Overview
Upi bisa
dibilang mewakili film Indonesia generasi populer yang gaya film-filmnya “rock
n’ roll”. Bukan sekedar “rock n’ roll” sebagai genre musik, namun style cerita
dan desain produksi film-filmnya. Sebut saja Realita, Cinta, dan Rock n’ Roll, Radit dan Jani, dan Serigala
Terakhir. Selain itu ada pula 30 Hari
Mencari Cinta, Red Cobex, Coklat Stroberi, dan Oh Tidak! yang juga mendapat respon yang
baik di pasaran. Kali ini ia mencoba genre yang berbeda dari biasanya meski
digarap dengan style desain produksi khas Upi.
Belenggu merupakan film thriller
psikologis bergaya noir yang membangun ceritanya ala Pintu Terlarang. Awalnya cerita bergulir seperti biasa, dimana
karakter utama mengalami kebingungan dengan yang terjadi pada dirinya. Oke,
awalnya memang sangat standard terutama bagi penggemar film sejenis. Hingga
lapis pertama dikupas pun masih tergolong klise. Dialog-dialog yang disebar
juga tergolong standard dan tidak secerdas Pintu
Terlarang, misalnya. Hanya simbol-simbol semiotika yang cukup menarik untuk
dicermati dan dianalisis. Alur “tenang” dan terkesan “datar” di awal rupanya dimanfaatkan
untuk menghipnotis penonton ke nuansa creepy yang lantas dibawa ke babak
berikutnya dimana alurnya dipompa sedikit lebih cepat.
Agak terganggu di adegan interogasi pasca lapiasn pertama terkupas yang terkesan pengulangan meski pada subjek yang berbeda. Mungkin akan terasa lebih praktis dan nyaman diikuti jika diedit lebih dinamis. Subjek-subjek yang diinterogasi ditampilkan bergantian, misalnya. Tak hanya sampai di situ saja, ternyata Upi masih punya lapisan
berikutnya yang patut diacungi jempol dari segi kreativitas mengembangkan
premise yang sudah sering diangkat tersebut. So if in the middle you think
you’ve already known the whole story, you’re just being a smart-ass. The next
and the final layer was the best part of the story.
Harus
diakui, skrip yang ditulisnya sendiri kali ini tersusun dengan rapi, mudah
diikuti bahkan oleh penonton yang belum terbiasa diajak berpikir ketika
menonton film, dan jika diruntut keseluruhan termasuk detail. Memang,
kompensasinya seperempat bagian terakhir film menjadi terasa terlalu mendikte
penonton, terlebih bagi yang terbiasa mencerna dan berpikir ketika menonton serta mendiskusikannya seusai film berakhir. But like it or not, we have to
admit, kebanyakan penonton Indonesia adalah tipe yang lebih suka didikte serta
dijelaskan satu persatu. Jadi menurut saya ini adalah hal yang bijak dilakukan
untuk menjaring penonton yang lebih banyak. Toh bagi saya sebenarnya tidak
begitu mengganggu karena Upi menyajikannya dengan visualisasi yang indah. So,
just enjoy the thrill from start to finish. Don’t complain, don’t be a
smartass, don’t distract yourself by anything, such as cellphones. Let yourself
hypnotized and led to the final part of the story. It’s satisfying and very
enjoyable to me!
The Casts
Abimana
Aryasatya tampil sedikit berbeda dari tipikal perannya selama ini, terutama
sejak debutnya di Catatan Harian Si Boy.
Kesan datar di awal hingga pertengahan memang tampak “aneh” namun ia berhasil
memainkan adegan puncak dengan luar biasa. Membuat saya terhentak sekaligus
bersimpati pada karakternya. Imelda Therinne yang kita kenal sebagai Maya di Rumah Dara sekali lagi menampilkan peran
misteriusnya yang seksi. Jenis seksi yang berbeda dengan Maya, namun tetap
memancarkan kharisma keseksian yang kurang lebih sama.
Di lini
pemeran pendukung, Laudya Cynthia Bella, Verdi Solaiman, Arswendi Nasution, Rifnu
Wikana, hingga Bella Espearance bermain baik sesuai porsinya yang memang tak
begitu menonjol. Sementara Jajang C. Noer dengan logat Jawa-nya dan gadis cilik
Avrilla berhasil mencuri perhatian penonton meski perannya tak begitu banyak.
Technical
Tak perlu
meragukan desain produksi untuk film-film garapan Upi yang fashionable. Mulai
kostum, tata rias, desain setting lokasi, semuanya digarap dengan indah, detail
bak noir Eropa. Persetan dengan anggapan orang yang mencibir karya-karyanya
sangat tidak Indonesia dan sok kebarat-baratan. Tak ada yang salah dengan gaya
seperti itu. Di sisi lain, bukannya banyak penonton Indonesia memang lebih suka
gaya barat tersebut? Toh, ini adalah sebuah cerita fiksi yang tidak perlu
keakuratan kewajaran budaya atau setting lokasi. Kalau semua terpatok pada budaya
tradisional dan lokal, matilah kreativitas. Jangan harap ada budaya populer
tumbuh dari negeri ini.
Sinematografi dan penggunaan aspect ratio 1.85:1 menambah poin plus dalam menghadirkan pengalaman sinematik ala noir. Sayang untuk dilewatkan begitu saja di layar bioskop.
Sinematografi dan penggunaan aspect ratio 1.85:1 menambah poin plus dalam menghadirkan pengalaman sinematik ala noir. Sayang untuk dilewatkan begitu saja di layar bioskop.
Namun kali
ini, Upi tak melupakan budaya asli Indonesia sebagai elemen yang cukup penting
bagi film : tembang Jawa! Hayo siapa yang ketawa ketika tembang Jawa
didendangkan di bioskop? Katanya mau yang ada unsur budaya Indonesia-nya? Kok
malah ditertawakan? :D
Sound effect
cukup dahsyat mengalir dari tiap kanal dan pemanfaatan efek surround sangat
maksimal. Sementara score yang digubah oleh Aksan Sjuman dan sang mantan istri,
Titi Rajo Bintang (di credit masih Titi Sjuman :D) memainkan peranan yang
penting dalam membangun nuansa creepy dan thrillernya.
The Essence
Jiwa yang
rapuh dan labil sangat mudah dipengaruhi. So beware!
They who will enjoy this the most
- Suspense thriller lovers
- Penonton yang suka dibawa ke atmosferik creepy dan menegangkan
- Audiences who enjoy riddles
- Gore fans