3/5
Action
Adventure
Box Office
Comedy
Crime
Espionage
Franchise
Indonesia
Investigation
Martial Art
Parody
Pop-Corn Movie
Secret Agent
sequel
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Comic 8: Casino Kings Part 2
Comic 8 bukanlah franchise yang main-main. Selalu mencetak angka di
atas 1 juta penonton (1.6 juta penonton untuk Comic 8 tahun 2014 dan 1.2 juta penonton untuk Comic 8: Casino Kings Part 1), jelas ini fenomena yang masih sangat
jarang terjadi di scene film Indonesia. Meski keputusan membagi Casino Kings menjadi 2 bagian terdengar
seperti proyek aji mumpung yang mengakibatkan part 1-nya seperti sekedar intro
menuju klimaks semata, toh antusias penonton tak menurun. Terbukti sampai
penayangan minggu kedua, part 2
ini berhasil mengumpulkan angka 1.5 juta penonton. Bukan tak mungkin ini bakal
melampaui perolehan Comic 8 di tahun
2014 lalu. Terlepas dari kritik serta munculnya fans dan haters, fenomena ini
jelas menunjukkan bahwa sebenarnya formula-formula box office untuk penonton
Indonesia sudah mulai bisa dibaca dan ditangkap oleh produser film. Toh
munculnya fans dan haters menjadi salah satu bukti ‘keberhasilan’ sebuah
franchise, setidaknya dari segi marketing yang berhasil menciptakan topik
tersendiri.
Melanjutkan langsung dari part
1-nya, delapan komika utama kita masih harus menyelesaikan permainan jebakan
yang telah disiapkan The King dan kaki tangan pelaksananya, Dr. Pandji. Mereka
berhadapan dengan jagoan-jagoan film aksi veteran, seperti Barry Prima, Welly
Dozan, George Rudy, dan Lydia Kandou. Sementara itu agen Interpol Chintya,
mulai mengorek info dari Indro yang akhirnya membuat keduanya bekerja sama
menyelamatkan kedelapan komika serta membongkar kedok kejahatan The King di
pulau terpencilnya.
Sebelum membahas lebih jauh,
patut dipahami dulu konsep besar Comic 8.
Tak hanya sekedar komedi dengan menjual guyonan khas dari masing-masing komika,
Comic 8 dibungkus dengan cerita ala
agen rahasia, tak ketinggalan twist-twist yang bagi saya, menarik dan tak
sekedar asal ngetwist, tapi punya relevansi-relevansi logis dari setup-setup
sebelumnya. Coba perhatikan tiap detail cerita, meski terkesan main-main, tapi
perjalanan plotnya masih dalam koridor logika yang baik dan digarap serius. Ensemble
cast yang all star tentu menjadi faktor daya tarik yang tak kalah kuatnya. It’s
a pure entertainment dengan berbagai elemen-elemen box office yang punya nilai
hiburan tinggi. So, jelas Anda salah alamat jika mengharapkan subteks sosial
atau apapun itu seperti yang dibandingkan oleh salah satu kritik media cetak
besar nasional dengan film komedi lain, Talak
3 atau Ngenest. Jika hanya
membandingkan karena perkara sama-sama genre komedi, jelas kurang relevan,
karena konsepnya jelas-jelas berbeda.
About Part 2 sendiri, karena melanjutkan langsung, maka ia membuka dengan
beberapa cuplikan dari seri sebelumnya dan langsung to the point melanjutkan
kisahnya. Satu per satu twist pun dibuka. Ada yang memang cukup substansial
bagi cerita, seperti twist di ending film, tapi ada pula yang sengaja memang
cuma sekedar untuk dijadikan materi komedi, seperti tentang identitas asli The
King. Speaking of jokes, masih mengusung style yang tak beda jauh dari
seri-seri sebelumnya. Secara porsi mungkin agak sedikit berkurang, hit and miss
pula, tapi secara keseluruhan, masih bisa membuat penonton yang kebetulan cocok
dengan gaya humornya, tertawa terbahak-bahak. Atau setidaknya sekedar
menyimpulkan senyum, seperti yang sering terjadi pada saya sepanjang film. Yang
membuat saya lebih bahagia adalah melihat penonton lain yang bisa tertawa
terbahak-bahak sepanjang film dan itu tidak terlihat dipaksakan atau
dibuat-buat. Once again, soal humor, tingkat keberhasilannya sangat tergantung
pada selera tiap penonton. Jadi betapa soknya saya jika mengklaim tidak lucu
sementara jelas-jelas berhasil membuat penonton lain tertawa terbahak-bahak.
Selain humor, Part 2 juga menawarkan
lebih banyak adegan aksi yang bertebaran dan sangat eye candy. Favorit saya,
tentu saja pertarungan Prisia Nasution vs Hannah Al Rashid.
Penampilan delapan komika
utamanya; Ernest Prakasa, Mongol Stres, Kemal Palevi, Bintang Timur, Babe
Cabiita, Fico Fachriza, Arie Kriting, dan Ge Pamungkas, masih menjalankan peran
masing-masing dengan stabil, meski secara porsi masing-masing harus berbagi dan
sayangnya, di sini tak terlalu sememorable seri-seri sebelumnya. Begitu juga
dengan pemeran-pemeran pendukung seperti Pandji Pragiwaksono, Sophia Latjuba,
Donny Alamsyah, dan Hannah Al Rashid. Sementara Indro dan Prisia mendapatkan
porsi yang lebih banyak dan lebih penting dari seri sebelumnya. Sisanya, terasa
lebih sebagai cameo yang tak terlalu penting tapi memang semakin meramaikan
suasana. Mulai Agus Kuncoro, Candil, Ence Bagus, Sacha Stevenson, Soleh
Solihun, Bagus Netral, Ray Sahetapy, Temon, Boris Bokir, Gandhi Fernando, Joe P
Project, Boy William, Agung Hercules, Nikita Mirzani, dan Cak Lontong.
Visual effect menjadi salah satu
elemen penting dari franchise Comic 8.
Kabar baiknya, saya harus mengakui special visual effect Part 2 mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari seri-seri
sebelumnya. Abaikan dulu penampilan naga terbang di penghujung film yang
mungkin masih terlihat CGI-nya, tapi perhatikan pesawat jet yang dikendarai
oleh Agus Kuncoro dan Candil, atau lihat juga adegan penyerangan rumah Indro
yang digarap dengan baik sehingga berhasil menciptakan ketegangan.
Sinematografi dan pergerakan kamera Dicky R Maland terasa sangat efektif dan
berenergi untuk visualisasi film aksi, bersinergi dengan editing Andi Mamo yang
berhasil menjaga pace keseluruhan film dengan pas. Tata suara juga digarap dengan
tidak kalah seriusnya. Tak hanya terdengar menggelegar berkat sound
effect-sound effect spektakuler, tapi juga membagi kanal surround dengan cukup
cermat.
So, angka selalu di atas 1 juta
penonton jelas bukan prestasi sembarangan. Apalagi rekor diraih dalam waktu
yang tak sampai seminggu. Alih-alih mencibir dan membanding-bandingkan dengan
film Indonesia lain yang jelas kurang relevan, ada baiknya justru mempelajari
fenomena ini untuk diimplementasikan pada film-film lain. Bagaimana pun yang
paling utama dari film adalah disukai oleh penontonnya dan bisa menghibur.
Tanpa penonton yang tertarik, maka sia-sialah film tersebut dibuat. Mau sebawel
atau sepenting apapun esensi yang coba ditampilkan lewat film tersebut. Comic 8 adalah contoh film yang berhasil
membangun sebuah franchise, terlepas dari fenomena ‘love it or hate it’ yang
tak terelakkan. Jika Anda cocok dengan style-nya, nikmati saja. Jika memang
sejak awal mengakui tidak cocok, ya lebih baik tidak perlu memaksakan untuk
nonton. Menikmati film sebenarnya se-simple itu, bukan? Toh bagi saya, meski
tak terlalu istimewa, harus diakui Comic
8: Casino Kings Part 2 was explosively entertaining.
Lihat data film ini di filmindonesia.or.id.