3.5/5
Based on Book
Biblical
Biography
Drama
Hollywood
Pop-Corn Movie
religious
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Young Messiah
Yesus Kristus adalah salah satu
figur reliji terbesar yang pernah ada di dunia, dan tentu saja bagi umat
Kristiani, Ia adalah figur terpenting. Karena ‘terikat’ sebagai bagian dari
iman agama besar, kisah Yesus tidak bisa sembarangan diangkat ke layar lebar.
Bible atau Injil yang menjadi sumber utama lebih sering dipakai jika berniat
‘main aman’. Namun lama-kelamaan muncul kejenuhan juga jika terus-terusan
mengangkat pure-Biblical. Maka novel fiksi yang mencoba mengangkat kisah hidup
Yesus lewat kacamata yang berbeda-beda dilirik. Martin Scorsese tahun 1988
pernah mengangkat novel The Last
Temptation of the Christ karya Nikos Kazantzakis ke layar lebar dan menjadi
kontroversi besar. Tahun 2016 ini, satu lagi salah satu episode hidup Yesus
yang coba diangkat ke layar lebar. Diangkat dari novel fiksi Christ the Lord: Out of Egypt, karya
Anne Rice, yang kita kenal sebagai penulis novel seri The Vampire Chronicles dan pernah diangkat ke layar lebar lewat Interview with the Vampire dan Queen of the Damned. Novel itu pun punya
sekuel berjudul Christ the Lord: The Road
to Cana, dan yang belum pernah dipublikasikan, The Kingdom of Heaven. Uniknya, Anne menulis trilogi ini setelah
menyatakan memeluk Katolik, tapi pada akhirnya memutuskan untuk menjaga jarak
dengan organisasi Kristen karena ketidak setujuannya dengan pernyataan Gereja
tentang berbagai isu sosial. Meski akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang
humanis sekuler, Anne mengaku tetap menaruh iman kepada Tuhan.
Produksi film yang lantas diberi
judul The Young Messiah (TYM) ini
hasil kerjasama beberapa rumah produksi, antara lain 1492 Pictures milik Chris
Columbus (Home Alone, franchise Harry Potter), Ocean Blue Entertainment,
Hyde Park Entertainment milik Ashok Amritraj (produser film-film erotis macam
franchise Night Eyes dan terkahir, Careful What You Wish For), dan CJ
Entertainment asal Korea Selatan. Digarap oleh sineas keturunan Iran, Cyrus
Nowrasteh, yang dikenal lewat The Stoning
of Soraya M., dibantu sang istri, Betsy Giffen Nowrasteh.
TYM dibuka ketika Yosef dan Maria
memilih untuk pindah ke Alexandria, Mesir, setelah Kaisar Herodes mengutus
membunuh semua bayi berusia di bawah 1 tahun di Israel. Yesus yang berusia 7
tahun tak sengaja membuat keributan sehingga mereka memutuskan untuk kembali ke
Israel. Apalagi setelah kematian Kaisar Herodes, mereka berpikir kondisi sudah
lebih aman untuk kembali ke kota asal mereka, Nazareth. Yesus sendiri bingung
dengan identitas diri dan kondisi dirinya, sementara kedua orang tuanya enggan
menjelaskan. Punya kemampuan untuk membuat mukjizat seperti membangkitkan orang
mati dan pengetahuan-pengetahuan tentang ilahi yang mencengangkan para Rabbi.
Sementara itu putra Herodes yang kini menggantikan tahta sang ayah yang
mendengar kabar kembalinya keluarga Yesus ke tanah Israel, mengutus panglima
perang, Severus, untuk memburu Yesus.
Jika Anda (benar-benar) seorang
Kristiani, tentu tahu bahwa fase terpenting dalam hidup Yesus adalah menjelang
kematian dan kebangkitan-Nya yang dianggap sebagai karya penebusan dan
keselamatan semua umat manusia, sekaligus menjadi inti ajaran Kristiani. Tak
heran jika kemudian fase ini menjadi yang paling sering diangkat ke berbagai
medium. Bahkan Passion of the Christ
dari Mel Gibson yang kontroversial beberapa tahun lalu dikritik lebih mengeksploitasi
sisi kekerasan dan penderitaan Yesus, bukan kebangkitan yang menjadi bagian
paling penting dari karya penebusan. Keputusan mengangkat fase Yesus kecil
jelas menjadi keputusan yang dianggap berani. Pertama, fase ini tak banyak
terdapat di Injil sehingga memungkinkan timbulnya kontroversi dari kaum
fundamentalis yang mungkin saja menuding sesat dan semacamnya. Kedua, tak
banyak kejadian penting di fase ini selain kebimbangan Yesus mencari jawaban
atas dirinya sendiri, which is di sini sebenarnya tak butuh durasi sepanjang 1
film layar lebar juga. Maka tak heran jika secara keseluruhan TYM mengalami
kendala dalam laju cerita yang tak banyak bergerak maju. Pertanyaan-pertanyaan
dari kegundahan Yesus kecil pun tak sepenuhnya terjawab.
Tak heran jika kemudian
dimasukkan sub-plot tentang pengejaran oleh putra Herodes melalui Severus
kepada keluarga Yesus untum sedikit ‘menghias’ film. Namun bukan berarti TYM
tidak menawarkan sesuatu yang substansial dan menarik untuk dibahas (atau
setidaknya, direnungkan). Terutama bagi penonton yang paham dengan ajaran
Kristiani dan konsep turunnya Yesus ke dunia, tentu TYM menjadi sebuah kajian
yang menarik tanpa harus terkesan sesat. Bagaimana rasanya menjadi Yesus yang
selama ini kita kenal sebagai Juru Selamat juga pernah mengalami pergulatan
iman ketika belum menyadari tujuan hidup yang sebenarnya. Selain dari itu,
beberapa trivia tentang kisah Yesus yang mungkin selama ini sempat kita
pertanyakan dalam benak menjadi faktor menarik lainnya untuk menambah wawasan.
Meski tak sepenuhnya bisa dipercaya (bahkan ada adegan Yesus membuat mukjizat
ketika masih kecil, padahal kita semua tahu Yesus melakukan mukjizat pertamanya
ketika dewasa), setidaknya juga tidak asal-asalan muncul.
Tidak ada yang benar-benar istimewa
dari penampilan para aktornya, tapi juga tak tampil buruk. Adam Greaves-Neal
sebagai Yesus cukup hidup dalam menunjukkan kegelisahan seorang anak kecil
berusia 7 tahun. Vincent Walsh dan Sara Lazzaro sebagai Yosef-Maria di balik
screen presence yang tak terlalu banyak dan penting, memberikan performa yang
cukup convincing. Spotlight utama tentu saja Sean Bean sebagai Severus yang
notabene aktor paling populer dibandingkan jajaran cast lain. Tak terlalu
istimewa, tapi Bean berhasil mencuri perhatian berkat kharisma bintangnya yang
memang tak mudah pudar begitu saja. Jonathan Bailey sebagai putra Herodes dan
Rory Keenan sebagai Setan menjadi penampilan favorit saya sepanjang film.
Terakhir, Jane Lapotaire sebagai Sarah, juga mencuri perhatian saya. Dengan
screen presence yang terbatas, kekuatan akting dan kharismanya bisa dengan
mudah membekas dalam benak saya.
Di teknis pun tak juga ada yang
benar-benar istimewa atau remarkable. Sinematografi Joel Ransom cukup jelas
membingkai plot, didukung editing Geoffrey Rowland yang terasa serba pas.
Desain produksi Francesco Frigeri yang menyulap Matera, Italia, menjadi Nazaret
lebih dari cukup untuk terlihat otentik. Scoring dari John Debney lebih dari
cukup untuk menjadikan TYM terasa berkelas sekaligus menghantar emosi adegan.
TYM sejatinya memang bukan film
Biblical yang sengaja dibuat se-epic Passion
of the Christ, King of Kings,
atau sejenisnya. Dari materi cerita yang diangkat pun sebenarnya sudah bisa
dilihat skala ceritanya, just a beginning story or a side-story. So bagi yang
memahami kisah Yesus Kristus dan konsep keilahiannya, TYM masih bisa menjadi
sajian yang menarik untuk dibahas dan direnungkan. Sebaliknya, bagi yang
non-Kristiani atau yang tidak terlalu familiar dengan konsep ke-Tuhanan Yesus
sesungguhnya, TYM bisa jadi tontonan yang membosankan dan tidak jelas.