2.5/5
Drama
Indonesia
The Jose Movie Review
Thriller
The Jose Movie Review - The Witness
Skylar Pictures sejak awal
kemunculannya di tanah air sebenarnya memiliki premise-premise cerita yang
cukup menarik. Sayang kesemuanya tidak diimbangi dengan kemampuan menyampaikan
cerita dengan baik. Soal teknis pun
demikian, namun untungnya dari karya ke karya, Skylar mampu terus memperbaiki
kekurangan di lini teknis. Lihat saja peningkatan yang terjadi mulai Jinx, Tebus, Setan Facebook,
dan terakhir yang paling berhasil menjadi box office Indonesia, Surat Kecil untuk Tuhan. Kini dengan
filmografi seperti itu, sekali lagi Skylar mencoba membuat sedikit perkembangan
(setidaknya dari segi strategi pemasaran) melalui The Witness, yakni menggandeng PH Filipina sekaligus memasarkannya
juga di negeri tersebut terlebih dahulu agar penonton Indonesia ikut
berbondong-bondong menyaksikannya setelah mendapatkan respons yang positif di
Filipina. Skylar rupanya tahu betul bagaimana menyedot perhatian penonton
Indonesia.
Di atas kertas, premise The Witness sebenarnya sangat menarik
dengan penggabungan antara thriller dan drama-nya. Melihat adegan pembuka yang
sangat menjanjikan sebagai sebuah thriller, ekspektasi saya langsung naik. Wah,
keren juga nih Skylar, begitu pikir saya. Muhammad Yusuf berhasil membuat
adegan kejar-kejaran ala suspense thriller menjadi begitu mencekam berkat
kepiawaian kamera, timing, dan juga didukung kharisma Pierre Gruno yang sangat
kuat. Walau di bagian ini terdapat plot hole yang cukup mengganggu (berkaitan
dengan kondisi fisik Angel pasca pembantaian), saya rasa masih bisa tertutupi oleh
tampilan adegan keseluruhan.
Namun rupanya ekspektasi saya
dibuyarkan begitu saja ketika adegan tersebut berakhir dan berganti haluan menjadi “drama”. Bagian drama yang menurut saya
sangat melelahkan ini meliputi adegan Angel menangis dan berteriak, pengulangan
adegan pembantaian, serta adegan-adegan flashback yang menjelaskan pertanyaan
“why” melalui visualisasi buku diary. Semuanya sah-sah saja sebenarnya untuk
ditampilkan tapi alih-alih memberikan petunjuk dari teka-teki pembantaian, apa
yang disajikan di sini terlalu berlebihan, banyak yang diulang-ulang, dan terlalu
panjang. Misalnya adegan Angel yang menangisi keluarganya. Saya rasa tak perlu
menampilkan apa yang ditangisinya satu per satu. Lalu adegan “reka ulang”
pembantaian yang memperlihatkan eksekusi korban satu per satu dengan gerak
lambat. Ditambah rangkaian adegan flashback yang terlalu bertele-tele. Padahal
penonton sudah pasti bisa mengerti penjelasan “why” tersebut hanya dengan
separuh durasi bagian ini. Alhasil kesannya cerita tidak banyak berkembang
dalam tempo durasi yang cukup panjang. Sangat tidak efektif dan “menyiksa”
kesabaran serta intelijensia penonton. Selain itu jadi tidak jelas apa yang
sebenarnya ingin disampaikan oleh film. Andai saja dibuat dengan fokus ke
pemecahan teka-teki pembantaian, misalnya, mungkin The Witness akan terasa lebih menarik. Di sini Muhammad Yusuf
seolah-olah hanya bernaratif tanpa fokus yang jelas.
Setelah parade “penyiksaan”
dengan over-drama tersebut, untungnya The
Witness ditutup dengan baik berkat kembalinya genre thriller seperti adegan
pembukanya. Fiuh... well, setidaknya The
Witness berhasil memukau when it comes to the thriller part.
The Casts
Yang menarik perhatian saya
sepanjang film bukanlah sang pemeran utama, Gwen Zamora, melainkan Pierre
Gruno. Setelah perannya di The Raid
yang kurang begitu menarik, Pierre kali ini berhasil tampil all-out dan mencuri
perhatian saya. Dengan tampilan mirip Sir Sean Connery, kharismanya baik
sebagai pembunuh berdarah dingin, sebagai seorang ayah yang berwibawa, dan
sebagai musisi yang lovable patut diacungi jempol. Kesemuanya ia bawakan dengan
sangat baik dan sesuai porsinya.
Sementara Gwen Zamora yang
kebanyakan mendapat porsi untuk menangis dan berteriak... yah cukup baik lah.
Ada kalanya tangisnya berhasil mengundang simpatik dari saya, tapi di adegan
lain terasa seperti Manohara di sinetron self-titled-nya. Yang pasti she’s very
pretty.
Kimberly Rider yang menurut
saya mirip Arumi Bachsin dan Agung Saga cukup baik mengisi perannya walau
porsinya tak begitu banyak, padahal pada akhirnya menjadi pokok permasalahan
cerita. Terakhir, Feby Febiola dan Marcellino Lefrandt tampak hanya sebagai
pelengkap dan replaceable berkat naskah yang menyia-nyiakan potensi
karakter-karakter mereka. Saya yakin The
Witness bisa menjadi lebih menarik jika kedua karakter ini dilibatkan lebih
banyak ke dalam plot.
Technical
Tidak ada kendala sama sekali
dari segi sinematografi, pencahayaan, sound, dan score. Kesemuanya bersinergi
dengan sangat baik dalam membangun suasana thriller-nya. Bahkan ada satu adegan yang menurut saya keren banget, seperti adegan film Hollywood, baik secara tone warna, setting, angle, maupun sound : adegan pertarungan samurai di sebuah outdoor dojo. Samurai? Yes... saya masih membahas film The Witness koq. Adegan yang agak random sih sebenarnya tapi harus saya akui keren banget.
Yang sangat mengganggu saya adalah editing pergantian scene yang masih terasa kasar dan kurang nyambung. Tidak setiap perpindahan scene terasa enak menggunakan transisi fade out to black-fade in. Juga, teknik slow motion yang tampil terlalu banyak dan tidak pada tempatnya. Sehingga bukan efek dramatis yang didapat, malah menjengkelkan.
Yang sangat mengganggu saya adalah editing pergantian scene yang masih terasa kasar dan kurang nyambung. Tidak setiap perpindahan scene terasa enak menggunakan transisi fade out to black-fade in. Juga, teknik slow motion yang tampil terlalu banyak dan tidak pada tempatnya. Sehingga bukan efek dramatis yang didapat, malah menjengkelkan.
Satu hal yang patut saya puji
adalah penggunaan theme song Before I Die
yang sangat cocok baik dari segi melodi maupun lirik. Lagu yang
dibawakan oleh penyanyi Filipina Izzal Peterson ini sangat iconic, bahkan
mungkin saja melebihi filmnya sendiri.
The Essence
Terus terang saya bingung apa
yang harus disampaikan di segmen ini karena filmnya sendiri bingung menentukan
fokus mana yang ingin menjadi inti film. Apakah tentang kandasnya hubungan
cinta gara-gara waktu yang tersita oleh karir sementara pasangannya tergoda oleh kharisma orang
lain? Atau tentang bagaimana sebuah peristiwa tragis mempengaruhi kejiwaan
seseorang? Saya tidak mampu menarik kesimpulan karena kesemuanya ditampilkan
dengan sama tidak kuatnya. Semoga Muhammad Yusuf dan Skylar Pictures-nya
berkarya lebih baik lain kali.
Lihat situs resmi film ini.