3.5/5
Asia
Drama
Indonesia
mature relationship
Personality
Pop-Corn Movie
Psychological
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Gift
Seven Sunday Films selama ini dikenal sebagai production house yang melahirkan banyak TVC (TV Commercial) berkelas dari para klien bergengsi pula. Sukses di TVC rupanya membuat mereka penasaran untuk juga memproduksi film layar lebar. Tidak tanggung-tanggung, sebagai karya perdananya mereka menggandeng sutradara papan atas Indonesia yang sudah melahirkan puluhan film dari berbagai genre dan skala produksi, mulai dari yang indie hingga mega blockbuster selama empat belas tahun, Hanung Bramantyo. Aktor-aktris yang ditawarkan pun tak main-main. Ada aktor yang digadang-gadang bisa memerankan karakter apapun, Reza Rahadian, aktris muda yang kualitasnya aktingnya terlihat makin matang dari film ke film, Ayushita Nugraha, aktor muda yang akhir-akhir ini juga mulai diperhitungkan untuk peran-peran serius, Dion Wiyoko, serta aktris legendaris, Christine Hakim. Yogyakarta dan Italia dijadikan latar belakang kisah dari film bertajuk The Gift ini.
Demi mendapatkan ketenangan dan inspirasi dalam menulis novel terbarunya, Tiana memilih untuk pindah sementara ke Yogyakarta dan menyewa sebagian rumah milik keluarga priyayi. Di saat kebingungan memilih ide cerita, ia berkenalan dengan putra pemilik rumah, Harun yang ternyata penyandang tuna netra akibat kecelakaan. Tiana merasa terkonekasi dengan Harun karena sejak kecil ia suka menutup mata dan membayangkan dunianya sendiri daripada kehidupan nyata. Harun yang selama ini dikenal tertutup dan pemarah perlahan mulai membuka diri terhadap kehadiran Tiana. Di saat hubungan mereka kian dekat dan hangat, Tiana kedatangan Arie, anak pemilik yayasan panti asuhan tempat ia dibesarkan dulu. Setelah sekian lama memendam rasa dan memilih menjadi sahabat bagi Tiana, Arie akhirnya memberanikan diri untuk melamar Tiana dan pindah ke Italia untuk berkarir sebagai dokter mata. Bingung harus memilih antara Arie yang sudah dikenalnya sejak lama atau Harun yang baru ia kenal tapi bak menemukan persamaan ‘dunia’ dengannya.
Secara plot The Gift seolah tampak sederhana Kisah seorang wanita dengan dua pilihan pria dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Begitu juga latar penulis novel dan formula kebutaan yang sebenarnya sudah bisa ditebak arahnya ke mana. Namun seorang Hanung Bramantyo tak mungkin menggarap plot seformulaik dan sedangkal itu. Naskah yang disusun Ifan Ismail (Habibie & Ainun, Ayat-Ayat Cinta 2) memasukkan dilema-dilema yang sedikit lebih mendalam, terutama mengenai faktor apa yang sejatinya menjadi pertimbangan terpenting dalam memilih pasangan hidup. Perbedaan karakter dan latar belakang Harun dan Arie yang sejatinya saling bertolak-belakang tapi punya pertimbangan positif-negatif masing-masing membuat penonton sulit untuk serta-merta menyalahkan Tiana yang jika tidak dianalisis lebih mendalam bisa jatuh menjadi karakter yang brengsek dan memanfaatkan keuntungan diri semata.
Di film ini, seorang Hanung menyuntikkan elemen-elemen lain yang membuatnya tak lantas sekedar jatuh ke ‘lubang’ yang sama. Setidaknya ia tak jatuh dalam melodramatik yang kelewat mendramatisir penderitaan atau pengorbanan, tapi bagi beberapa penonton tetap bisa tersentuh, bahkan terenyuh. ‘Rasa’ menjadi kuncinya. Sejak awal memperkenalkan karakter Tiana dan Harun, penonton diajak untuk merasakan apa yang dirasakan oleh kedua karakter tersebut lewat bahasa visual khas Hanung, menembus batasan-batasan indera. Visualisasi yang sempat membuat saya terhanyut dalam ‘dunia’ Tiana dan pada akhirnya memahami dilema yang dihadapi para karakter. Sebuah ‘rasa’ yang mungkin tidak bisa menjadi se-powerful itu jika tidak digarap oleh seorang Hanung Bramantyo. Mungkin juga sulit untuk dirasakan tanpa penampilan Reza Rahadian dan Ayushita Nugraha yang terlihat dengan jelas tak hanya berakting tapi juga memberikan lapisan-lapisan lebih dalam karakter yang terjelaskan kepada penonton tanpa harus disampaikan secara verbal lewat dialog yang lugas. Sementara Dion Wiyoko dan Christine Hakim mendukung dengan cukup baik sesuai porsi masing-masing.
Penampilan aktris cilik Romaria Simbolon yang begitu serius tapi luwes dan dengan keluguan yang tepat sebagai Tiana kecil patut mendapatkan apresiasi lebih, terlebih jika mengetahui keseharian Romaria yang berbanding terbalik dengan karakter yang dibawakan. Terakhir, Tuminten yang berperan sebagai Si Mbok mungkin memang terasa terlalu teatrikal jika tidak mau disebut kelewat ‘drama’ tipikal pembantu yang teraniaya. Namun di sisi lain penampilannya bisa menjadi pengimbang sisi komedi dari keseluruhan film yang lebih dominan serius.
Dukungan teknis turut memperkuat tujuan utama film dalam menyampaikan ‘rasa’. Terutama pilihan shot dengan komposisi gambar yang bak ingin ber-semiotika puitis, misalnya memperlihatkan sekat alami di antara karakter Tiana dan Harun ketika koneksi antara keduanya sedang merenggang meski berada dalam satu frame, serta pergerakan kamera yang sinematik dan memperkuat ‘rasa’ secara visual yang ingin disampaikan. Editing Wawan I Wibowo pun mampu membawa laju plot dengan porsi yang pas dan mengalir lancar serta menampilkan batas dunia nyata dan fantasi secara mulus tapi tetap terlihat jelas. Iringan musik Charlie Meliala juga semakin memperkuat ‘rasa’ sekaligus makin menghanyutkan penonton. Termasuk juga lagu Pekat dari Yura Yunita dan Reza Rahadian sendiri yang tak hanya punya lirik yang relevan dengan plot film, tapi juga melodi yang sejalan dengan flow film, serta Ijinkan Aku Menyayangimu dari Iwan Fals yang dibawakan ulang dengan begitu menyatu dengan feel film oleh Ayushita.
Di atas kertas The Gift mungkin terdengar seperti just another three-way romance dengan elemen kebutaan yang kerapkali dijadikan medium tearjerker. Namun di tangan Hanung, akting para aktor-aktris, serta dukungan hampir di setiap elemen teknisnya, ia menjadi punya nilai lebih. ‘Rasa’ menembus batasan indera sebagai manifestasi intuisi serta kepiawaian Hanung dalam memvisualisasikannya serta kreativitas sekaligus sensitivitas Reza dan Ayushita dalam membawakan peran masing-masing. Sebuah ‘rasa’ yang sulit dijelaskan secara kata-kata dan hanya bisa dirasakan secara personal ketika mengalaminya langsung di layar lebar.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.