The Jose Flash Review
Tomb Raider

Adaptasi video game ke layar lebar sudah punya reputasi yang kurang baik. Maka kesuksesan komersial Lara Croft: Tomb Raider (2001) yang direpresentasikan dengan sempurna oleh Angelina Jolie dan mengumpulkan lebih dari US$ 274 juta di seluruh dunia membawa titik cerah tersendiri. Sayang sekuelnya, Lara Croft: Tomb Raider: The Cradle of Life (2003) dianggap gagal secara box office meski sebenarnya masih menghasilkan US$ 156.5 juta di seluruh dunia dari budget sebesar US$ 95 juta. Installment ketiga yang sebenarnya masih bisa dilakukan dengan penghasilan demikian akhirnya benar-benar dibatalkan ketika Angelina Jolie menyatakan tidak lagi tertarik untuk memerankan sosok Lara Croft. Setelah hak adaptasinya berpindah dari Paramount ke MGM, rencana reboot menjadi pilihan yang tepat. Apalagi versi video game-nya juga mengalami reboot pada tahun 2013 silam yang lantas menjadi pijakan dari versi tahun 2018 dengan judul Tomb Raider (TR). Sutradara asal Norwegia, Roar Uthaug (The Wave) dipercaya untuk menangani, sementara aktris Swedia, Alicia Vikander (Ex Machina, The Danish Girl) dipilih untuk merepresentasikan sosok sang penjarah makam yang baru. Pemilihan Alicia pun tak lepas dari kontroversi mengingat jelas berbeda jauh dari Angelina Jolie. Namun bagaimana pun tak adil rasanya jika tak menyaksikan terlebih dahulu aksinya secara langsung baru memutuskan mana yang lebih cocok menghidupkan sosok Lara Croft.

Paska hilangnya sang ayah, Richard, Lara Croft memilih hidup mandiri meski harus hutang di sana-sini. Sebuah kecelakaan yang membuatnya harus ditahan pihak kepolisian membuatnya mempertimbangkan untuk menanda-tangani surat pernyataan kematian sang ayah dan mengambil alih segala harta dan aset bisnis milik sang ayah. Tak sengaja Lara menemukan sebuah kunci yang mengingatkan akan masa kecilnya dan membongkar rahasia riset sang ayah terhadap mitologi Himiko, Ratu Yamatai yang dipercaya punya kuasa atas kehidupan dan kematian seluruh umat manusia di muka bumi. Dalam wasiatnya, Richard menyuruh Lara membakar semua bukti temuannya akan keberadaan Himiko. Didorong oleh rasa penasaran, Lara justru nekad mengikuti petunjuk yang ada mencari kebenaran tentang Himiko. Tentu saja dengan harapan menemukan sang ayah yang ia percaya masih hidup. Langkah Lara tak tak hanya terancam oleh mitos kuno Himiko yang mengancam jiwa. Seorang pemimpin tim ekspedisi bernama Mathias Vogel juga mengincar makam Himiko yang dianggap bisa menghidupkan kembali kekuatan Himiko dan digunakan untuk menguasai dunia. 
TR versi 2018 masih menggunakan formula dan struktur kebanyakan film bergenre petualangan. Tak terkecuali Lara Croft: Tomb Raider berikut sekuelnya. Malah ada cukup banyak yang dipertahankan dari versi-versi sebelumnya, seperti Asian male sidekick, setting Hong Kong (walau lokasi syuting sesungguhnya di Afrika Selatan), dan perkumpulan rahasia fiktif bak Illuminati yang mengincar artefak-artefak kuno untuk menguasai dunia. Pembedanya terletak pada karakteristik karakter Lara Croft yang cukup drastis, mengikuti reboot game-nya. Lara digambarkan sosok yang lebih down to earth, fighter tapi tak selalu tangguh apalagi menang, bahkan dengan usia karakter yang dipilih jauh lebih muda daripada versi Jolie, sedikit naif. Bagi saya, karakteristik yang jauh dari sempurna ini justru menjadi salah satu daya tarik menyaksikan petualangan sang penjarah makam.
Ketimbang sebuah petualangan yang mengedepankan pertarungan, TR versi 2018 lebih mengedepankan petualangan sebagai sebuah survival, sebagaimana konsep versi video game-nya. Raw, breath-taking, dan agak brutal. Tak ditampilkan secara vulgar tapi berkat penanganan Uthaug, tata kamera George Richmond, dan ketepatan timing dari editing Stuard Baird, Tom Harrison-Read, serta Michael Tronick, punya impact emosional yang kuat terhadap penonton. Masih ditambah sedikit bumbu pemecahan teka-teki yang cukup menarik, father-and-daughter relationship dengan emosi yang tak kalah menyentuh, iringan musik Junkie XL yang memperkuat mood berbagai adegan berikut pilihan tracklist yang sama asyiknya (terutama Run for Your Life dari K. Flay dan Doing Me dari Ray BLK), dan tentu saja glorious final showdown. Kesemuanya tersaji dengan porsi serta laju plot yang seimbang sebagai sebuah tontonan hiburan.
Alicia Vikander tampaknya cukup berhasil merepresentasikan sosok Lara Croft versi baru meski tergolong signifikan dibandingkan versi Jolie. Berbeda dan masing-masing punya kelebihan, kekurangan, serta kekhasan masing-masing, sehingga sulit untuk mengkonklusi mana yang lebih baik. Kesemuanya tergantung preferensi masing-masing penonton. Daniel Wu menjadi Asian male sidekick, Lu Ren, yang cukup imbang, setidaknya untuk paruh pertama film. Sementara sisanya di-‘curi’ oleh Dominic West yang memberikan chemistry father-daughter yang meyakinkan dan hangat sebagai sang ayah, Lord Richard Croft. Walton Goggins mungkin tak terasa menonjol sebagai karakter villain, Mathias Vogel, tapi simply lebih karena faktor penulisan karakter yang tak begitu banyak pun juga tergolong generik. Sebaliknya, justru penampilan Kristin Scott Thomas sebagai Ana Miller lebih mencuri perhatian.
Dengan kemasan yang demikian, TR versi 2018 menawarkan sesuatu yang seru dan menarik di balik formula-formula generiknya, terutama berkat penanganan Uthaug yang berhasil menghasilkan visualisasi aksi yang seru dan breath-taking, sensitivitas drama yang cukup terasa, dan penampilan Alicia Vikander dalam merepresentasikan Lara Croft. Ending yang membuka diri akan perkembangan plot untuk sekuel-sekuel berikutnya lebih dari cukup bagi saya untuk mengharapkan follow-up yang lebih menarik lagi atau setidaknya setara.
Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.