3.5/5
3D
4DX
Action
Adventure
Based on Book
Blockbuster
Box Office
Comedy
Family
Fantasy
Franchise
Hollywood
IMAX
Mythology
Pop-Corn Movie
Screen X
Superheroes
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Aquaman

Warner Bros. tampaknya masih belum putus asa membangun DCEU (DC Extended Universe). Setelah Wonder Woman mendapatkan banyak pujian dari kritikus maupun penonton umum, juga Justice League (JL) yang sudah dianggap jauh lebih fun ketimbang kegelapan Batman v Superman: Dawn of Justice (BvS), pilihan mereka untuk diangkat ke layar lebar berikutnya adalah Aquaman yang sempat muncul di BvS dan JL. James Wan yang kita kenal lewat franchise horor sukses, Insidious dan The Conjuring dipercaya untuk menangani sesuai dengan visinya. Versi layar lebar dari superhero yang sudah ada sejak tahun 1941 ini akan mengikuti penampilannya di era ’90-an yang berambut gondrong dan berjenggot. Jason Momoa yang sudah ditampilkan sebagai sosok Aquaman sejak BvS didampingi Amber Heard (Derive Angry, The Rum Diary, The Danish Girl), Willem Dafoe, Nicole Kidman, Dolph Lundgren, dan ‘muse’ Wan, Patrick Wilson. Lagi-lagi Aquaman menjadi ajang pertaruhan yang menentukan arah DCEU selanjutnya mengingat pengubahan tone yang cukup signifikan dibanding installment-installment sebelumnya setelah berbagai upaya telah dicoba tapi belum cukup berhasil.
Konon Arthur Curry atau yang lebih akrab dengan julukan Aquaman dilahirkan sebagai hasil cinta terlarang anak manusia bernama Thomas Curry dengan seorang putri kerajaan bawah laut Atlantis bernama Atlanna. Sayang ketika Arthur masih kecil, Atlanna harus meninggalkan daratan dan kembali ke kerajaannya untuk dinikahkan dengan panglima pasukan kerajaan, Orvax. Kendati demikian, Atlanna masih mengutus sang penasehat kerajaan, Vulko, untuk melatih Arthur. Ketika dewasa Arthur didatangi oleh Mera, putri Raja Nereus dari kerajaan bawah laut Xebel untuk memperingatkan bahwa raja Atlantis yang baru, Orm, yang tak lain dan tak bukan adalah putra Orvax dan Atlanna alias adik tiri Arthur, berniat menguasai semua kerajaan di lautan sekaligus daratan. Awalanya Arthur mengabaikan peringatan ini dan merasa tak mampu untuk menghadapi Orm. Namun setelah melihat banjir bandang yang menggerus daratan beserta dengan sampah-sampah di laut, Arthur memilih untuk mencoba menghentikan Orm. Ternyata tak hanya pelatihan dari Vulko, misi Arthur membutuhkan upaya lebih, yaitu menemukan trisula Raja Atlan yang hanya bisa digunakan oleh raja laut sejati. Maka petualangan Arthur dengan ditemani Mera pun dimulai. Musuh yang harus Arthur hadapi bertambah ketika muncul mantan bajak laut, David Kane alias Black Manta yang berniat membalas dendam karena sang ayah dibunuh olehnya.
Sebagaimana kebanyakan kisah origin superhero, Aquaman pun masih menggunakan formula basic tapi ditampilkan dengan pace yang tergolong dinamis. Bahkan durasi yang nyaris mencapai dua setengah jam terasa begitu padat oleh kronologi kejadian demi kejadian. Tak ada satupun yang terasa bertele-tele maupun draggy. Wan seolah tahu bagian mana yang sekedar harus ada tapi sebenarnya sudah terlampau generik bagi kebanyakan penonton sehingga tak perlu dihadirkan dengan bertele-tele. Ia lebih banyak memanfaatkan durasi dengan adegan aksi yang begitu enerjik dengan koreografi yang tertata seru, terekam semakin dahsyat berkat camerawork dari Don Burgess serta editing Kirk Morri yang mempertajam kesan dinamis. Jangan keburu mengkhawatirkan kualitas pergerakan plot gara-gara porsi adegan aksi yang mendominasi. Naskah David Leslie Johnson-McGoldrick dan Will Beall cukup rapi menyusun kronologi plot lewat adegan serta dialog yang jelas sekaligus lugas. Kepiawaian Wan dalam menghadirkan jumpscare a la film-film horor khasnya beberapa kali diaplikasikan untuk penampakan makhluk-makhluk (baca: monster) bawah laut yang memberi warna lebih ke dalam film.
Tak lupa pula penampilan Jason Momoa dan Amber Heard yang punya cukup porsi untuk membuat keduanya terasa memang punya pembangunan chemsitry yang kuat sekaligus meyakinkan, termasuk lewat banter yang menggelitik. Selain itu, sulit juga untuk tak tersentuh oleh chemistry manis antara Temuera Morrison (Tom Curry) dan Nicole Kidman (Atlanna). Meski secara keseluruhan film bergerak dinamis, apalagi untuk adegan-adegan aksinya, Wan masih tahu betul kapan harus menjaga pace sehingga penonton bisa turut merasakan romantisme serta kehangatan-kehangatan tersebut.
Di luar plot dan pace, daya tarik yang paling jelas terlihat pertama kali adalah tampilan visual spectacle-nya yang menakjubkan. Desain kerajaan bawah laut seperti perpaduan James Cameron’s Avatar, kota kaum Gungan di The Phantom Menace, dan jembatan Bifrost, Asgard dari Thor, tampak begitu cantik sekaligus megah. Begitu pula visual effect yang mungkin beberapa belum pernah ditampikan sebelumnya. Gerakan dan dialog di dalam air pun tampak natural tanpa harus terasa mengganggu (terutama dari segi suara yang akan sangat tidak jelas jika dipaksakan sesuai kenyataannya).
Selain Jason Momoa dan Amber Heard yang mampu mengemban amanat mengisi porsi peran utama, saya cukup senang melihat Willem Dafoe memerankan karakter protagonis setelah selama ini image-nya sebagai karakter villain sangat kuat. Patrick Wilson yang nyatanya lebih tua daripada Jason terlihat meyakinkan (berkat makeup atau visual fx?), baik secara fisik maupun gesture sebagai villain. Terakhir, tentu tak boleh melewatkan Nicole Kidman yang ternyata bisa tampil badass sebagai Atlanna, terlepas apakah ia melakukannya sendiri atau digantikan oleh stuntwoman.
Score music gubahan Rupert Gregson-Williams terdengar variatif. Mulai blockbuster grandeur orchestra, synth-techno, hingga hard rock yang memang terkesan sesuai dengan spirit film. Namun in some way, campur-campur ini kerapkali terdengar berlebihan dan mismatch. Well, setidaknya iringan bass (mengingatkan saya akan intro Baby One More Time-nya Britney Spears) di tiap kali Arthur berpose dengan tatapannya sebagai fokus meninggalkan kesan ‘keren’ yang cukup signatural.
Secara keseluruhan Aquaman memang sajian installment DCEU yang jauh lebih asyik, seru, dan keren dari sebelum-sebelumnya. Memang di banyak bagian masih terasa sangat generik, tapi setidaknya dituturkan dengan kronologi yang runtut dan baik, pace yang dinamis sehingga memberikan kesan keren sekaligus seru, dan pembangunan emosi yang baik tanpa harus mendistraksi atmosfer keseluruhan film. Sebagai sebuah origin story, ini merupakan awal yang baik. Semoga saja pengembangan berikut-berikutnya bisa lebih solid lagi. Plot yang solid ditambah style storytelling yang setara seperti ini, saya yakin masa depan DCEU bisa secerah Marvel Cinematic Universe atau malah melebihi.
Anyway, coba format Screen-X untuk pengalaman bawah laut yang lebih terasa. Atau format 4DX 3D untuk pengalaman aksi yang lebih hidup, terutama dari segi guncangan seat seolah-olah benar-benar dibanting habis-habisan oleh Arthur dan semburan air. Apalagi format 3D-nya membuat desain panoramiknya menjadi lebih standout dengan kedalaman ruang yang cukup baik dan beberapa momen pop-out yang memanjakan indera penglihatan.
Lihat data film ini di IMDb.