The Jose Flash Review
Red Sparrow

Jauh sebelum isu women empowerment menjadi trend di Hollywood selain diversity, genre spionase sebenarnya sudah sering memberikan ruang bagi wanita untuk beraksi. Mulai dari yang klasik macam Mata Hari yang diperankan oleh Greta Garbo, hingga modern seperti trio Charlie’s Angels, Salt yang dibintangi Angelina Jolie, hingga yang belum lama ini beredar, Atomic Blonde yang dibintangi Charlize Theron. Belum lagi jika memperhitungkan tema yang lebih luas, femme fatale yang mana termasuk Anne Parillaud di La Femme Nikita, Bridget Fonda di The Assassin, Charlize Theron di Aeon Flux, Scarlett Johansson di seri-seri MCU, Ghost in the Shell, dan Lucy. Namun memanfaatkan tema women empowerment yang kian marak, satu lagi sosok mata-mata wanita seksi tapi berbahaya dihadirkan, Red Sparrow (RS). Diangkat dari novel karya Jason Matthews berjudul sama yang dirilis tahun 2013 silam, hak diangkat ke film sudah dikantongi sebelum novelnya dirilis di pasaran. Bahkan kontrak untuk sekuel bukunya sudah dikantongi oleh Matthews. Francis Lawrence (sutradara spesialis music video yang lantas dikenal di layar lebar lewat Constantine, I Am Legend, Water for Elephants, The Hunger Games: Catching Fire, serta Mockingjay - Part 1 dan 2) yang dipercaya duduk di bangku sutradara langsung menggandeng Jennifer Lawrence yang dianggap cocok mewakili sosok Dominika Egorova alias sang Red Sparrow setelah sukses bekerja sama di seri-seri The Hunger Games. Didukung pula oleh Joel Edgerton (The Great Gatsby), Matthias Schoenaerts (The Danish Girl), Charlotte Rampling (45 Years, Assassins Creed), Ciarán Hinds (Tinker Tailor Soldier Spy), hingga Jeremy Irons.

Karir Dominika Egorova sebagai pebalet profesional Rusia berakhir ketika sebuah kecelakaan di atas panggung terjadi dan menciderai kakinya. Keterpurukan semakin bertambah karena penyakit sang ibu yang semakin parah. Di tengah kondisi tersebut muncullah sang paman yang bekerja di badan intelijen Rusia, Ivan. Ia menawarkan pekerjaan sebagai mata-mata. Siapa sangka misi pertama yang diterimanya dengan terpaksa ini menunjukkan bakat alaminya sebagai mata-mata Maka Dominika pun dikirim untuk mengikuti program pelatihan intelijen khusus bernama sandi Sparrow yang menggunakan daya pikat godaan sebagai senjata utama. Tentu saja seiring dengan kemampuan dan jam terbang yang semakin tinggi membuat Dominika semakin larut dalam pekat dan bahayanya dunia spionase, termasuk tawaran dari CIA untuk menjadi agen ganda. 
Perpaduan thriller espionage dan erotisme sebenarnya sudah sangat sering digunakan, bahkan menjadi salah satu pairing terfavorit. Maka apa yang ditawarkan RS pun juga bukan formula yang baru meski tergolong jarang dilakukan di masa kini mengingat kecenderungan studio-studio besar untuk memproduksi film dengan target audience lebih general. Francis Lawrence terlihat tahu betul bagaimana meracik thriller yang mendebarkan sekaligus bikin penonton penasaran dengan bumbu-bumbu erotis yang ‘berani’ tapi tak terkesan kelewat vulgar ataupun murahan. Dengan durasi yang mencapai 140 menit, Francis mampu menjalankan plot yang sebenarnya tergolong rumit dengan cukup mulus (bandingkan misalnya dengan Atomic Blonde yang kerumitan plotnya dilipat-gandakan lewat konsep story telling yang back and forth). 
Ia juga tahu bagaimana cara memanipulasi penonton dengan tidak memperlihatkan beberapa detail terlebih dahulu sebelum revealing yang membuat penonton kembali menganalisis adegan-adegan yang sudah lewat. Harus diakui ada sedikit detail continuity yang missed atau berlubang, tapi menjadi sulit terlihat berkat polesan pada permukaan terluarnya yang mendistraksi. Berkali-kali penonton dimanipulasi akan sosok Dominika Egorova lewat sepak terjangnya hingga pengungkapan di akhir yang membuatnya terasa mengagumkan dan mampu mengundang simpati terbesar dari penonton. Adegan aksinya memang tak banyak tapi tiap kali kemunculannya terasa breath-taking. Bahkan beberapa adegan kekerasan brutal mampu membuat saya berkali-kali bergidik meski ditampilkan off-screen secara cerdik. 
Sensor LSF memang membabat habis adegan panas antara Dominika dan Nate Nash, tapi setidaknya adegan-adegan telanjang yang lebih penting sebagai bagian dari plot utama masih bisa dengan jelas dipahami meski menggunakan metode sensor zoom-in. Selain dari itu camera work Jo Willems secara cerdik menangkap adegan-adegan yang sensitif secara cerdik sehingga tak terkesan vulgar. Editing Alan Edward Bell pun menjalankan plot dengan proporsi yang serba pas di balik nuansa serius, kelam, dan kerumitannya. Sementara score music James Newton Howard menyuntikkan keeleganan sepanjang film, baik untuk adegan mendebarkan, aksi, maupun glorious, lewat musik-musik orkestra megah. 
Salah satu daya tarik utama sekaligus poin keberhasilan RS terletak pada penampilan Jennifer Lawrence yang sekali lagi membuktikan kekuatan kharisma aktingnya. Dingin, sensual, berkelas, sekaligus menunjukkan emosi yang tegas. Chemistry antara Jennifer dan Edgerton mungkin memang sengaja tidak dibuat seintim itu untuk mengaburkan hubungan antara keduanya secara plot. Sementara itu Matthias Schoenaerts, Charlotte Rampling, Mary-Louise Parker, Ciaran Hinds, dan Jeremy Irons di lini pendukung pun menunjukkan penampilan yang cukup berkesan di balik porsi masing-masing. Sedikit minus mungkin terletak pada penggunaan bahasa Rusia atau setidaknya aksen Rusia yang seringkali tidak konsisten, termasuk yang dibawakan oleh Jennifer Lawrence sekalipun. 
Secara keseluruhan RS memang tak menawarkan sesuatu yang baru di genre female espionage maupun tema femme fatale. Formulanya kurang lebih masih generik sebagai pairing thriller dan erotic meski beberapa tahun terakhir memang tergolong langka. Namun ia tetap berhasil secara terus-menerus membuat penonton penasaran, menahan nafas, meringis oleh adegan-adegan brutalnya, dan memanipulasi penonton hingga saatnya pengungkapan. Erotisme-nya terasa kuat tapi tetap saja menunjukkan keeleganan yang berkelas di keseluruhan permukaannya. 

Lihat data film ini di IMDb.
Diberdayakan oleh Blogger.