menjadikannya terasa kasar dan kurang rapi.
Selain dari
itu, Madre masih menjadi tontonan
hiburan yang menarik. Penambahan humor-humor cukup berhasil menyegarkan suasana
berkat pemilihan aktor-aktris yang pas. Romance yang terjalin antara
Tansen-Meilan pun terjalin dengan wajar dan manis.
The Casts
Vino G.
Bastian masih menjadi diri sendiri, tak beda dengan peran-peran yang pernah dimainkan
sebelumnya. Tak buruk memang. Mungkin gambaran karakter Tansen sendiri sedikit
banyak mirip dengan Vino. Namun karena saya sudah sering melihat aktingnya,
penampilan di sini pun menjadi tak terlalu istimewa. Guyonan-guyonan yang
berusaha dilontarkannya banyak yang berhasil namun tak jarang pula gagal dan
berubah menjadi garing. Laura Basuki pun tak beda jauh dengan pembawaan
peran-peran tipikal sebelumnya.
Pemberi
nafas utama di sini justru penampilan Didi Petet dan Titi Qadarsih. Keduanya
memberikan kesegaran yang paling kuat sepanjang film berkat permainan aksen
Sunda dan Belanda serta gestur. Sayang sekali karakter-karakter pendukung yang
bekerja di Tan de Baker tidak diisi oleh aktor-aktris yang sama uniknya.
Seandainya saja, misalnya Mpok Nori atai Mpok Atik turut mengisi lini ini, Madre akan menjadi jauh lebih
menyegarkan.
Technical
Nuansa
vintage divisualisasikan dengan sempurna oleh tim artistik. Interior toko Tan
de Baker serta eksterior pedestrian tersusun dengan sangat indah. Kesemuanya
tertangkap dengan begitu estetis dan sinematik oleh tata kameranya.
Score dan
soundtrack ala le français turut
pula membangun nuansa klasik dengan apik. Sayang pemilihan lagu tema Jodoh Pasti Bertemu dari Afgan
menjatuhkan nuansa klasiknya menjadi ala sinetron atau FTV.
The Essence
Selalu ada
suatu kejadian tak terduga yang menghadapkan kita pada pilihan yang dapat mengubah
hidup secara drastis dan membawa keseimbangan.
They who will enjoy this the most
- Romance enthusiasts
- Culinary lovers, especially bakery
- General audiences