The Jose Movie Review
300: Rise of an Empire

Overview

Tema sword-and-sandal sudah sangat overrated di Hollywood. I think most of them are failed. Hanya ada beberapa judul yang menurut saya berhasil tampil stand out. Salah satunya adalah 300 yang tayang 2006 lalu. Tentu saja keunikan gaya visualisasinya menjadi salah satu faktor keberhasilan, ditambah Gerard Butler yang tampil prima. Tentu saja sebuah film yang sukses besar, apalagi punya potensi yang besar untuk dikembangkan, sayang untuk tidak dijadikan franchise. Apalagi sang penulis versi novel grafisnya, Frank Miller, memang berencana mambuat 5 seri sekaligus. Meski sampai tulisan ini dibuat masih belum ada satu pun novel grafis lanjutan yang berhasil selesai, proyek film sekuelnya terus jalan. Malah akhirnya film lanjutannya berhasil selesai lebih dulu dan diedarkan dengan skenario yang dikembangkan oleh sutradara seri pertamanya, Zack Snyder, dan Kurt Johnstad. Gonta-ganti premise cerita sempat terjadi sampai diputuskan versi akhirnya yang kita tonton di layar.
Carut marut gonta-ganti premise biasanya bukan pertanda yang bagus untuk sebuah film. Seringkali hasilnya hancur lebur tanpa arah yang jelas. 300: Rise of an Empire (300 RE) nyaris termasuk di dalamnya. Memang terlalu naïf jika Anda mengharapkan kualitas yang sama atau melebihi 300, tapi beruntung ada banyak hal yang setidaknya menjadi penyelamat sehingga hasil akhirnya masih layak tonton.
300 RE sebenarnya lebih tepat disebut sebagai spin-off dari 300, mengingat karakter-karakter utamanya, baik jagoan maupun villain, kebanyakan tidak berhubungan langsung dengan seri sebeulmnya. Secara timeline pun 300 RE berjalan parallel dengan 300, plus sedikit flashback prekuel dan sedikit kejadian setelahnya. Secara cerita maupun aura patriotismenya, 300 RE jelas punya kelemahan di sana-sini. All’s about revenge here, and Athens are not Spartan. Secara faktual, Athens memang dikenal memiliki postur tubuh yang lebih kecil daripada Spartan yang diklaim sebagai tempat lahirnya para prajurit terbaik di dunia dan bertubuh tegap besar. Jelas tidak adil jika Anda membandingkan keduanya secara head to head.
Karakter jagoan, Themistokles, memang tidak bisa menyamai pesona Leonidas, tapi bukan berarti dia sama sekali tidak menarik. Berkat penokohan dan dialog-dialog yang cukup baik, karakter Themistokles berhasil sedikit menarik perhatian dengan pesonanya sendiri, meski belum mampu sekuat Leonidas. Pihak lawan, terutama sekali Artemisia justru tampil yang paling mencuri perhatian. Selain dari dua itu, sama sekali tidak digali meski ada beberapa yang terlihat menarik, termasuk Xerxes yang menurut banyak pihak bakal punya porsi lebih tetapi nyatanya tidak.
Perbedaan lainnya adalah fokus konsep. Jika 300 terasa sangat maskulin, 300 RE perlahan mulai memasukkan unsur feminisme yang sangat jelas ditunjukkan lewat karakter Artemisia sebagai musuh, dan diseimbangkan dengan kehadiran Ratu Gorgo di pihak jagoan. Sayang perubahan konsep yang bertolak belakang ini hanya terasa sampai di situ saja, tidak digali lebih dalam lagi. Padahal sebenarnya punya potensi yang jauh lebih baik.
Jika Anda mengeluhkan endingnya yang terasa tanggung, well, in my opinion, it is not. It has reached its point (yaitu mengembalikan semangat persatuan dari seluruh penjuru Yunani) and it’s trying to open for more sequels, of course. So yes, endingnya sudah lebih dari cukup untuk dijabarkan.
So what’s left from this installment? Ya, Anda masih bisa menikmati adegan-adegan battle yang porsinya bisa nyaris 80% dari keseluruhan durasi. Meski easily forgettable, adegan-adegan battle 300 RE masih digarap dengan koreografi yang stylish, dinamis, dan direkam dengan sinematografi yang cantik. Very enjoyable, meski sedikit terganggu gaya visualisasi yang berlebihan.

The Casts

Salah satu unsur utama yang mampu menyelamatkan 300 RE adalah karakter villain, Artemisia. Selain memang penokohan yang dibuat paling kuat dan porsinya banyak, akting yang ditunjukkan Eva Green memang maksimal. Setelah selama ini porsinya di film-film papan atas seperti Casino Royale dan Dark Shadows kalah dengan karakter-karakter lain, akhirnya aktris yang sekilas mirip Demi Moore ini diberikan porsi yang sepadan dengan bakat dan aura kecantikannya. Tidak akan mengherankan jika ke depannya Eva kebanjiran tawaran peran jagoan atau villain berkarakter kuat.
Sementara Sullivan Stapleton yang memikul beban paling berat, yaitu menggantikan peran karakter Leonidas di lini depan, memang masih belum menunjukkan aura maksimal. Pretty good, but not strong yet memorable enough. Try harder and pick better character role next time.

Technical

Selain koreografi perang dan sinematografi yang mendukung keindahan gambar, desain kostum patut mendapatkan kredit lebih. Terutama sekali kostum-kostum yang dikenakan Artemisia. Departemen art juga layak mendapatkan pujian dengan desain ala Greek yang tidak pasaran dan stylish.
Gaya visual ala komik yang dipelopori oleh seri pertamanya masih dipertahankan, tapi dengan penambahan-penambahan yang sedikit berlebihan dan mengganggu, seperti slowmo dan muncratan-muncratan darah.

The Essence

Kebebasan menjadi topik utama yang dipertanyakan di 300 RE. Kebebasan yang bagaimana yang kita perjuangakan selama ini? Apakah perjuangan akan kebebasan yang kita gaung-gaungkan selama ini justru merupakan pengekangan kebebasan itu sendiri? Di satu adegan Themistokles berpidato di depan pasukan-pasukannya, bahwa mereka bebas memilih untuk berjuang melawan pasukan Persia atau memilih untuk mundur. Pilihannya, jika mundur maka kebebasan mereka akan dikuasai oleh Persia. Tapi jika tetap maju berperang resikonya adalah kematian dan kekalahan yang tetap saja membuat Athena menjadi budak Persia. So, yang manakah kebebasan yang sebenarnya? Apakah kebebasan tanpa tanggung jawab seperti yang ditawarkan Artemisia kepada Themistokles?

They who will enjoy this the most

  • General audiences who seek for an exciting instant entertainment
  • Sword-and-sandals enthusiast
  • Greek mythological enthusiast
  • Bloody and gore action fans
Lihat data film ini di IMDb. 
Diberdayakan oleh Blogger.