2/5
Based on an Urban Legend
Horror
Indonesia
The Jose Movie Review
Thriller
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review
Rumah Kentang
Overview
Jose Poernomo boleh saja mendadak
terkenal gegara film horor fenomenal yang sekaligus menjadi salah satu tonggak
sejarah perfilman Indonesia era 2000-an lewat Jelangkung. Di proyek-proyek berikutnya, sineas yang juga kerap
merangkap penulis skrip dan penata gambar ini masih dipercaya secara komersial
hingga menelurkan franchise Pulau Hantu.
Di tahun 2012, ia mencoba untuk kembali menghadirkan horor atmosferik yang
telah lama hilang tertutup tren horor komedi erotik. Dengan trailer kedua yang begitu
menjanjikan, penonton penikmat Jelangkung
tentu berharap mengalami hal serupa ketika menyaksikan Rumah Kentang (RK).
Di sini Jose memasukkan beberapa
referensi dari karya sebelumnya, misalnya boneka Jelangkung yang sama dengan di
Jelangkung, alunan piano seperti di Tusuk Jelangkung, dan sosok hantu anak yang mengingatkan saya akan Turah. Legenda rumah kentang
sendiri sebenernya juga sempat disinggung di film karya pertamanya itu. Oke,
menarik nih. Jose seperti mengindikasikan bahwa RK berada pada universe yang
sama dengan Jelangkung. Sayang, kali
ini Jose berpijak pada skrip yang ditulis dengan sangat-sangat buruk dalam
mewujudkan kerinduan penonton akan horor atmosferik khas-nya. Tak hanya plot haunted house yang sangat klise, mulai dari cerita yang sama sekali tidak berkembang, logika
cerita yang seringkali menggelikan, dialog yang hanya berputar-putar, bertele-tele dan penjelasan yang tidak penting seolah
penonton belum pernah menonton film horor sejenis sebelumnya (lebih parah lagi
dilafalkan oleh Shandy Aulia seperti tugas drama sekolah), hingga kontinuiti adegan
yang seringkali kacau, merusak
segala production value yang sudah tertata dengan rapi. Saking parah kualitas
skripnya, semua elemen horor yang biasanya berhasil di tangan Jose menjadi
tidak menarik lagi bagi saya. Semuanya terasa melelahkan dan “menyiksa”.
At some point, saya menahan diri
untuk tidak walk-out sebelum semuanya berakhir. Ada dalam diri saya yang masih
menaruh kepercayaan kepada seorang Jose Poernomo bahwa mungkin saja ada twist
cerita atau tampilan kejutan yang signatural disimpan di akhir film. Fantasi
saya sempat berkembang liar akan kemungkinan kejutan-kejutan yang mungkin telah
disiapkan Jose. Namun saya harus terima kenyataan bahwa tidak ada kejutan
apa-apa hingga tulisan “Sebuah film karya Jose Poernomo” muncul.
Tentu ekspektasi yang terbangun
dari reputasi Jose Poernomo dan trailer kedua sangat menjatuhkan efek hasil
akhirnya ke penonton. Sekedar usul, mungkin lebih menarik jika mengangkat kisah
the beginning dari legenda rumah kentang itu sendiri. Seperti The Ring Zero begitulah. Setidaknya saya
sudah punya fantasi sadis untuk adegan penggorengan. Hmmmm...
The Casts
Mungkin karena sudah lama tidak
bermain film layar lebar dan lebih sering bermain di sinetron Soraya yang
ditayangkan Indosiar, akting Shandy Aulia sama sekali tidak berkembang. Jika
Anda tidak menyukai aktingnya di Eiffel I’m
in Love atau Apa Artinya Cinta,
maka Anda juga tidak akan menemukan perbedaan kualitas akting pada peran Farah
di sini. Dengan dialog yang bertele-tele dan tidak penting, semakin memperparah
kualitas aktingnya. Kejutannya malah ada pada mantan penyanyi cilik Tasya
Kamila yang ternyata berakting dengan sangat baik di sini. Tanpa banyak dialog,
ia mampu mengekspresikan karakter Rika, adik Farah yang sedang tersiksa secara
psikologis. Sayang porsi perannya tidak banyak dan tidak begitu signifikan
dalam cerita.
Di deretan cameo seperti Daus OB,
Ki Kusumo, dan Dokter Sonia Wibisono tidak begitu menarik maupun memberikan
warna tersendiri dalam film. Malah Ki Kusumo bisa saja menyalahkan film ini
jika kelak usaha jasa paranormalnya mengalami penurunan pelanggan secara drastis.
Gilang Dargahari yang diberi peran lebih banyak pun sama-sama tidak
berkesannya. Mungkin hanya Rina Rose yang berhasil meniupkan sedikit “hiburan
segar” di tengah alur yang melelahkan.
Technical
Sama seperti sebelum-sebelumnya,
Jose selalu unggul dalam hal teknis, terutama fotografi (apalagi dibekali kamera digital Red yang banyak dipakai film-film Hollywood di era digital ini) dan desain produksi.
Ditambah sound effect yang begitu mantap terdengar dan penggunaan efek surround
yang cukup efektif, setidaknya production value RK masih sangat patut
diapresiasi.
Kekurangan lain yang turut memperburuk
kualitas RK selain skrip adalah editingnya, baik gambar maupun suara dialog. Jangankan
variasi editing yang kreatif, kontinuitas antar adegan yang kacau dan
pergantian angle yang kasar masih sering terjadi sepanjang film. Perubahan
volume dialog yang drastis pun beberapa kali terjadi. Terakhir, thrillng score-nya oke tetapi score dramanya terlalu berlebihan.
The Essence
Hmmmm... jika hanya mendapat
warisan rumah yang terkenal angker, mending tinggal bersama tante,
sanak-saudara, teman, atau mungkin pacar (yang kelihatannya kaya) daripada
memaksakan diri tinggal di dalamnya. Mau nunggu terjual juga sampai kapan? Oh
iya, kalau Farah memilih untuk tidak tinggal di Rumah Kentang, film ini juga
tidak mungkin ada dong ya?! Terus nanti Jose Poernomo dan krunya makan apa?
Kasihan tim artistiknya yang sudah capek-capek menata kentang-kentang di lantai
terus membereskannya lagi... #mulaingelantur
They who will enjoy this the most
- Orang yang belum pernah menonton film horor sebelumnya
- Penonton yang masih saja super penakut meski pernah menonton film sejenis