Overview
Joko
Anwar memiliki reputasi yang berbeda dengan sineas-sineas Indonesia
lainnya. Film-filmnya cenderung surealis, setting tidak spesifik, gaya noir, dan plotnya menyimpan teka-teki hingga revealed di
menjelang akhir film. Ending dan konklusinya pun memerlukan analisis
dari penonton dan setiap orang bisa berbeda-beda tergantung
clue-clue apa saja yang berhasil mereka temukan dan korelasikan.
Itulah asyiknya film-film Joko Anwar : ketika selesai menyaksikan
film-filmnya, kita masih mendiskusikannya bersama. Saya
pribadi sih lebih suka film jenis seperti ini ketimbang film yang mendikte
semua tiap detail plotnya secara gamblang.
Hitung-hitung melatih otak untuk berpikir dan menganalisis kasus.
Karena itulah saya selalu menantikan karya-karya Joko Anwar, tak
terkecuali Modus Anomali (MA)
ini. Tidak semua penonton yang bisa cocok menikmatinya tapi beruntung Joko bertemu Sheila Timothy dengan LifeLike Pictures-nya yang punya kesamaan "selera" sehingga mau secara konstan meproduksi "fantasi-fantasi" Joko.
MA
sedikit berbeda dibanding Kala maupun
Pintu Terlarang yang
ceritanya lebih rumit, namun tetap saja style dan ciri khas Joko
masih jelas terasa. Sepanjang satu jam pertama, sejumlah clue disebar dengan iritnya, lantas setengah jam terakhir baru diungkap rahasia
demi rahasia yang membuat penonton terbingung-bingung dan penasaran
sebelumnya. Secara keseluruhan plot yang diusung MA sebenarnya sangat sederhana, ringan, dengan ruang lingkup yang sempit baik
dari segi setting dan karakter. Bahkan saya harus setuju dengan
pendapat yang menyebut plot MA lebih cocok sebagai film pendek yang
dipanjang-panjangkan demi memenuhi standard durasi film panjang.
Satu
jam pertama yang saya maksud mungkin bagi beberapa orang terasa
membosankan, apalagi tak banyak dialog yang dimunculkan. Cerita
disampaikan hanya melalui gambar adegan dan akting aktor-aktornya.
Saran sih, bersabar saja di fase ini, perhatikan tiap detail adegan
yang ada (kalau bisa handphone/BB-nya disembunyikan dulu). Semua
penantian penonton yang diliputi rasa penasaran terbayar pada fase
berikutnya, yakni setengah jam terakhir dimana pace adegan pun
berubah dan adegan-adegan berikutnya menjadi semakin menarik hingga
klimaks film.
Harus
diakui (dan memang diakui sendiri oleh Joko) MA adalah proyek kecil
dengan budget kecil. Namun berkat kerapian plot menyembunyikan
rahasia-rahasia hingga timing yang tepat untuk diungkap dan detail
plot khas Joko yang mengagumkan, MA mampu menjadi film yang terus
kuat melekat pada benak penonton setelah menyaksikannya. Lupakan
pakem standard ala film Hollywood tentang penjelasan plot maupun
perkembangan karakter, karena MA hanya berniat memberikan hiburan berupa
“latihan” otak tingkat ringan dalam menganalisa dan menarik
kesimpulan dari cerita yang disampaikan. Di luar kebiasaan film umum
(judulnya saja Modus Anomali...) dan fun to watch. Untuk fans Joko
Anwar (dan saya yakin bagi Joko Anwar juga), MA hanyalah makanan
ringan yang bergizi. Biarkan nalar dan fantasi Anda bermain dalam
menikmati MA.
The Casts
Rio
Dewanto jelas menjadi tumpuan utama sepanjang film mengingat hampir 90% durasi didominasi oleh karakternya. Awalnya Rio mungkin tampak
konyol dengan ekspresi wajah dan perilaku-perilaku kebingungan
tentang apa yang tengah terjadi pada dirinya. Ditambah lagi
kebingungan apa yang harus dirasakan terhadap “keluarganya”
yang bahkan tidak ia ingat. Bagi saya, Rio cukup berhasil
menghidupkan karakter yang dibebankan kepadanya. Perubahan karakter
di paruh terakhir film semakin menguatkan karakter dan performa
aktingnya di bagian ini layak mendapatkan pujian.
Sementara
pemain-pemain pendukung lainnya seperti Surya Saputra, Marsha
Timothy, maupun pendatang-pendatang baru seperti Hannah Al Rashid,
Izzi Isman, Aridh Tritama, Sadha Triyudha, dan Jose Gamo bermain
dengan cukup baik dan meyakinkan sesuai dengan porsi masing-masng
yang memang tak banyak.
Technical
Dengan
dukungan kamera Red Epic M dan proses warna Technicolor, visualisasi
MA sangat memanjakan mata. Detail gambar seperti dedaunan dan tekstur
wajah terlihat sangat crisp. Ditambah teknik pengambilan gambar yang
variatif dan dinamis oleh Gunnar Nimpuno, adegan-adegan yang
ditampilkan di layar begitu hidup, seolah-olah penonton ikut merasakan
kepanikan dan kebingungan yang dialami karakter John Evans. Teknik
handheld juga turut digunakan di sini tapi masih tergolong nyaman
untuk diikuti, tidak membuat pusing.
Divisi
sound editing dan scoring, seperti karya-karya Joko sebelumnya,
menjadi pendukung kuat dalam membangun suasana sepanjang film. Sayang
menurut saya Joko lebih banyak meletakkan silence pada karyanya kali
ini. Scoringnya kurang stand out seperti di film-film sebelumnya,
hanya mampu berhasil dalam mengiringi dan membangun atmosfer adegan, belum mampu untuk terus melekat dalam ingatan (saya).
Untungnya teknologi suara surround mampu dimaksimalkan terutama dalam
membangun atmosfer hutan melalui detail-detail dan pembagian
kanalnya.
Hal
yang menarik lainnya adalah penggunaan Bahasa Inggris dalam dialog.
Saya bisa memaklumi keputusan ini dalam mengesankan setting yang
tidak terikat geografis tertentu. Beberapa elemen seperti bahasa dan
kelaziman setting jelas bukan di Indonesia, tapi elemen lain justru
dengan jelas Indonesia banget (misalnya dengan digunakannya lagu
Bogor Biru oleh Sore sebagai
soundtrack). Bagi saya, justru itulah keunikan film-film Joko yang
seolah-olah membangun dunia surealnya sendiri. Soal aksen Bahasa
Inggris yang aneh dan terdengar seperti drama musikal tugas Bahasa
Inggris di sekolah, ah itu masalah kebiasaan saja. Tidak ada yang
salah koq. Benar kata Joko, kalau kita bisa menganggap Bahasa Inggris
aksen Amerika Selatan itu seksi dan aksen Cina itu lucu, kenapa kita
harus mempermasalahkan Bahasa Inggris aksen Indonesia? Sudah saatnya
kita punya identitas sendiri di mata internasional, tidak harus
selalu mengikuti gaya Amerika kan?
The Essence
Susah
sebenarnya saya menulis bagian ini karena kebablasan sedikit saja
bisa-bisa saya malah men-spoil kejutan yang justru menjadi kenikmatan
dari menonton langsung. Pun, esensinya bisa bervariatif antara tiap
penonton tergantung hasil analisis dan konsklusi masing-masing. Kalau
dari saya sih, MA is about family. Questioning our true feeling about
our family members, apakah sekedar merasa sebagai kewajiban atau
benar-benar peduli. Bagaimana pula hal tersebut mempengaruhi kejiwaan
manusia. Well, ini adalah film Joko dan ia selalu menyinggung sisi
kejiwaan manusia.
Lihat data film ini di IMDB.
Lihat situs resmi film ini.