Sukses melahirkan kembali grup lawak Indonesia legendaris Warkop lewat Warkop DKI Reborn, membuat Falcon Pictures melirik legenda-legenda Indonesia lainnya untuk di-‘lestarikan’. Pilihan berikutnya jatuh kepada komedian yang kental dengan budaya Betawi sekaligus penyanyi, Benyamin S. Dengan konsep yang tak berbeda jauh dari yang dilakukan lewat Warkop DKI Reborn, dipilihlah judul Benyamin Biang Kerok (BBK) yang juga merupakan judul salah satu film paling ikonik Alm. Benyamin S. pada tahun 1972. Aktor watak nomor satu saat ini di Indonesia, Reza Rahadian, ditunjuk untuk memerankan sosok titular alias Pengki, didukung model muda, Delia Husein yang mana ini merupakan debut aktingnya, Meriam Bellina, komika Adjis Doaibu, Aci Resti, Rano Karno, Qomar, Billa Barbie, Lydia Kandou, dan banyak lagi bintang-bintang yang dihadirkan untuk meramaikan. Dari naskah yang disusun Bagus Bramanti (Mencari Hilal, Talak 3, Kartini, Dear Nathan, Yowis Ben), Senoaji Julius (sutradara Turis Romantis), dan Hilman Mutasi (5 cm, Mama Cake, Coboy Junior The Movie), giliran Hanung Bramantyo yang dipercaya mengerjakan genre dan konsep yang selama ini menjadi spesialisasi Anggy Umbara.
Berniat membantu pemukiman warga Betawi pinggiran yang terancam digusur, Pengki dibantu oleh dua sahabatnya yang jago menciptakan gadget, Somad dan Achie, nekad menyabotase kasino ilegal milik Said, salah satu mafia terbesar di Jakarta. Di tengah-tengah misi tersebut, Pengki justru jatuh cinta pada seorang penyanyi bernama Aida yang tertarik ikut serta dalam kegiatan yang diadakan Pengki untuk membantu warga di pemukiman pinggiran. Siapa sangka Aida ternyata dijodohkan dengan Said karena hutang orang tuanya. Mengetahui hal tersebut, Pengki tak tinggal diam. Misinya bertambah untuk menyelamatkan Aida dari cengkeraman Said.
Tak berbeda jauh dari Warkop DKI Reborn, Falcon Pictures menawarkan konsep dan formula serupa untuk BBK. Mencoba mengusung plot yang sama sekali berbeda dari BBK versi 1972, kali ini setting dipindah ke masa kini dengan bumbu fantasi. Memasukkan bumbu spionase lengkap dengan gadget dan teknologi canggih (yang terlihat sangat meyakinkan untuk ranah film nasional) a la James Bond dan Mission: Impossible, BBK terasa segar dan menarik. Kemudian baru memasukkan adegan, dialog, dan berbagai elemen lainnya sebagai tribute ke materi-materi aslinya (termasuk hadirnya Rano Karno sebagai Babe yang tentu merupakan nod ke karakter Si Doel). Tak ada yang salah dengan konsep ini. Justru menjadikannya jauh lebih menarik untuk dibawa ke generasi saat ini.
Namun rupanya konsep yang menarik tersebut belum mampu dieksekusi secara maksimal lewat medium audio-visual. Minus yang paling terasa adalah upaya memancing tawa lewat joke-joke khasnya yang urung berhasil karena treatment yang kurang tepat, terutama sekali faktor comedic timing yang membuat berbagai punchline lewat begitu saja tanpa kesan tertentu, dan pilihan shot yang kurang mampu menjadikannya tampak menggelitik. Bahkan Adjis Doaibu dan Aci Resti yang selama ini tak pernah tampil tak lucu di film-film yang menghadirkan mereka sekali ini tampil biasa saja. Nyaris tak ada comedic moment yang menggelitik (apalagi berkesan) dari mereka berdua. Kekesalan masih ditambah lewat pemenggalan (ya, sama seperti Warkop DKI Reborn, BBK juga dibagi menjadi 2 bagian. Bahkan sebelumnya sempat direncanakan dalam 3 bagian tapi dibatalkan) yang terasa sangat tanggung. Dalam hal pemenggalan bagian film setidaknya harus ada klimaks dan penyelesaian yang cukup di tiap bagian, sementara yang dilakukan BBK kepalang tanggung. Tepat saat klimaks, tanpa penyelesaian yang memuaskan, bak pemenggalan episode sinetron-sinetron kita. Selain dari itu, BBK sebenarnya masih cukup menghibur. Setidaknya masih punya konsep-konsep menarik yang tetap patut dihargai dan beberapa momen chaotic comedy masih terasa cukup mendebarkan sekaligus menggelitik, pun juga beberapa momen manisnya.
Tak boleh dilupakan pula nomor-nomor musikal yang meski tampak terpisah dari plot utama tapi digarap dengan sangat baik. Fusion tradisional Betawi dan jazz orkestra a la Broadway membuat nomor-nomor klasik seperti Ondel-Ondel, Hujan Gerimis, dan Pergi ke Bioskop terdengar begitu berkelas, catchy, tanpa meninggalkan akar tradisionalnya. Ilustrasi musik dari Andhika Triyadi pun berpadu dengan sangat baik dalam mengiringi adegan-adegannya. Mengambil nuansa senada dari score-score terkenal seperti James Bond Theme dan Mission: Impossible tapi punya tune khas tersendiri.
Bukan salah Reza Rahadian yang tampak sudah berupaya keras untuk effortlessly menghidupkan karakter Benyamin S. lewat gesture tubuh, ekspresi wajah, dan cara berbicara. Mungkin memang tidak terasa terlalu memukau seperti layaknya ketika ia memerankan Habibie, misalnya, tapi tentu saja pembawaan yang santai dan tetap terasa ‘Benyamin’ membuatnya sekali lagi layak dinobatkan sebagai aktor watak nomor satu di Indonesia saat ini. Delia Husein pun membuktikan diri berpotensi besar untuk menjadi aktris. Salah satunya lewat chemistry manis nan meyakinkan yang dibangun antara keduanya. Meriam Bellina seperti biasa mampu mencuri perhatian lewat penampilannya meski masih tak beranjak jauh dari peran tipikalnya. Begitu juga Rano Karno, Qomar (karakter Said tentu dengan mudah mengingatkan kita akan peran serupa di Perfect Dream belum lama ini), Lydia Kandou, Hamka Siregar, Omaswati, Melaney Ricardo, Tora Sudiro, hingga voice talent khas dari Maria Oentoe (yang selama ini kita kenal lewat public announcement jaringan bioskop 21/XXI) yang masing-masing punya momentum tersendiri di benak penonton lewat porsi masing-masing.
Camera work dari Roby Herby memang membuat beberapa shot aksinya tampak megah dan seru, tapi untuk keperluan comedic-nya hampir semuanya meleset. Editing Wawan I Wibowo pun tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkannya selain sekedar menjaga laju plot berjalan lancar.
Sebagaimana Warkop DKI Reborn, wajar jika hasilnya menimbulkan kontroversi di antara penonton. Ada yang suka, berhasil dibuat tertawa, serta menangkap sejauh mana tribute dilakukan terhadap sang legenda, tapi tak salah juga jika ada yang gagal dibuat tertawa hingga menganggapnya sebagai pelecehan terhadap sosok legenda. Yang jelas upaya Falcon Pictures kali ini sebenarnya masih semenarik Warkop DKI Reborn dengan niat tribute yang masih jelas terasa. Hanya saja harus diakui pencapaiannya di hasil akhir masih belum mampu melampaui atau sekedar menyamai Warkop DKI Reborn. Hanung mungkin sutradara yang piawai di genre drama, tapi untuk genre campur-campur seperti ini rasa-rasanya bukan menjadi ranah yang cocok. Mungkin akan berbeda hasilnya jika Anggy Umbara yang menggarapnya. Namun bagaimana pun juga, BBK sama sekali bukanlah upaya yang buruk. Siapa tahu setelah mengevaluasi hasil bagian pertama ini, tim akan memperbaiki di bagian kedua yang direncanakan tayang akhir tahun 2018 ini dengan tajuk Biang Kerok Beruntung. Teaser di akhir film yang menampilkan nod ke Tarzan Betawi menunjukkan daya tarik lebih, terutama bagi penggemar Bang Ben.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.