3.5/5
3D
Action
Adventure
Based on a Legend
Blockbuster
Box Office
Comedy
Fantasy
Hollywood
IMAX
Mythology
Pop-Corn Movie
Romance
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
The Jose Flash Review
Gods of Egypt
Ketika legenda dan mitologi
Yunani sudah sampai pada titik jenuh untuk diangkat ke layar lebar, sudah
saatnya Hollywood melirik mitologi peradaban dunia tertua lain yang tak kalah
menariknya; Mesir! Selama ini Hollywood terhitung sangat jarang mengangkat mitologi
Mesir. Itu pun lebih banyak mengangkat sosok legendaris mummy sebagai materi
horor. Padahal Mesir punya mitologi dewa-dewi yang tak kalah menarik dan
banyaknya dengan Yunani ataupun Romawi. Peluang ini yang tampaknya dilirik oleh
Lionsgate/Summit Entertainment. Digandeng lah sutradara Alex Proyas yang cukup
berpengalaman menggarap film-film bertema fantasi dengan desain produksi ‘unik’
macam Dark City, I, Robot, dan Knowing,
tapi sudah absen selama 7 tahun, di bawah bendera Mystery Clock Cinema. Untuk
naskah, dipilih duet Matt Sazama dan Burk Sharpless yang sebelumnya menggarap
naskah Dracula Untold dan The Last Witch Hunter. Dengan budget
konon sampai US$ 140 juta, Gods of Egypt
(GoE) jelas merupakan project yang sangat ambisius dari studio non-big five.
Tepat saat upacara inaugurasi
Dewa Horus sebagai pemimpin tahta Mesir, menggantikan sang ayah, Dewa Osiris,
sang paman yang merupakan Dewa Kegelapan, Set, datang mengacau. Tak hanya
membunuh Osiris, Set juga mencongkel kedua mata Horus hingga tak berdaya. Tahta
Mesir pun dikudeta oleh Set. Di bawah kekuasaan Set, rakyat Mesir mengalamai
penderitaan akibat pemerintahan diktatornya yang semena-mena. Seorang pemuda
pemberani bernama Bek dan kekasihnya, Zaya, percaya bahwa hanya Horus harapan
rakyat Mesir untuk kembali hidup sejahtera. Maka mereka berdua mencoba untuk
membantu Horus kembali mengumpulkan kekuatannya dan menggulingkan tahta Set.
Bukan hal yang mudah, mengingat Horus yang sebelumnya tak peduli dengan rakyat
dan lebih sering menghabiskan waktu untuk berfoya-foya serta mabuk-mabukan,
sudah kehilangan semangat hidup.
Meski secara garis besar
ceritanya tak beda jauh dengan mitologi dewa-dewi lain, konsep budaya Mesir
kuno jelas menjadi daya tarik yang segar dan menarik. Apalagi ternyata di
tangan Proyas, GoE menjadi tontonan aksi petualangan yang mengasyikkan. Tak
hanya jalinan plot yang mengalir lancar, tapi juga berhasil menghadirkan karakter-karakter
yang lovable, terutama Bek dan Zaya. Perkembangan karakter Horus yang cukup
kuat pun menjadi elemen yang tak kalah menariknya. Seringkali petualangannya
terasa terlalu rapi, bahkan mungkin terlalu mulus, tapi dengan durasi yang
cukup panjang, yaitu 2 jam 7 menit, Proyas berhasil menyuguhkan tiap elemen
ceritanya dengan porsi yang cukup seimbang, petualangan yang menarik untuk
diikuti, dan tentu saja visualisasi yang sangat memanjakan. Tak ketinggalan,
esensi serta subteks menarik, terutama tentang kekuasaan, keberanian, dan
pengorbanan, mampu diselipkan Proyas dengan cukup menarik.
Ada tiga karakter yang sama-sama
menonjolnya di GoE. Pertama, Nikolaj Coster-Waldau sebagai Horus yang meski tak
terlalu ikonik, namun kharismanya sebagai lead protagonist lebih dari cukup.
Perkembangan karakter yang ditulis dengan wajar pun ditampilkan Waldau dengan
baik pula. Kedua, Gerard Butler yang meski porsinya tak sebanyak Waldau tapi
berkat kharisma yang kuat menjadikan karakternya punya daya tarik yang sejajar
dengan Horus. Terakhir, bintang muda, Brenton Thwaites yang beruntung memainkan
karakter lovable, Bek. Aura ketulusan dan keberanian Bek dengan sangat
meyakinkan ditampilkan Thwaites. Selain dari itu, Courtney Eaton sebagai Zaya,
Elodie Yung sebagai Hathor, dan Emma Booth sebagai Nephthys, menjadi eye-candy
dengan pesona sensualitas sangat tinggi, mengimbangi testosteron yang menjadi
porsi utama. Lini berikutnya, Chadwick Boseman sebagai Thoth berhasil menjadi
penyegar yang menghibur. Terakhir, Geoffrey Rush sebagai Ra dan Rufus Sewell
sebagai Urshu, seperti biasa menampilkan karakter berkharisma kuat dan unik
untuk mampu mencuri perhatian.
Salah satu komoditas utama
sekaligus kekuatan terbesar GoE adalah tampilan visualisasinya yang
spektakuler. Okay, mungkin beberapa CGI-nya terasa terlalu ‘fantasi’ dan over
the top. Bahkan ada seorang teman yang mengaku seperti menonton serial Saint Seiya. Namun yang patut saya
hargai adalah kepiawaian Proyas beserta dengan sinematografer Peter Menzies Jr.
yang piawai membuat visualisasi super megah sebagai latar cerita sekaligus
memanfaatkan pergerakan kamera sebagai roda petualangan yang seolah mengajak
penonton ikut terlibat di dalamnya. Penggunaan kamera Panavision Primo berlensa
seri 70 yang baru digunakan pertama kali oleh film ini jelas dimanfaatkan
dengan sangat maksimal. Dengan efek 3D yang sangat memikat, baik dari segi depth
of field dan pop out gimmick, saya sangat merekomendasikan sebisa mungkin
mengalaminya di format IMAX 3D.
Tata suara pun digarap dengan
sangat baik untuk menghadirkan suara yang sangat powerful, menggelegar, jernih,
crisp, keseimbangan yang sangat baik antara dialog dan efek suara lainnya,
serta penggunaan efek surround yang juga tak kalah maksimalnya. Visual dan
audio yang begitu mumpuni ini jelas sangat mendukung petualangan dan aksi GoE
menjadi begitu epic.
So yes, bagi Anda penggemar
cerita mitologi dewa-dewi, GoE jelas sebuah petualangan yang tak boleh
dilewatkan begitu saja. Malahan, wajib sebisa mungkin mengalaminya di IMAX 3D.
Mungkin memang tak ada yang terlalu istimewa maupun benar-benar baru dari segi
cerita, tapi setidaknya alami sebuah petualangan yang ditata dengan sangat
enjoyable oleh Proyas. Other than that, nikmati saja visualisasinya yang
memanjakan mata.
Lihat data film ini di IMDb.