The Jose Flash Review
Solo: A Star Wars Story

Sejak dibeli Disney tahun 2012, Lucasfilm semakin semakin gencar mengeksplorasi berbagai potensi yang layak diangkat ke layar lebar. Tak hanya sebagai seri induk tapi juga berbagai kisah sampingan yang masih punya benang merah ke seri induknya, seperti Rogue One (RO) tahun 2016 silam. Dirilis bergantian dengan seri induk, praktis setiap tahun mereka bisa merilis satu film Star Wars. Apalagi meski skalanya memang tak sebesar seri induk, RO berhasil melewati angka penghasilan US$ 1 milyar di seluruh dunia. Pilihan kedua untuk spin-off bertajuk A Star Wars Story adalah Solo yang jelas-jelas merupakan origin story dari salah satu karakter seri induk yang paling ikonik, Han Solo. Sempat diwarnai beberapa kontroversi seperti pemilihan Alden Ehrenreich sebagai Han serta keluarnya sutradara Phil Lord dan Christopher Miller (Cloudy with a Chance of Meatballs, 21 Jump Street, The Lego Movie) karena perbedaan pendapat tentang tone keseluruhan film dengan penulis Lawrence Kasdan dan produser Kathleen Kennedy hanya tiga minggu menjelang jadwal syuting berakhir , kemudian digantikan Ron Howard (A Beautiful Mind, The Da Vinci Code - kabarnya Howard melakukan pengambilan gambar ulang sebanyak sekitar 80% adegan), Disney masih percaya bahwa origin story Han Solo masih menarik untuk diangkat dan mampu menarik minat penonton di bursa persaingan musim panas tahun 2018 ini.

Tak tahan dengan kehidupan di Planet Corellia yang tampak semakin tak tersentuh hukum, Han mengajak sang kekasih, Qi’ra, untuk bertualang ke mana saja asal tidak di planet tersebut. Sayang hanya Han yang berhasil lolos. Ia kemudian berkelana mengumpulkan uang untuk mendapatkan pesawat sendiri, menjadi pilot paling hebat di galaksi, dan kembali ke Corellia untuk menjemput Qi’ra. Mulai dari menjadi pasukan Kekaisaran hingga menjadi awak kawanan perampok yang terdiri dari Tobias Beckett, sang istri, Val, dan makhluk Arden, Rio Durant. Misi mereka merampok bahan peledak berskala besar untuk bos mafia, Dryden Vos. Tak diduga misi ini justru mempertemukan Han dengan Qi’ra. Di luar dugaan Qi’ra kini sudah berubah drastis dan mencurigakan. Namun bagaimanapun Han dan Beckett mau tak mau bekerja sama dengan Qi’ra demi menyelesaikan misi tersebut. Han dihadapkan pada dilema lainnya ketika harus memilih antara keselamatan diri sendiri atau masa depan seantero galaksi.
Dibandingkan RO atau seri-seri induk terbaru, Solo agaknya menjadi yang paling ‘jauh’ dari trilogi orisinil maupun prekuelnya. Ada begitu banyak nama karakter, tempat, dan planet yang sama sekali baru dan asing (sulit dihafalkan pula), bahkan di telinga para fans. Mengisahkan planet-planet lawless dengan karakter-karakter penjahat yang ‘hanya’ perampok biasa sementara ancaman Kekaisaran hanya ditampilkan sebagai latar pun sifatnya sangat minor. Ini yang kemudian menimbulkan cukup banyak pertanyaan baru bagi para penggemar. Benang merah dengan seri induk yang dicari-cari sejak awal film tak kunjung ditemukan hingga menjelang akhir. Itu pun menimbulkan pertanyaan baru lagi terkait letak persis Solo dalam timeline Star Wars keseluruhan selain sekedar sebelum A New Hope. Sementara bagi penonton non-fan yang tidak mengikuti akan semakin tenggelam dalam kebingungan dan (akhirnya) ketidak-pedulian terhadap perkembangan plot. 
Sebenarnya apa yang ditawarkan Solo sejak dari berupa naskah Jonathan dan Lawrence Kasdan ‘hanya’ sekedar meruntut kejadian-kejadian terkait pertanyaan seputar karakter Han Solo selama ini, terutama pertemuannya dengan Lando Calrissian dan Chewbacca, serta bagaimana menemukan Millenium Falcon sebagai pesawat khasnya. Sisanya lebih kepada memasukkan formula-formula dasar yang sudah diterapkan di banyak film secara sepotong-sepotong, termasuk seri-seri induk Star Wars sendiri, seperti kisah asmara tanpa pertemuan awal dan heist dengan lapisan ‘siapa yang berkhianat’ dan ‘siapa memihak siapa’. Well setidaknya yang saya sebutkan terakhir masih bisa jadi salah satu daya tarik menjelang konklusi film. Jika penasaran kejadian-kejadian yang membentuk sosok nyentrik Han Solo di episode IV hingga VII secara personal, agaknya Anda tidak akan menemukannya di Solo. Itulah yang menjadi kelemahan utama film. Saking sibuk membuat film sedinamis dan ber-pace secepat mungkin (bahkan beberapa kali terasa kelewat terburu-buru), ia melupakan untuk memberikan kedalaman lebih terhadap berbagai karakter sentral yang seharusnya menjadi tujuan utama film berbasis character’s origin story. Memasukkan berbagai elemen sub-plot, seperti kawanan pemberontak yang desainnya bak di Mad Max Fury Road dan hadirnnya droid penuntut persamaan hak (tapi sebenarnya sangat menghibur), L3-37, menjadikan fokus utama semakin samar. Elemen-elemen yang mungkin penting dimasukkan sebagai benang merah ke seri induk, tapi dengan treatment penyusunan plot yang sekedar meruntut kronologi, justru membuat film berkali-kali terasa terlalu bertele-tele. 
Mungkin menyadari kelemahan yang dimiliki, Howard berupaya keras untuk setidaknya menampilkan Solo sebagai suguhan petualangan-aksi yang menghibur. Saya setuju bahwa adegan-adegan aksinya cukup seru meski memang tak boleh melebihi tingkat keseruan di seri-seri induk. Namun adegan-adegan aksi yang melibatkan kendaraan menurut saya hanya sekedar ‘aman’. Masih bisa jauh lebih ‘tajam’ lagi untuk memaksimalkan adrenalin dan kecemasan penonton. Untung saja adegan aksi antar manusia terasa jauh lebih seru di tangan Howard. 
Alden Ehrenreich tampak sangat berusaha untuk menjembatani peran Han Solo dari Harrison Ford lewat gestur, cara berbicara, pilihan sikap dan kata, bahkan di beberapa angle tampak mirip. Namun tetap saja tak mudah mempercayainya sebagai orang yang sama dengan yang diperankan Ford dulu. Apalagi dengan perkembangan karakter yang nyaris tak tampak sepanjang film. Perhatian saya justru tercuri oleh penampilan Emilia Clarke yang beruntung diberi porsi perkembangan karakter lebih banyak dan menarik. Lapisan-lapisan yang mencoba mengelabui penonton berhasil ditampilkan tanpa terkesan trying too hard. Sementara Woody Harrelson sebagai Tobias Beckett dan Donald Glover sebagai Lando Calrissian sebenarnya tampil menarik di balik porsi yang ternyata jauh di bawah harapan. Sementara Thandie Newton sebagai Val dan Paul Bettany sebagai Dryden Vos harus puas dengan porsi yang jauh lebih sedikit lagi meski sama-sama punya potensi daya tarik yang tak kalah kuat.
Sinematografi Bradford Young cukup mengakomodir kebutuhan aksi-petulangan blockbuster. Pergerakan kamera dan pilihan shot-nya tak kelewat istimewa tapi setidaknya masih membuat berbagai adegan aksinya terasa seru meski bisa jauh lebih ‘tajam’ lagi. Editing Peitro Scalia berkontribusi dalam menjaga pace film menjadi dinamis dan cepat di balik penyusunan perkembangan plot yang sepotong demi sepotong dan sekedar meruntut kronologi. Selain keberanian memasukkan original main theme Star Wars (yang bahkan sama sekali tidak digunakan di RO. Mungkin juga keputusan produser untuk menambahkan benang merah atau sekedar feel seri induk), John Powell (protege Hans Zimmer langganan Paul Greengrass dan Doug Liman) menyuguhkan skor musik dengan tingkat kemegahan dan variasi karakteristik yang menarik, setara skor-skor orisinil John Williams.

Pada akhirnya Solo tetap meninggalkan banyak pertanyaan dari penonton umum maupun fans Star Wars. Masih banyak kejadian yang belum menambal banyak hal di seri induk terkait Han Solo dan karakter-karakter lainnya meski kali ini sudah terasa berusaha memasukkan banyak hal untuk menjembataninya. Petualangan Han Solo sendiri pun harus berlanjut untuk mendapatkan kisah asal-usul yang lebih utuh. Sebelumnya, setidaknya nikmati saja berbagai sajian aksi dan beberapa feel asli Star Wars yang masih mampu menghibur.
Lihat data film ini di IMDb.

91st Academy Awards nominees for:

  • Best Achievement in Visual Effects - Rob Bredow, Patrick Tubach, Neal Scanlan, and Dominic Tuohy 
Diberdayakan oleh Blogger.