4/5
Action
Box Office
Drama
Mockumentary
The Jose Movie Review
The Jose Movie Review - Chronicle

Overview
Found-footage menjadi teknik yang populer semenjak kesuksesan tak terduga The Blair Witch Project. Dengan budget minimal, bermodalkan kamera genggam, dan kekreatifan dalam meng-create adegan palsu yang tampak nyata, siapa yang menyangka genre seperti ini bisa menjadi mesin pencetak uang yang ampuh? Banyak yang menganggap found-footage sebagai sebuah genre, tapi menurut saya sih sebenarnya merupakan salah satu teknik pengambilan gambar yang digunakan dalam menciptakan nuansa tersendiri bagi film. Bagi saya, genre found-footage memiliki keunikan tersendiri karena mampu menimbulkan efek psikologis yang tidak bisa dicapai oleh penyuntingan kamera yang memang sudah diset layaknya profesional. Apa yang tampak di layar seperti benar-benar nyata dan ketidak-detailan adegan yang ada justru bisa mengundang imajinasi tersendiri bagi penonton. Teknik seperti ini menjadi semakin populer dan efektif ketika dunia semakin akrab dengan trend public journalism. Ngeri bukan ketika melihat rekaman bom Bali atau sesaat setelah kecelakaan Xenia maut? Coba kalau adegan-adegan tersebut direkam secara profesional dengan angle-angle yang mampu menangkap detail kronologisnya bak film-film maisntream Hollywood, belum tentu bisa memberi sensasi yang sama. Di situlah letak menariknya found-footage atau sering juga disebut mockumentary.
Jika kebanyakan film found-footage hanya menjual sensasi ketakutan atau paranoia dari suatu kejadian, misalnya Cloverfield atau Quarantine, Chronicle justru menjual cerita utuh dengan alur seperti halnya film fiksi biasa, hanya saja menggunakan teknik pengambilan gambar ala found-footage dan gaya penceritaan ala mockumentary. Alur yang disajikan pun terasa sekali ditulis dan digarap dengan sangat baik. Adegan demi adegan yang menggambarkan sisi “fun” dari film terlukiskan dengan menyenangkan walau sebenarnya kekuatan-kekuatan super yang ditampilkan biasa saja, sudah sering kita saksikan di film-film bertema superheroes sebelumnya. Timing tahapan kekuatan yang dimiliki oleh ketiga karakter utama disajikan dengan sangat tepat, sama sekali tidak menimbulkan kebosanan bagi saya. Lantas di paruh kedua, Chronicle berubah menjadi film yang gelap dan misterius. Di sini tensi mulai ditingkatkan hingga penghujung film. A very great job in positioning scenes and playing with the tension-ride.
Perkembangan karakter menjadi salah satu kekuatan utama dari Chronicle. Walau hanya berbekal rekaman-rekaman kamera yang berbeda-beda sumbernya, penonton berhasil merasakan kedekatan antara ketiga karakter utama : Andrew, Matt, dan Steve. Pergulatan emosi antara ketiganya menjadi inti yang paling penting selama film berlangsung. Baik sebagai film mockumentary maupun sebagai film bertemakan superheroes, Chronicle mampu menjadi karya yang stand out dan unforgettable.
Cast
Nama-nama yang mengisi cast di sini semuanya asing, bahkan di telinga saya. Ketiga pemeran utamanya saja; Dane DeHaan, Alex Russell, dan Michael B. Jordan, sebelumnya hanya berpengalaman bermain di serial atau film TV. Namun kemampuan akting mereka di sini sesuai dengan porsi peran masing-masing. Setidaknya tiap karakter terasa believable walau sebenarnya peran-peran yang dibawakan bukanlah tergolong peran yang sulit maupun unik. Bukan mustahil nama-nama mereka bakal melambung lebih tinggi di masa depan karena kehadiran mereka di sini bukan asal tempel saja seperti karakter-karakter di franchise Final Destination. Kredit tersendiri pantas disematkan untuk Dane DeHaan atas keberhasilannya menghidupkan karakter Andrew Detmer. Ia memikul beban yang cukup berat karena ia menjadi fokus sepanjang film dan ia sama sekali tidak mengecewakan.
Technical
Chronicle hanya mengadopsi gaya found footage dari segi pengambilan gambarnya saja, sementara kualitas gambarnya sendiri sangat pristine seperti layaknya kamera profesional, dengan lighting yang memadai pula. Agak aneh sebenarnya ketika adegan gelap di awal film, seperti misalnya ketika adegan rave party, kualitas gambarnya masih khas kamera genggam dengan grainy-grainy-nya, tapi adegan-adegan gelap selanjutnya kualitas gambarnya seperti diambil dengan kamera profesional. Lihat saja ketajaman tampilan awan di langit malam, misalnya. Kalau mau ngeles sih, kan adegan di rave party Andrew masih pakai kamera murah, selanjutnya kan dia pakai kamera seharga 500 dolar. Tapi tetep saja sih, secara keseluruhan kualitas gambar-gambar yang ditampilkan mustahil dihasilkan kamera genggam. Bisa dimengerti bagaimana kreator mencoba untuk memenuhi “standard” penonton kebanyakan yang terbiasa dengan kejernihan gambar layar lebar. Oh iya, biasanya kendala yang paling mengganggu penonton ketika menyaksikan mockumentary adalah gambar yang goyang seolah-olah si pengambil gambar sedang berjalan atau berlari. Berita baiknya, kestabilan gambar terjaga di sini sehingga goyangnya kamera tidak ada yang mengganggu atau membuat pusing.
Footage-footage yang disajikan di film tidak hanya bersumber dari satu kamera (sudut) saja. Terkadang diselipi rekaman dari CCTV atau dari lensa teropong sniper, jadinya secara keseluruhan menampilkan keutuhan adegan dari berbagai angle. Ada beberapa angle yang aneh sih, seperti sudah diatur bak film profesional, tapi sekali lagi bisa ngeles kameranya digerakkan oleh karakter yang ada menggunakan kekuatan telekinesisnya. Hahaha...
Audio yang disajikan tidak begitu dahsyat dan seperti layaknya mockumentary yang lain, Chronicle juga tidak menggunakan score apa pun. Tapi saya heran, ketegangan dan feel –nya tetap terasa sepanjang film. I think it’s a rare case in movie industry.
The Essence
Jika kita merefleksikan lebih dalam, Chronicle bukanlah film hiburan bertema superheroes semata. Seperti yang diungkapkan oleh Andrew di salah satu adegan, manusia cenderung untuk menggunakan kekuatan yang dimilikinya untuk menghancurkan yang lain. Kita tidak pernah bersalah telah menghancurkan lalat yang lewat, misalnya. Karakter Andrew sendiri yang menjadi fokus sepanjang film menjelaskan teori tersebut. Ia yang dulunya menjadi “korban” seolah ingin membalaskan dendamnya kepada semua orang ketika ia berada di puncak rantai makanan (baca : ketika memiliki kekuatan superheroes). That’s why we need a true friend who is able to warn and control us. Sahabat sejati yang tidak hanya berbagi di saat bersenang-senang saja, tetapi juga peduli ketika kita berada di dalam bahaya, sekalipun bahaya itu berasal dari diri kita sendiri. I’m sure kejadian sepanjang film menjadikan motivasi dan pelajaran bagi Matt, seperti yang disampaikannya ketika sudah berhasil mengantar sahabatnya ke tempat yang paling ingin dikunjunginya.
Lihat data film ini di IMDB.