Overview
Sebelumnya, saya sempat
menyampaikan ekpektasi akan Taken 2
(T2) yang mempunyai sutradara baru, Olivier Megaton (sebelumnya pernah
menyutradarai Transporter 3). Dengan track
record Megaton, saya tentu berharap ia membawa franchise Taken ini dengan gaya yang lebih dinamis tanpa meninggalkan ciri
khas kebrutalan serta intelijensia karakter Bryan Mills yang sudah cukup remarkable.
Ekspektasi tersebut pun harus segera saya lupakan ketika mulai banyak review negatif
tentang installment kedua ini. But I still have a little curiosity to watch
this one.
Mari abaikan plot yang memang
seolah mengulang installment pertama. Saya harus mengakui walau ide balas
dendam terdengar klise, namun menjadikan Bryan sendiri dan istrinya yang
diculik kali ini adalah variasi plot yang cukup menarik untuk digali. Di satu
titik ada kalanya plot seolah tidak tahu harus berkembang ke arah mana lagi dan
mulai ngaco, namun Megaton masih berhasil membuat adegan kejar-kejaran yang
cukup menegangkan. Meski pada akhirnya saya menyadari bahwa skill para penjahat
yang ada di sini sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan villain di
predesesornya (apalagi dibandingkan Mills). Modalnya hanya nekad karena dendam.
Megaton memang tidak terlalu banyak
membawa perubahan yang berarti seperti yang saya harapkan di T2. Kedinamisan
adegan-adegan aksinya masih sama dengan installment sebelumnya. Pun,
kebrutalannya pun terasa lebih soft-core. Mungkin saja versi yang kita tonton
di bioskop sekarang ini adalah versi PG-13 yang sudah di-“lembutkan” di
mana-mana, sama seperti ketika installment pertama yang terasa sekali perbedaan
feel antara versi theatrical dan extended cut-nya. Well, apapun alasannya, semua
adegan aksi yang tersaji di layar tidak berhasil memberikan greget yang sama
seperti ketika saya menyaksikan versi extended cut installment pertama. Tidak
hanya kurang greget, kebodohan dan ketidak-masuk-akalan pun terjadi di banyak
bagian tapi kesemuanya masih bisa saya maklumi. Toh ini memang film action
thriller murni dimana faktor ke-masuk-akal-an menjadi prioritas kesekian. Yang
penting berhasil membuat penonton deg-degan ketika mengikutinya.
Di banyak bagian, T2 juga terasa
begitu diskriminatif meski tidak secara eksplisit menunjukkan dentitas salah
satu agama sebagai villain. Misalnya saja ketika wanita-wanita berburqa yang menatap Kim sedang
menyetir mobil dengan tatapn aneh. Belum lagi adegan sembarangan melempar
granat seolah-olah penduduk Turki sudah biasa mendengar ledakan. Sebagai negara
sekuler, Turki yang digambarkan di sini tentu berbeda dengan kenyataannya.
Entah mengapa T2 seolah mengarahkan Turki seperti negara-negara Arab Saudi
dengan berbagai atribut sosial-budayanya.
Lalu dengan plot yang biasa saja
(sama halnya dengan installment pertama) dan greget adegan-adegan aksi yang
menurun, apa yang tersisa? Ada satu bagian yang menurut saya sangat menarik dan
jarang (atau mungkin malah belum pernah) ditampilkan dalam film bergenre
spionase sebelumnya. Lihat bagaimana cara Bryan mengetahui kemana ia dan
istrinya akan dibawa dan bagaimana ia mengarahkan Kim untuk menemukan kedua
orang tuanya. That’s the most interesting part of the movie, in despite of its fact possibilities.
Anyway, T2 masih menghibur
sebagai sebuah film action thriller namun tentu masih di bawah predesesornya
dari berbagai segi dan dapat dengan mudah terlupakan dalam hitungan bulan.
The Casts
Liam Neeson masih mengusung kharisma
yang masih tetap sama sebagai Bryan Mills. Tentu dengan tambahan faktor intelijensia
ke dalam karakter, akan dengan mudah membuat penonton semakin kagum dengan
Bryan Mills. Famke Janssen masih dengan porsi yang sama ketika di Taken dan tidak ada perkembangan
karakter yang berarti. Sementara Maggie Grace diberikan porsi lebih yang
menjadikannya lebih tangguh. Bukan tidak mungkin jika nanti dibuat sekuel
berikutnya, karakter Kim menjadi side-kick Bryan yang lebih matang.
Sementara di jajaran para villain
sama sekali tidak ada yang menarik. Jangankan penampilan para aktornya, kharisma
karakter-karakternya saja sama sekali tidak ada yang membekas. Just random
villain with Albanian faces. We don’t even need to care what they are capable
of.
Technical
Tidak ada yang begitu menonjol di
sisi teknis. Tata kamera, editing, sound effect, dan score kurang lebih masih
sama dengan predesesornya. Kalaupun ada yang berbeda dan cukup menarik adalah
pemilihan Istanbul, Turki yang eksotis sebagai setting lokasinya.
The Essence
Seringkali kita mendengar (atau
malah mengalami sendiri) ada orang yang menuntut balas dendam kepada orang yang
pernah menyakiti dirinya dan/atau orang-orang yang dikasihinya. Terlepas dari
apa penyebab seseorang menyakitinya/orang-orang yang dikasihinya, emosional
manusia seringkali membutakan realita maupun moralitas. Yang penting, saya
tidak bisa lagi melihat kerabat saya yang sudah kamu bunuh. Jika hal ini terus-menerus
berlangsung tanpa ada pihak yang let go, maka ‘lingkaran setan’ ini tidak akan
pernah ada ujungnya. Dunia tidak akan pernah damai. So, I guess the true winner is
not the one who can get his/her revenge, but the one who can forgive and forget
of what’s happened to him/her. Toh semua orang juga pasti akan mati, bukan?
They who will enjoy this the most
- Fanboy Bryan Mills
- General audience who seek for an instant thrilling-action fun, even by ignoring any logic
Lihat The Jose Past Review - Taken (2008)