
Overview
Another omnibus. Film Indonesia rupanya lagi gemar bikin omnibus nih. It’s okay selama konsepnya jelas dan unik plus penggarapan yang oke, sekalipun minim budget hasilnya pasti bagus. Itulah yang terjadi pada omnibus yang menghadirkan sepuluh cerita pendek dalam satu kesatuan film. Jumlah segmen yang tergolong di atas rata-rata omnibus kebanyakan ini sempat memunculkan keraguan saya akan kemaksimalan plot-plot yang diusung. Saya sempat kecewa dengan Cinta Setaman yang ternyata masih jauh di bawah harapan saya karena plotnya yang kurang mengena. Kekhawatiran akan menjadi seperti Cinta Setaman pun sempat terbersit di pikiran saya sebelum menonton. Tapi akhirnya saya memberanikan diri untuk menyaksikannya secara langsung.
Ternyata kekhawatiran saya tidak terbukti. Di luar dugaan, Sanubari Jakarta (SJ) mampu memberikan warna-warni yang indah dan berbeda di tiap segmennya. Baik itu dari segi gaya penceritaan, gaya visual, maupun genre. Namun keragaman tersebut terangkai menjadi satu kesatuan film yang utuh, saling melengkapi, dan indah. Actually, saya berani menilai bahwa SJ berhasil setara dengan Paris, je t'aime. Bagi anak komunikasi pasti senang sekali mendapatkan suguhan seperti ini karena ada beberapa yang menggunakan semiotika visual dalam bertutur, seperti segmen 1/2, Menunggu Warna, dan Pembalut. Bagi yang suka drama satir yang disampaikan secara lugas ada Malam ini Aku Cantik. Bagi yang ingin tertawa dengan celetukan-celetukan dialog yang kocak sekaligus ironis, ada Kentang. Dengan pintarnya pula SJ meletakkan segmen Kotak Coklat yang manis sebagai penutup sehingga penonton bisa beranjak dari kursi bioskop dengan perasan puas dan bahagia. Good job on putting the order of the segments!
Tak hanya membahas soal hubungan LGBT dengan berbagai problematika sosial, psikologis, dan humanisnya, SJ pun menyelipkan satu cerita tentang kesetaraan gender yang mengambil metafora karakter Srikandi. Alhasil, terasa cukup lengkaplah representasi gambaran seluk-beluk dunia LGBT dan gender yang diangkat di sini. Melelahkan? Tentu tidak, saya justru merasa terhibur menyaksikan segmen demi segmen yang plotnya digarap dengan cukup baik sehingga tidak menimbulkan kebosanan, apalagi kelelahan. Most of them justru bikin penasaran dengan maksud segmen yang hendak disampaikan. Ada sih beberapa segmen yang tergolong biasa karena sudah pernah (atau malah sering) diangkat, seperti Malam Ini Aku Cantik dan Lumba-Lumba.Tapi keduanya disampaikan dengan cara yang menarik dan dengan dialog-dialog yang memorable sehingga hasil akhirnya baik juga. Speaking of dialog, ada cukup banyak wisdom yang disampaikan sepanjang film. Sayang, tidak ada satupun segmen yang berhasil membuat saya, setidaknya, tersentuh hingga berkaca-kaca.
Kalau ditanya segmen favorit saya maka jawabannya bakal lebih dari satu karena saking banyaknya ragam warna unik yang ditawarkan yang saling melengkapi. Pertama, saya akan menjawab Menunggu Warna yang dibuat dengan konsep B/W dan tanpa dialog sama sekali. Layaknya The Artist, kedua aktor utamanya berhasil menggiring emosi penonton hingga bagian akhir. Sweet but ironic, just like gay relationship di tengah-tengah masyarakat yang masih belum bisa memberikan tempat untuk mereka bahagia. Saya juga suka ½ yang dengan cerdas menampilkan dua sisi kepribadian manusia melalui kacamata tiga dimensi (red dan cyan). Cool concept and execution. Ketiga, Kotak Coklat yang membalut sweetness dengan sedikit twist yang mengejutkan dan diakhiri (sekaligus menutup keseluruhan film) dengan manis. Ketiga, Pembalut yang kesemua karakternya diperankan aktor yang sama.
The Casts
Believe it or not, semua cast yang mendukung di sini tampil dengan sangat baik dan meyakinkan. Tak ada satu pun yang terlihat canggung, baik itu untuk peran utama maupun pembantu, dan berlaku untuk semua segmen. Jarang-jarang lho hal seperti ini terjadi dalam sebuah film yang tergolong indie dengan tidak banyak mengusung nama-nama terkenal sebagai pemerannya. Well, karena penampilan aktor-aktornya merata dan juga banyak nama-nama yang tidak saya kenal maka saya tidak akan membahas kualitas akting aktornya satu-satu. It’s just all good.
Technical
Saya sudah mempersiapkan diri jika secara teknikal masih terdapat banyak kekurangan di sana-sini karena budgetnya yang minim. Camcordernya saja menggunakan Canon 5D. Tapi melihat hasil akhirnya saya cukup takjub dengan katajaman gambarnya, sama sekali tidak tampak seperti amatiran. Apalagi dengan sinematografi yang sangat baik di semua segmen membuat saya lupa bahwa ini adalah film indie dengan budget terbatas. Penggunaan efek B/W di Menunggu Warna, misalnya. Agak susah untuk membuat kontras warna agar gambar tampak jelas dan tajam. Tapi they did it very well. Setting lokasi pun tampak dipersiapkan dengan matang. Lihat saja dunia red dan cyan di ½ yang membuat saya terkagum-kagum. Simple but beautiful.
Salah satu faktor penting penentu hasil akhir sebuah omnibus adalah editing. Ada omnibus yang memilih opening credit sendiri-sendiri di setiap awal segmennya. Nah, SJ memilih untuk tidak meletakkan opening credit bahkan judul segmen di awal tiap segmen. Untung, pergantian segmennya dilakukan dengan sangat halus dan elegan, bahkan pada pergantian segmen warna-B/W-warna.
Divisi sound effect dan score turut menyempurnakan keindahan SJ. Score-nya cukup baik mengiringi adegan demi adegan yang ada. Teknologi surround pun dimanfaatkan dengan cukup baik pada sound effect. Jika biasanya film Indonesia sering terkendala pada dialog yang kurang jelas terdengar, it ain’t happened to SJ. All dialogue sounded very clear.
The Essence
SJ menunjukkan warna-warni kehidupan LGBT, bukan dengan maksud mempromosikan apalagi menjustifikasi. Oleh sebab itu kesimpulan yang ditarik tiap penonton bisa berbeda. SJ hanya memberikan gambaran (yang ternyata cukup lengkap) bagaiman dunia LGBT, yang kadang bisa sweet, kadang juga banyak yang “buaya”, bagaimana mereka menemukan kebahagiaan sendiri di tengah masyarakat yang mencibirnya, dan banyak lagi. Mungkin malah tidak berbeda dengan dilematik pasangan straight.
LGBT, pada masyarakat Indonesia (dan bahkan banyak negara di dunia) masih dianggap “sampah masyarakat”. Padahal stigma seperti itu sebenarnya muncul akibat dari “sempit”-nya dunia yang menjadi hak mereka yang diberikan masyarakat sendiri. Sebenarnya saya sering mempertanyakan, apa sih yang ditakutkan dari kaum LGBT? Takut kaum mereka akan mempengaruhi Anda, anak-anak Anda, keluarga Anda menjadi seperti mereka?
Saya pernah mendengarkan pendapat dari komedian Tessy yang menurut saya ada benarnya. “Jika Anda tidak punya sedikit pun benih homoseksual, tidak akan pernah bisa terpengaruh. Mana mungkin orang yang normal-normal aja tiba-tiba menirukan gaya banci? Mau dicemooh orang-orang? Anda pikir mereka sendiri senang diperolok orang-orang?”. Deg! He got the point.
Siapakah Anda yang mengaku beragama tapi berani memposisikan diri sebagai Tuhan sehingga merasa berhak menjustifikasi mereka? Perasaan dosanya yang paling besar lho (makanya di 10 perintah Allah menjadi hukum nomer 1). Mana Anda tahu bahwa Tuhan memang menciptakan manusia dengan perbedaan-perbedaan termasuk orientasi seksual. Manusia dengan berbagai cacat fisik dari lahir pun tetap dianggap sempurna di mata Tuhan. Apa sih ukuran “normal” atau “sempurna”? Manusia kah yang menentukannya? Tidak. Manusia tidak berhak.
Takut dunia bakal menjadi homoseksual semua hingga manusia terancam punah? Come on, saya rasa Tuhan menciptakan semuanya dalam keseimbangan. Lah, mengapa Tuhan menciptakan beberapa orang tidak bisa punya anak? Bagaimana penuh sesaknya dunia jika semua orang bisa punya anak? Anda pikir anak yang lahir dari pelacur (yang Anda sebut haram) bukan kehendak Tuhan? Hmmm... kayaknya Anda meragukan kekuasaan Tuhan atas segala rencana-Nya di dunia ini.
Well, pada akhirnya manusia hanya perlu memperlakukan makhluk sesama ciptaan-Nya dengan kasih. Itu kan inti dari tiap agaman? Masalah dosa, biarlah menjadi tanggung jawab tiap individu dengan Tuhan. Buat apa Anda turut mengotori tangan Anda sendiri?
Lihat data film ini di Wikipedia.